Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Monday, July 13, 2009

[Fiction] Broken Mind

Seorang perempuan muda tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Kedua matanya memancarkan rasa sakit akibat kanker yang menggerogotinya, ia tahan dengan sekuat tenaga, menatap kedua mata lain yang terlihat merah dan mulai berair namun berusaha tetap tegar. Laki-laki itu seakan ingin menukar posisinya dengan perempuan yang dicintainya itu. Perempuan itu sendiri tersenyum dan perlahan menutup kedua matanya. Masker oksigen, selang infus, pendeteksi detak jantung, ruang ICU yang mengharuskan pengunjungnya memakai pakaian khusus serta seluruh isinya sama sekali tidak berguna. Tak dapat menangkap jiwa gadis itu yang perlahan meninggalkan raganya…

Aku iri.

Terdengar suara kunci pintu. Ahjushi sudah pulang. Segera kumatikan TV, mengembalikan kursi meja makan ke posisinya semula dan berjalan ke arah kamar tanpa menghiraukan pandangan Ahjushi yang selalu menggangguku.


***


“Argh, perutku sakit!!” Seorang wanita hamil tiba-tiba mengerang sambil memegangi perutnya.
“Chagiya, kau akan melahirkan? TAKSI!!” Pria itu langsung menyetop taksi dan membantu istrinya masuk.
Taksi itu langsung menuju rumah sakit terdekat. Begitu sampai, si pria langsung keluar dari taksi dan menghambur masuk ke dalam rumah sakit. Memanggil perawat untuk menolong istrinya. Perawat yang melihatnya langsung bersigap mengambil dipan dorong untuk membawa istri pria itu masuk ke rumah sakit.
Ia duduk di kursi, menundukkan kepalanya sambil mengerang pelan. Sesaat kemudian ia berdiri. Berjalan hilir mudik sambil terus mengecek lampu merah yang menyala di atas pintu ruang operasi. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu dan memberi berita baik padanya. Ia begitu tidak sabar menunggu akhir momen ini.
Pintu yang ia nanti akhirnya terbuka. Namun lampu merah itu tak kunjung berubah warna. Ia tercekat. Seorang perawat yang masih memakai pakaian khusus operasi keluar dari pintu itu. Sama sekali bukan ini yang diharapkannya.
Istrinya mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan donor darah secepatnya. Pria itu langsung mengangguk mantap ketika si perawat menanyakan donor yang sesuai untuk istrinya.
Selesai mendonorkan darah, pria itu kembali menunggu di depan ruang operasi. Sudah 8 jam berlalu. Lampu itu masih tidak berubah.
Ia menunduk, kembali mengenang masa lalu. Saat ia dan istrinya diam-diam pacaran ketika SMA. Lalu semua masa indah itu berubah sekejap ketika istrinya hamil. Orang tua mereka berdua tidak merestui sehingga mereka terpaksa hidup sendiri, membangun rumah tangga berdua. Sungguh masa yang sulit namun mereka selalu menanggapinya dengan senyum kebahagiaan.
Tiba-tiba lampu merah itu berubah menjadi hijau. Pintu didorong kencang dan seorang dokter keluar..

Aku iri.

Aish, bersambung pada saat yang tidak tepat! Episode selanjutnya belum selesai ku-download pula. Kulihat download-anku yang masih perlu 1 jam lagi sampai selesai. Terpaksa aku berhenti menonton sebentar dan memulai chatting dengan temanku.


***


Malam ini tenggorokanku terasa tidak enak. Terasa sedikit sakit saat menelan. Yah, paling-paling hanya sakit tenggorokan biasa. Kalau besok mulai mengganggu, baru aku minum obat.

Keesokan harinya, aku benar-benar merasa tidak enak badan ketika sedang kuliah. Ruangannya ber-AC. Entah karena efek AC atau apa, aku merasa badanku sedikit panas. Instingku mulai bekerja. Kurasa aku harus cepat pulang dan minum obat. Tapi dosen malah mau memberi kuis hari ini, tepat sebelum jam pulang. Terpaksa aku tetap di kelas. Untung saja mahasiswa yang sudah selesai mengerjakan soal boleh pulang duluan, jadi aku yang untungnya bisa cepat selesai pun keluar kelas mendahului yang lain. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan.

