Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Tuesday, March 31, 2009

[Special Bday Fanfic] Memories of Fate

Flashback

“Aku benci kau, Jung Yunho! Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!” Aku sudah tak bisa lagi mengontrol emosiku saat ini. Entah sudah sekeras apa suara teriakanku tadi. Namun aku tak peduli. Di tengah hutan seperti ini, siapa yang akan peduli akan suaraku?

“T-tung-tunggu, chagiya!” Tangan hangat yang biasanya akan selalu menghangatkan hatiku selama ini menahan kepergianku.

“Jangan-pernah-memanggilku-seperti-itu-lagi! Kita PUTUS!” Kuhentakkan tanganku agar pegangannya terlepas, lalu bergegas beranjak dari tempat itu. Namun tangan itu kembali menarikku, menarikku dengan sangat kuat sampai badanku ikut terhentak ke arahnya dan…

End of Flashback



----


Tanpa sadar kusentuhkan tanganku ke bibirku. Bibir ini masih mengenang perasaan itu. Perasaan yang sebenarnya sangat kurindukan, namun setiap kali mengingatnya hatiku terasa perih dan luka itu kembali terasa.

“Ya! Yeonrin-onnie! Halo??” Suara itu menyadarkan lamunanku. Mataku beralih dari rak majalah itu ke sepasang mata yang menatapku dengan heran.

“Ah, kenapa?” Kuubah ekspresi wajahku agar Aerin tidak menyadari yang sebenarnya.

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!” Aerin menatapku jengkel, lalu pandangan matanya beralih ke arah lamunanku. “Ah, kau masih mengingatnya? Kau ini bagaimana, sih? Kau sendiri yang memutuskannya, tapi kau masih saja seperti ini setiap melihatnya di manapun.”

“Sssh… Jangan keras-keras! Apa kau ingin membuat seluruh pengunjung toko ini memperhatikan kita berdua?”

“Ehm. Oke,” Ia mengecilkan voulume suaranya. “Tapi, ucapanku benar kan?”

“Uhm.., tidak. Lupakan hal itu. Kau sudah berjanji tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi.”

“Baiklah…” sahutnya acuh selagi tangannya menelusuri deretan buku, mencari sesuatu.

“Sudah kau temukan apa yang kau cari?”

“Hmm… kurasa jariku sudah merasakan sesuatu… sepertinya yang kucari sudah sangat dekat…” Kini matanya ikut menelusuri susunan buku di rak itu seiring dengan gerakan jarinya. “Aha! Ini dia! Akhirnya kutemukan juga!” Ia menarik salah satu buku yang terhimpit apik di raknya. “Tunggu sebentar… Biar kupastikan isinya…” Ia membalik buku itu, membaca review yang tertulis di bagian belakangnya karena buku itu disegel plastik. “Ah, benar yang ini. Akhirnya aku bisa belajar Windows 7 sekarang…”

Aku hanya memperhatikannya sedari tadi. Sesekali mataku kembali melirik majalah itu, namun kesempatanku hanya sedikit karena takut insting tajam adikku ini mengetahuinya, lalu pasti ia akan menyinggung masalah itu lagi.

Aerin segera beranjak ke kasir, namun saat ia melihat isi dompetnya, ia menatapku penuh makna.

“Onnie, pinjami aku sedikit uang…” Nada bicaranya sungguh terdengar memelas. Ia sangat tahu kalau aku paling lemah dengan ekspresi seperti ini.

“Ya ya ya… Ini kupinjamkan. Aku heran. Gajimu habis untuk apa saja, sih? Padahal baru tanggal belasan sekarang…”

“Ah, onnie seperti tidak mengenalku saja. Ya kupakai untuk membeli Windows 7 license-ku dong…” sahutnya sambil membayar. “Memang lumayan mahal sih, tapi pasti asyik!”

“Aerin…Aerin. Apa di otakmu itu hanya ada program saja? Lebih baik kau lebih giat bekerja agar kau bisa dapat promosi. Kan nanti gajimu juga akan naik.”

“Aah.. susah, onnie. IT consultant kan pekerjaannya itu-itu saja. Bagaimana bisa dapat promosi?”

“Arasseo… Kalau begitu, kau harus berhemat sekarang. Kita kan sudah berkomitmen tidak mau menerima uang kiriman dari appa.”

“Ye, onnieku tersayang. Eh iya, apa kau sudah dapat orderan baru?”

“Be…” suaraku terhenti karena ponselku bergetar. “Yobboseyo? Ye, Park Souvenir disini. 50 lusin souvenir paket C? Bisa minta alamat Anda?” Kuambil notesku dari dalam tas, lalu mencatat alamatnya. “Diantar 3 hari lagi? Arasseo. Terima kasih atas pesanan Anda. Annyeong.”