Sesampainya di halte bis, ternyata ada keterlambatan kedatangan bis. Kurasa kalau aku menunggu saja sementara sekarang sudah jam makan siang bisa-bisa maagku kambuh. Jadi aku pun pergi makan. Aku masuk ke salah satu rumah makan Chinese di dekat kampus. Kudengar makanannya enak. Namun saat kulihat daftar menu, aku baru sadar kalau menunya untuk makan keluarga. Hanya sedikit makanan untuk perorangan. Karena tenggorokanku masih terasa sakit, aku pun memilih bakmi kuah. Namun ketika pesananku datang, selera makanku lenyap seketika. Terasa mual. Kupaksakan makan sedikit sambil berkali-kali menyeruput teh hangatku untuk meredakan rasa mual ini. Tidak berhasil. Aku hanya bisa makan kurang dari sepertiganya. Akhirnya aku pun berhenti makan. Kubayar dan keluar dari tempat itu, kembali menuju halte bis. Seharusnya bisnya sudah datang.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengirimkan pesan singkat pada Eomma, menanyakan obat apa yang harus kumakan. Eomma sempat mengomeliku, kenapa aku tidak makan obat dari kemarin.
Sudahlah, aku ini sedang sakit, Eomma!

Aku mencoba tidur setelah makan obat. Weks, aku benci obat dan sekarang terpaksa aku memakannya karena aku tidak mau sakit sekarang. Dua hari lagi ada ujian praktek akhir semester dan aku tidak mau sakit saat ujian!
AKU BENCI SAKIT!


***


Sekarang aku tinggal sendirian di rumah. Tadinya keluarga Ahjumma tinggal di rumahku karena rumah mereka sedang direnovasi. Sekarang rumah mereka sudah selesai dan akhirnya kuperoleh kebebasanku kembali. Sudah cukup kekesalan yang kupendam karena merasa tidak cocok dengan mereka.

Aku bosan. Komputerku sedang rusak sehingga tidak bisa dipakai. Acara TV tidak ada yang menarik. Jalan-jalan keluar rumah, tidak ada yang menemani. Menyedihkan.

Akhirnya aku berdiam di dalam kamar. Merebahkan kepalaku di atas bantal dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Terlintas di kepalaku adegan-adegan yang kuinginkan. Yang kurindukan. Yang selalu membuatku iri.

Aku beranjak keluar kamar menuju pintu depan. Kuputar kuncinya hingga terbuka. Agar akan ada orang yang menemukanku, pikirku.
Lalu aku pun naik ke lantai dua dan berhenti di puncak anak tangga. Kubalikkan badan dan menatap tangga-tangga yang menurun curam itu. Kurasa tangga di rumahku tidak cukup lebar untuk kugunakan, tapi kurasa kekurangan itu akan memberi efek yang lebih baik.

Aku berjongkok dan memutar badanku ke arah dinding, merapat mendekatinya. Lalu kurebahkan badanku. Ya, satu gerakan kecil dan rencanaku sempurna.
Kubalikkan badan membelakangi tangga, lalu dengan cepat memutarnya kembali. Yang kuingat selanjutnya adalah rasa ngilu di beberapa bagian tubuhku, diakhiri dengan satu dengungan keras yang memenuhi kepalaku.


***


Kepalaku pusing. Aku tidak bisa merasakan badanku. Sama sekali tidak bisa bergerak. Aku hanya mampu menggerakkan ujung jariku. Apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah mati? Tidak, bukan ini yang kuinginkan. Kucoba membuka mata dengan susah payah. Gelap. Apa sekarang sudah malam? Sudah berapa lama aku seperti ini?

“Aerin? Kau sudah sadar, nak?”

Suara Eomma. Eomma datang? Aduh, sepertinya aku sudah kelewatan. Pasti Eomma sangat cemas. Mianhe Eomma…

“Kau terjatuh dari tangga. Beberapa tulangmu patah tapi pasti akan segera sembuh. Istirahatlah.”

“Eomma… kenapa gelap-gelapan?” Terlalu gelap. Masa rumah sakit tidak punya lampu?

“Gelap? Ini siang hari, terang benderang…” Lalu kudengar suara nafas tercekat dan sedikit getaran pada ranjangku.

“Jangan bercanda, Eomma. Nyalakan lampunya. Ulang tahunku masih lama.” Ucapku tidak percaya. Pasti Eomma bercanda kan?

“…” Tidak ada balasan dari Eomma.

“Eomma? Ayo, nyalakan lampunya…”

“Y—ya, ini sudah Eomma nyalakan,” Gelap. “Masih gelap? Di luar seharusnya terang. Eomma buka tirainya dulu ya,” Tetap gelap. “Oh iya, Eomma ada senter. Apa kau tidak silau?” Sama sekali tidak ada cahaya.

“Tunggu sebentar, nak. Eomma mau panggil dokter.”

Tidak. Bukan ini yang kubayangkan. Semuanya memang sesuai. Aku berada di rumah sakit. Tidak mampu bergerak sama sekali. Lemah dan tidak berdaya. Di tanganku ada selang infus. Tadinya ada masker oksigen meskipun sekarang sudah diganti dengan selang oksigen. Bau obat-obatan yang menyengat. Namun aku tidak mengharapkan rasa sakit ini. Rasa sakit yang selalu menyiksa saat badanku sedikit bergerak. Serta… kegelapan yang menyelimutiku.


***


Eomma dan keluargaku yang lain baru saja keluar. Terdengar suara isakan Eomma sementara suara lain mencoba menghiburnya.
Aku menolak dioperasi. Buat apa membuang-buang uang demi aku yang sengaja menyakiti diriku? Sekalipun dioperasi, kemungkinan sembuh hanya 50%. Tidak menjamin. Biarkan saja aku seperti ini. Anggap saja ini adalah hukuman bagiku yang telah seenaknya mempermainkan nyawaku. Aku ini berdosa, Eomma. Seharusnya aku mati saja daripada hidup seperti ini…

“Kenapa kau tidak mau operasi?”

Suara siapa itu? Aku tidak mendengar suara pintu terbuka. Darimana laki-laki ini datang?

“Maaf, aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Dari tadi aku mendengar percakapan keluargamu. Tidak mungkin sembuh? Alasan yang tidak masuk akal. Bila kau yakin akan sembuh, kau pasti bisa sembuh.”

“Siapa kau?”

“Aku… Hei, jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kau tidak mau sembuh?”

“Kau mengubah pertanyaan. Harusnya kenapa aku tidak mau operasi, bukannya kenapa aku tidak mau sembuh.”

“Sama saja.”

“Beda!”

“Terserah kau. Jawab saja salah satunya.”

“Tidak mau.”

“Ya sudah. Kau sangat tidak asyik. Aku pergi.”

“Hei!”

Tidak ada balasan. Apa laki-laki itu sudah pergi? Berapa umurnya? Suaranya terdengar sedikit berat, jadi mungkin ia seumuran denganku atau lebih tua. Atau lebih muda? Ah, aku tidak tahu. Aku mau tidur saja.


***


“Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?”

“Aaa! Kau mengagetkanku saja.”

“Mengagetkan? Masa?”

“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, atau memberi sinyal suara ketika kau datang?”

“Hmm… tidak mau. Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak!”

“Ya sudah, aku pergi saja…”

“Eee, tunggu dulu!”

“Kenapa? Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak, tapi… maukah kau menemaniku? Aku kesepian…”

“Apa kau tidak takut ditemani laki-laki asing sepertiku? Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada temanmu yang datang? Kasihan sekali kau.”

“Kau— Sekarang sedang ujian semester, jadi semua teman-temanku sibuk belajar.”

“Hmm… sepertinya hanya aku satu-satunya orang yang bisa menemanimu. Baiklah, terserah kau mau jawab pertanyaanku atau tidak. Aku akan menemanimu. Jadi, apa yang harus kulakukan agar kau tidak kesepian?”

“Temani aku saat aku—“

“Aerin, kau bicara dengan siapa?”

“Oh, Eomma datang. Dengan temanku. Hei! Aduh, aku belum tahu namanya. Ini Eommaku.”

“Siapa? Tidak ada siapa-siapa disini.”

Hah? Bukannya tadi ia baru saja ada disini saat Eomma datang?

“Eomma mau ke ruang dokter. Tunggu sebentar ya.”

Terdengar suara pintu terbuka. Sepertinya Eomma sudah pergi.

“Hei, kenapa kau sembunyi begitu ada Eomma? Oh iya, ucapanku tadi, maukah kau menemaniku ketika aku sendirian?”