“Orderan, onnie?”

“Yup! 50 lusin… jumlah yang cukup banyak. Dan harus diselesaikan dalam 3 hari. Huff, sepertinya aku harus meminta bantuan Dae Ahn untuk mengerjakannya.”

“Aku juga mau bantu! Tenang saja, dengan bantuanku pasti bisa lebih cepat sele…” ucapannya terhenti. Ia mengambil ponselnya, membaca sesuatu. “Ah, lagi-lagi seperti ini. Geez…”

“Ada apa?”

“Mian, onnie. Aku tidak bisa membantu. Tiba-tiba ada serangan virus entah darimana. Aku harus segera ke kantor untuk mengatasinya. Dan… kau tahu kan, kalau ada kejadian seperti ini, aku harus lembur berhari-hari.” Nada bicaranya terdengar sangat menyesal.

“Sudahlah, bantuan Dae Ahn sudah cukup kok. Sekarang kau segeralah pergi. Nanti kau dimarahi atasanmu.”

“Tapi, tiga hari lagi…”

“Ada apa tiga hari lagi?” Aku ingat, tiga hari lagi, tanggal 31 Maret adalah hari ulang tahunku. Apa yang direncanakan saudaraku ini?

“Aniyo. Aku pergi dulu. Nanti kalau sempat aku akan pulang ke rumah –paling tidak untuk mengambil pakaian. Hwaiting!” sahutnya sambil berjalan mundur sejenak sambil melambaikan tangannya.

“Hwaiting!” balasku.

Kini sosok adikku satu-satunya itu sudah tidak terlihat lagi. Aku membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah berlawanan. Sesaat langkahku tercekat, mataku kembali memandang sosok familiar di poster yang dipajang di etalase toko. Hatiku kembali terasa perih dan membuatku tersadar. Kulanjutkan kembali langkahku dengan cepat. Aku harus segera menghubungi Dae Ahn, mengambil bahan di toko langganan, lalu segera membuat pesanan. Aku tidak berharap banyak pada hari ulang tahunku nanti. Yang kuharap hanyalah kepulangan Aerin tepat waktu agar paling tidak kami bisa merayakannya bersama-sama.


----


3 hari kemudian, pagi-pagi buta Aerin pulang ke rumah dengan membawa setumpuk baju kotor, baju ganti yang diambilnya tempo hari untuk lembur di kantor.

“Onnie… mianhe aku merepotkanmu. Tapi…aku…sangat…capek…” Ia langsung masuk ke kamarnya setelah meninggalkan barang-barang bawaannya di ruang keluarga.

Aku beranjak meninggalkan kesibukanku sejenak untuk membereskan barang-barang yang dibawa Aerin. Hal seperti ini sudah biasa terjadi setiap kali Aerin pulang lembur. Setelah memasukkan semua cucian ke dalam mesin cuci, aku kembali ke kesibukanku. Sekarang masih pagi, masih ada waktu sedikit untuk menyelesaikan pekerjaanku. Selama dua hari kemarin, Dae Ahn telah mambantuku membuat souvenir ini. Hari ini aku tidak memintanya datang karena semuanya sudah hampir selesai, tinggal pembungkusan masing-masing souvenir.

Alamat pemesan ternyata cukup jauh dari perkiraanku. Hari telah mulai gelap ketika aku pulang ke rumah.

“Yeonrin-onnie! Ayo cepat bersiap!”

“Eh? Memangnya ada apa?”

“Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Cepat mandi! Aku akan membawamu ke suatu tempat.” jawabnya sambil menarikku ke kamar mandi.

Aku menuruti apa yang ia suruh. Kini kami berdua telah sampai di depan sebuah hotel berbintang lima, masing-masing telah mengenakan gaun –aku masih merasa tidak percaya diri dengan gaun yang dipilihkan Aerin ini-, dengan riasan yang menurut Aerin akan membuat semua mata lelaki memandang takjub pada kecantikan kami.

“Aerin, disini?” tanyaku, jelas-jelas sangat bingung akan situasi yang tiba-tiba ini. Hotel ini terlihat sangat berkelas. Aku memperhatikan hanya kami berdua yang datang dengan taksi. Tamu lainnya datang dengan mobil-mobil mahal.

“Sudahlah. Ikuti saja aku.” sahut Aerin sambil memimpin jalan ke depan. Mau tidak mau aku harus mengikutinya.

Aku mengikuti Aerin sampai ke ballroom. Di dalam sana, sudah hadir puluhan tamu yang terasa sangat asing bagiku.