Tidak ada jawaban. Orang yang aneh. Datang dan pergi begitu cepat dan tiba-tiba. Semoga ia datang lagi…

Harapanku terpenuhi. Ia datang lagi keesokan harinya. Ia tidak menjawab langsung permintaanku, tapi kehadirannya setiap kali Eomma sedang pergi dan aku sendirian merupakan jawabannya. Aku banyak bercerita padanya. Kurasa baru sekarang aku menemukan seorang teman untuk berbagi cerita. Kulimpahkan segala yang ada di dalam pikiranku. Semua masalahku. Dan ia selalu diam mendengarkan, hanya sesekali mengeluarkan gumaman sebagai tanda ia masih mendengarkan.

Satu minggu berlalu. Ujian semester yang kulewatkan telah selesai. Teman-temanku mulai datang menjenguk meskipun rumah sakit tempat aku dirawat pasti jauh dari tempat tinggal mereka. Sekarang aku tidak kesepian lagi. Tapi aku kesepian tanpa laki-laki itu. Ia tidak datang lagi…


***


“Lupakan saja pertanyaanku dulu.”

Eh, ia datang! “Kemana saja kau?”

“Seperti janjiku, aku hanya menemanimu saat kau kesepian. Bukankah sekarang kau sudah tidak kesepian lagi?”

“Ya… begitulah. Kenapa sekarang kau datang padahal aku sudah tidak kesepian lagi seperti yang kau katakan?”

“Karena aku tidak bisa datang lagi besok.”

“Besok? Lusa bisa datang kan?”

“Tidak bisa. Hanya hari ini aku bisa datang mengunjungimu.”

“Kenapa? Apa kau akan keluar rumah sakit? Eh, kau ini pasien atau pengunjung biasa, sih? Aku bahkan tidak tahu siapa kau.”

“Tidak usah memikirkannya. Tidak begitu penting. Yang penting adalah, apa kau mau berjanji padaku untuk segera dioperasi?”

“Kenapa aku harus dioperasi?”

“Karena… kalau kau bisa melihat lagi, kau baru bisa melihatku. Apa kau tidak penasaran padaku?”

“Apa maksudmu?”

“Sudahlah, berjanjilah. Waktuku tidak banyak.”

“Waktumu tidak banyak? Kemana kau akan pergi? Apa kita akan bertemu lagi?”

“Berjanjilah.”

“Ya, baiklah. Apa kau juga akan terus memegang janjimu? Untuk tidak membiarkan aku kesepian?”

“…” Tidak ada jawaban.

Apa maksud perkataannya? Kemana ia akan pergi? Bukankah ia berjanji untuk menemaniku saat aku kesepian?

“Aerin, kau kenapa? Ada yang sakit?”

Eomma datang. Aku pun teringat akan janjiku tadi.

“Eomma, aku mau operasi.”

Selanjutnya, yang kudengar hanya desahan lega dari Eomma. Kurasa pasti ia sangat senang. Mianhe, Eomma. Pasti aku sudah membuatmu begitu tertekan..


***


3 bulan kemudian, perban di mataku dibuka. Begitu menyentuh cahaya, mataku terasa sangat silau dan butuh waktu beberapa menit sampai aku bisa melihat dengan jelas. Akhirnya aku bisa melihat lagi. Aku melihat sekeliling, berharap menemukan sosok laki-laki dengan suara yang familiar. Laki-laki yang sudah menemani dan mendukungku selama ini. Namun sama sekali tak kutemukan. Kucari di seluruh rumah sakit, tak juga kutemukan. Kemana dia?

Akhirnya aku pun kembali kuliah. Karena membutuhkan waktu untuk penyembuhan total, aku melewatkan dua bulan perkuliahan dengan izin khusus. Eomma menyarankan aku cuti setahun saja agar lebih banyak istirahat, tapi aku tidak mau kehilangan teman-temanku di kelas. Sekarang aku harus berjuang keras agar bisa mengejar ketertinggalanku mengingat sebentar lagi ujian tengah semester.

Hari kuliah pertamaku dimulai. Ketika aku masuk kelas, teman-temanku langsung menyambut hangat. Mereka tak hentinya menanyakan pertanyaan seperti, “Kau sudah sembuh?” atau, “Kau sudah bisa melihat?”. Pertanyaan yang mengganggu tapi mau tidak mau harus kutanggapi satu persatu sambil berusaha tersenyum ramah.
Setelah kuliah dimulai selama sekitar setengah jam, pintu kelas terbuka dan seorang mahasiswa lain masuk. Ia duduk di kursi yang masih kosong di sebelahku. Aku belum pernah melihatnya. Siapa dia?