“Ayo!” Aerin menarik tanganku. Kami berjalan mengitari ruangan luas ini, melewati celah-celah di antara puluhan tamu disana. Sepertinya Aerin sedang mencari seseorang. Langkah Aerin yang lincah membuatnya berhasil berjalan dengan lancar di tengah lautan manusia itu. Namun sayangnya langkahku tidak bisa mengimbanginya sehingga pegangan tangan kami terlepas dan akhirnya kami terpisah.

Kini aku berdiri sendirian. Di tengah orang-orang yang sama sekali tidak kukenal. Tapi aku tidak merasa cemas. Aku yakin insting Aerin akan membuatnya menemukanku, seperti biasanya. Merasa sedikit kikuk akan situasiku sekarang ini, kuputuskan untuk mengambil Champagne. Lima menit… sepuluh menit berlalu, dan entah sekarang sudah beberapa menit berlalu dan Aerin belum muncul juga.

Seketika perasaanku menjadi was-was. Ruangan ini semakin penuh oleh tamu yang datang. Mungkin jumlahnya sudah ratusan. Hal yang kukhawatirkan, Aerin tidak berhasil menemukanku. Terlalu sulit baginya menemukanku di antara orang-orang sebanyak ini.

Lambat laun aku mulai panik. Pandanganku berkeliling, berusaha mencari sosok adikku itu. Namun bukannya menemukan yang kucari, seseorang malah menabrakku dari belakang hingga aku jatuh terjembab.

“YA! Apa kau tidak lihat banyak orang disini, dan kau berjalan seenaknya hingga…” omelanku terhenti saat melihat orang yang menabrakku.

“Chagiya?” Lelaki itu membuka suaranya.

Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya? Apa ini yang direncanakan Aerin?

“Mianhe… Kau tidak apa-apa? Bisa berdiri?”

“Aniyo. Aku tidak apa-apa.” Aku mencoba berdiri, namun saat menapakkan kaki kananku, terasa rasa nyeri yang sangat hebat di pergelangan kakiku hingga badanku sempoyongan.

Dengan sigap Yunho menahan badanku. “Sepertinya kakimu terkilir.”

“Onnie, kau disini rupanya.” Terdengar suara lain. Suara Aerin. “Yunho-sshi?”


----


Kini aku berada di sebuah balkon di luar ballroom. Aku duduk di kursi. Yunho berlutut di depanku, meraih kakiku yang terkilir dengan lembut.

“Aku akan meluruskannya. Mungkin akan sedikit sakit. Tahan ya.” Suara Yunho menenangkanku selagi ia mencoba memutar pergelangan kakiku.

“Aww…” rintihku tertahan. Saking sakitnya, mataku mulai berair.

“Mianhe…” ucap Yunho sambil meletakkan kakiku ke posisi semula. Tangannya menghapus air mataku yang sudah mulai mengalir.

“Ini es batunya.” Aerin datang sambil membawa sebuah kantong kompres yang telah diisi es batu. Ia berikan kantong itu pada Yunho, lalu Yunho pelan-pelan menempelkannya ke kakiku yang terkilir.

Aerin berjalan mundur menjauh, memperhatikan kami. Tiba-tiba ia mendekat, lalu berbisik di telingaku dengan sangat halus hingga tidak mungkin orang lain selain aku mendengarnya, “Saengil chukae.” Tanpa menghiraukan tatapan bingungku ia kembali melangkah menjauh.

“Yunho-yah, kau disini rupanya.” Terdengar suara lain. Sosok yang selalu kulihat di poster bersama Yunho berdiri di pintu balkon sambil berkacak pinggang sementara salah satu tangannya memegang sebuah buku. Ia juga memperhatikan kami.

“Jaejoong-sshi… annyeong.” sapa Aerin. Aneh sekali. Sepertinya ia sudah kenal dengan pria itu.

“Ah, Aerin-sshi? Lama tak berjumpa. Apa kabar?”

“Baik, sangat baik. Eh, kau juga sedang belajar Windows 7?” sahut Aerin yang telah berdiri di depan Jaejoong, sesekali matanya melirik buku yang dipegang oleh Jaejoong. Buku yang sama dengan yang dibelinya tempo hari.

“Iya. Kau juga sedang mempelajarinya?” jawab Jaejoong antusias.

“Baru beberapa hari sih. Tapi ada beberapa bagian yang tidak kumengerti.”

“Ada yang tidak kau mengerti? Sepertinya aku bisa mengajarimu.”

“Oh, baiklah. Ayo bicarakan di tempat lain.” Aerin mengajak Jaejoong pergi dari tempat itu. Sebelum sosoknya menghilang di balik pintu balkon, aku bisa melihatnya berkedip jahil padaku.


----


Kini tinggal aku dan Yunho di balkon itu. Ini lantai tiga dan angin berhembus cukup kencang. Aku merasa sedikit kedinginan karena gaun yang kukenakan ini cukup terbuka.
Lalu kurasakan bahuku seketika menjadi hangat. Kini di pundakku tergantung jas. Yunho memberikan jasnya untuk menghangatkanku.