“Ssst, siapa laki-laki itu?”

“Ah, dia itu anak angkatan di atas kita tapi terpaksa cuti setahun karena sakit.”

“Ooh..”

Puas dengan jawaban itu, aku tidak lagi membahasnya. Ternyata hanya mahasiswa sakit-sakitan yang cuti setahun rupanya.

Tiba-tiba dosen yang sedang menjelaskan memberikan pertanyaan.
“Siapa yang menemukan teori relativitas? Pertanyaan mudah, siapapun pasti bisa menjawabnya.” Si dosen menyisir mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya sama sekali tidak memperhatikannya. “Kau! Coba jawab!” Ia menunjuk ke… laki-laki di sebelahku.

“Err… ” Ia terdiam, tidak menjawab. Padahal bisa kulihat seluruh kelas dan dosen sedang memperhatikan dia, menunggu jawaban. Ah, ternyata dia bodoh. Masa penemu teori relativitas saja tidak tahu?

“Hei, apa kau tahu jawabannya?”

Eh? Kutolehkan kepaku, menatapnya. Suaranya familiar…

“Tolong, apa kau tahu jawabannya?”

“Y—ya, Albert Einstein.” Jawabku terbata-bata. Suaranya itu…

“Albert Einstein, Songsaenim.” Akhirnya ia menjawab dengan suara cukup keras, mengutip jawaban yang kuberitahukan.

“Bagus. Penemu teori relativitas adalah Albert Einstein. Bahkan anak SD pun pasti tahu.” Lalu dosen itu kembali melanjutkan penjelasannya. Para mahasiswa pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang tertarik dengan kuliah ini.

Aku tertarik. Bukan tertarik pada kuliah yang membosankan ini, tapi pada laki-laki di sebelahku. Aku kembali meliriknya berkali-kali, penasaran. Siapa dia? Kenapa suaranya terdengar begitu familiar?

Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. “Err… apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkin. Kan kita masih satu kampus.”

“Y—ya, mungkin saja…”

“Tapi kurasa kita pernah bertemu belum lama ini. Aneh ya?”

“Aku juga merasa begitu. Anehnya lagi, hanya suaramu yang terdengar familiar.”

“Oh ya?”

“Hmm..”

“Aneh.”

“Ya, sangat aneh.”

Aku mengalihkan pandangan dengan kikuk ketika menyadari kuliah ini sudah selesai. Aku pun membereskan buku dan berdiri menyusul teman-temanku. Kurasa, lain kali aku harus tanya siapa namanya.


FIN

Saturday, July 11, 2009

[Oneshot] He's My Death God!

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!”

Dengan mata yang masih terpejam, tanganku bergerak-gerak menggapai jam weker yang seharusnya ada di sebelah tempat tidurku. Namun bukannya mematikannya, tanganku malah membuatnya jatuh ke lantai. Aisssssh! Terpaksa aku bangun untuk mengambil jam weker itu dan mematikannya. Lalu kembali kurebahkan badanku dan menatap langit-langit kamar. Bagai pemutar rol film, aku kembali teringat pada hari itu…

”Yak, Yoonmi-ah, berapa nomor ujianmu?”

“1324. Kau?”

“3287. Siap?”

“Ya. Kau ke kanan, aku ke kiri.”

“Sip.”

Aku dan Yoonmi serempak berpisah. Aku ke papan pengumuman di sebelah kanan sedangkan Yoonmi ke papan pengumuman di sebelah kiri. Hari ini pengumuman ujian masuk Universitas Seoul, universitas paling bergengsi se-Korea Selatan. Kalau bisa masuk, ahh bagaikan mimpi!

“Akh, permisi…permisi…” Aku sedang mencoba menerobos kerumunan orang yang sama-sama ingin melihat pengumuman. “1324… 1324…” Mata dan jariku bergerak seiringan menyisir daftar nama dan nomor ujian yang tertera pada kertas-kertas yang ditempelkan. Aih, pabo! Nomor ujian yang ada disini semuanya berawalan 3! Kalau begitu, aku cari nomorku saja. “3287…3287…” ADA! Aku harus segera keluar dari kerumunan ini dan mencari Yoonmi! Namun ketika kubalikkan badan untuk keluar, orang-orang di depanku malah mendesakku sampai aku hampir terjepit. Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau hidupku berakhir seperti ini! Kan sangat tidak lucu kalau Appa dan Eomma alih-alih mendapat berita bagus ini, malah ditelepon polisi kalau anak perempuan semata wayang mereka tewas tejepit di antara orang-orang dan papan pengumuman? Mungkin bukannya sedih, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Sekarang aku bahkan tidak sempat bergidik saat memikirkan kemungkinan konyol itu. Kupejamkan mataku dan berusaha melawan dorongan dari orang-orang menyeramkan ini. Ukh, bernapaslah, Aerin! Bahkan udara pun sampai tidak punya cukup tempat untuk sampai ke tenggorokanku. Oh Tuhan, apakah aku harus mati konyol seperti ini?