Kesunyian kembali datang. Segala yang telah terjadi membuat mulutku bingung untuk mengucapkan kata yang tepat.

“Kau…” Kami sama-sama berbicara.

“Ah, kau bicara duluan saja.” Yunho mengalah.

“Hmm…” aku terdiam sejenak. “Bagaimana kabarmu?”

“Seperti yang kau lihat. Baik. Bagaimana denganmu?”

“Baik.”

“Arasseo. Ngomong-ngomong, gadis tadi temanmu?”

“Ia adikku.”

Yunho terdiam. Ia terlihat terkejut akan jawabanku. ”Setahuku kau tidak punya saudara.”

“Kami terpisah sejak kecil karena orang tua kami bercerai,” Aku menghela nafas. “Aku dirawat oleh eomma, sedangkan Aerin dirawat appa.”

“Begitukah?” Ia mengangguk paham. “Lalu, bagaimana kabar Ahjumma?”

“Eomma sudah meninggal.”

Yunho kembali terdiam sesaat. “Aku turut berduka cita.” Wajahnya terlihat sendu. Aku tahu, dulu Yunho cukup akrab dengan Eomma. “Kini kau tinggal dengan Ajjushi?”

“Tidak. Appa masih di Amerika. Setelah lulus kuliah, aku dan Aerin kembali ke Korea.”

Tiba-tiba Yunho mengangguk paham. “Apa itu alasan kau tiba-tiba menghilang setelah kita putus?”

Aku mengangguk pelan. “Eomma sudah tidak ada, jadi aku harus ke Amerika ke tempat appa. Dan karena itu pula…”

“Kau memutuskanku.”

Aku tidak menjawab. Kepalaku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang sudah mulai dipenuhi air mata.

Seakan-akan menjadi jawaban atas keheninganku, lagu dansa waltz mulai terdengar sayu dari dalam ballroom.

“Maukah kau berdansa denganku?” tanya Yunho sambil menawarkan tangannya.

Aku tidak menjawab. Aku mencoba menghapus air mataku, lalu menatap matanya.

“Tidak bisa dansa karena kakimu sakit? Tenang saja. Aku akan tetap membuatmu berdansa.”

Belum sempat aku menjawab, Yunho sudah menarik tanganku, membantuku berdiri. Aku mencoba berdiri tegak dengan satu kaki sambil menahan rasa sakit yang masih terasa.

Di luar dugaan, kedua tangan Yunho melingkar di pinggangku. Ia mendekap pinggangku, mengangkatku sedikit ke udara sampai kedua kakiku –tanpa high heels celaka itu- tidak menyentuh lantai. Ia bergerak ke kiri dan kanan mengikuti irama lagu sambil membawaku bersamanya. Sungguh membahagiakan. Dengan susah payah aku berusaha mengatur jantungku agar Yunho tidak menyadari debaran ini.

“Kau ini pintar akting juga ya… Sampai pura-pura marah sebelum memutuskanku.” Yunho tersenyum jahil.

“Aku juga terkejut melihatmu sekarang. Seorang U-Know, leader TVXQ, grup penyanyi paling terkenal di Korea saat ini. Akhirnya kau berhasil mewujudkan impianmu…”

Wajahnya memerah karena malu, begitu pula denganku.

Sebelum lagu selesai, Yunho menurunkanku perlahan. “Chagiya, saengil chukaeyo…” Sambil tetap menyangga badanku agar tidak jatuh, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kami pun berciuman… Ciuman yang sama sekali berbeda dengan ciuman pertama kami bertahun-tahun silam.

Ia melepaskan bibirnya sesaat. “Bisakah kita mulai lagi dari awal?”

“Ne, yobo-yah…” jawabku mantap, lalu kembali menciumnya.

Suara tawa Aerin yang semakin jelas menghentikan tindakanku dan Yunho. Aerin keluar ke balkon bersama dengan Jaejoong.

“Oops, sepertinya kita mengganggu suasana.” Aerin berkata sambil melirik Jaejoong ketika melihatku dan Yunho seperti ini –tangan Yunho masih merangkul pinggangku dan jarak wajah kami masih sekitar 15 senti-. Senyum jahil tertoreh di wajah mereka berdua.

“Aerin, kau berhutang penjelasan padaku.” sahutku pura-pura galak.

“Hanya penjelasan? Oke bos!” jawab Aerin sambil pura-pura menghormat padaku.

“Tentu saja… hutang uang buku juga.”

Seketika wajah Aerin langsung merengut sedangkan aku, Yunho dan Jaejoong tertawa bersama.

Ah, sungguh hari ulang tahun yang membahagiakan.


~Fin~