Eh. Tiba-tiba aku bisa bernapas dengan lega. Dorongan-dorongan itu pun tidak lagi terasa menyakitkan. Apa aku sudah mati? Kubuka mataku perlahan, mencoba memastikan dunia luar. Apa rohku sudah dicabut malaikat kematian?

Salah. Semua salah. Di hadapanku sekarang tidak ada malaikat kematian. Eh, bisa disebut malaikat juga sih. Malaikat surga tepatnya. Dadanya yang bidang memberi cukup ruang bagiku untuk bernapas. Ketika kutatap wajahnya, kulitnya yang putih mulus terlihat begitu… bersinar. Kacamata kotak yang dikenakannya seakan-akan ingin menyembunyikan mata indah itu dari penglihatan orang. Belum lagi rambutnya. Hitam, cukup stylish, begitu cocok dengan bentuk kepalanya. Wajahnya maksudku. Oh, kalau malaikat kematian itu setampan dia, aku rela mati lebih cepat! Cabut saja nyawaku, wahai malaikat!

“HEI!”

Eh?

“Apa kau mau mati disini?”

Eeeeh? Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teriakannya. Oh, apakah suara malaikat kematian itu terdengar begitu merdu seperti ini?

“Cepat keluar kalau tidak mau mati terjepit. Aku sudah capek menahan orang-orang ini!”

Akh. Duniaku yang tadinya hanya ada aku dan malaikatku mulai terisi oleh suara-suara berisik dan sosok orang-orang yang saling mendorong. Ternyata aku masih hidup—sayang sekali, padahal kukira nyawaku sudah dicabut oleh malaikat ini—dan alasanku tetap hidup adalah pria ini. Rupanya sedari tadi ia menahan dorongan orang-orang yang menjepitku.

“CEPAT!”

“Ah, iya-iya…” balasku pada akhirnya. Lalu kami bergerak bersama-sama sampai kami keluar dari kerumunan itu. “Goma—“ Eh? Pria itu sudah tidak ada lagi. Rupanya ia kembali menyelami kerumunan orang itu. Apa ia juga ingin melihat hasil ujian masuk? Apa ia diterima? Apa ia—“

“Aerin-ah!!! Aku diterima!! Bagaimana denganmu?”

Pandanganku beralih dari kerumunan yang hampir menjepitku tadi ke wajah Yoonmi yang berbinar-binar menatapku. “Ah, iya-iya.. Aku juga diterima.”

“Bagus! Kita sama-sama diterima!!” teriak Yoonmi sembari memelukku.

“Iya, bagus…” balasku tanpa bersemangat. Mataku kembali memperhatikan kerumunan di belakang Yoonmi.

“YA, Aerin-ah! Apa kau tidak senang? Ada apa denganmu? Apa kau sakit? Aigo… apa yang harus kukatakan pada Ahjushi dan Ahjuma kalau kau sampai sakit?”

“Yoonmi-ah, tenanglah. Tentu saja aku senang! Kita diterima!!” balasku mencoba menenangkan Yoonmi. Ia paling takut diomeli Appa dan Eomma yang overprotektif padaku. Meski sebenarnya Appa dan Eomma sudah sangat mengenal Yoonmi karena kami sudah satu sekolah sejak SD, tapi Yoonmi masih saja segan pada mereka.

Pandangan mataku kembali ke arah papan pengumuman. Pria itu sudah keluar. Ekspresinya terlihat datar. Apa ia tidak diterima? Mengapa malaikat setampan ia tidak diterima? Ah, kurasa aku harus memastikannya. Sekalian mengucapkan terima kasih. Ia kan penyelamat nyawaku…

“Yoonmi-ah, aku mau kesana sebentar.”

Kudatangi pria itu. Sambil berjalan ke arahnya, aku terus memperhatikan ekspresinya. Apa ia benar-benar tidak diterima? Tapi ekspresinya tiba-tiba berubah. Dari ekspresi datar menjadi senyum-senyum sendiri. Lalu ia menggerakkan tangannya dan mulutnya berucap “YES!”. Sungguh pria yang aneh.

“Permisi…” sapaku.

Ekspresinya langsung berubah. “Ya?” sahutnya gelagapan. Lucu sekali.

“Gomawo atas bantuanmu tadi.”

“Y—ya, sama-sama,” sahutnya masih gelagapan.

“Apa kau juga melihat hasil ujian masuk? Diterima tidak?”

“Ya, aku diterima. Kau?”

“Ya, aku juga diterima. Selamat ya.”

“Masuk jurusan apa?”

“Kedokteran. Kau?”

“Siapa namamu?”

Kok dia terus menanyaiku sih? “Park Aerin. Kau?”

Alih-alih menjawab, ia malah terlihat berpikir. “Kita masuk pada angkatan yang sama dan jurusan yang sama. Sebenarnya aku lebih tertarik pada wanita yang lebih tua, tapi kurasa aku ingin coba pacaran pada wanita yang seumuran denganku. Namaku Kim Jaejoong. Apa kau mau menjadi pacarku?”

“. . .” APA??

“APA???” Eh, kok malah Yoonmi yang teriak sih?



Hahaha… Aku jadi tertawa sendiri mengingatnya. SUNGGUH KONYOL! Aku hampir mati terjepit, bertemu dengan malaikat kematian yang lucu, bahkan malaikat itu mengajakku berpacaran. Hahaha…

Tapi itu kenangan 1 tahun yang lalu. Saat itu, meski masih shock tapi aku langsung menerimanya. Tentu saja aku tidak menolak malaikat setampan dia. Sungguh beruntung, bukan? Tapi Yoonmi malah histeris sendiri dan aku harus berjuang keras untuk menenangkannya agar ia tidak memberitahu orangtuaku. Appa dan Eomma tidak boleh tahu. Kalau mereka sampai tahu aku berpacaran begitu masuk kuliah, hmm aku tidak bisa membayangkan apa tindakan mereka. Bisa-bisa Joongie-ku dipanggang hidup-hidup. Oops, ketahuan yah. Aku memanggil malaikatku itu Joongie. Panggilan yang imut, bukan? Tadinya ia sempat protes tapi aku bersikeras tetap memanggilnya seperti itu. Ia kan malaikatku yang lucu. Hehehe…

Oh iya, pada awalnya kami berpacaran karena Joongie ingin mencoba berpacaran pada perempuan yang seumuran dengannya. Awalnya kukira kami tidak akan cocok karena banyak yang bilang kalau pacaran dengan orang yang seumuran akan lebih sering bertengkar. Yah, kami juga sering bertengkar sih. Tapi semua masalah selalu bisa diselesaikan. Sampai akhirnya kami menjalani masa pacaran selama satu tahun… Tunggu dulu. Satu tahun? Ya ampun, hari ini kan hari peringatan satu tahun pacaran kami! Seharusnya kami bertemu di depan kampus jam sebelas siang. OMONA.. sekarang sudah jam setengah dua belas! Pabo! Bagaimana aku bisa lupa dan bangun kesiangan? Padahal semalaman akulah yang berkali-kali mengingatkan Joongie agar ia tdak terlambat. Ya ampun, aku harus cepat!

Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Setelah secepat mungkin memilih pakaian dari lemari dan memakainya, aku segera turun ke lantai satu. Hari ini hari minggu, jadi tentu saja orangtuaku ada di rumah. Appa sedang sibuk di ruang kerjanya sementara Eomma sibuk di dapur mengawasi pembantu memasak.

“Appa, Eomma, aku pergi dulu!!”

“Aerin, kau mau kemana?” tanya Eomma.

“Aku ada janji dengan Yoonmi dan sekarang sudah terlambat! Appa, Eomma, annyeong!” teriakku sambil keluar rumah tanpa menghiraukan suara teriakan Appa. Pasti appa menyuruhku diantar supir. Iih, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku mau naik bus saja.

Sesampainya di depan kampus, aku segera mencari sosok Joongie di antara orang-orang yang datang untuk melihat hasil ujian masuk. Hihihi, jadi teringat lagi pada kejadian itu. Tapi aku tidak juga menemukan Joongie. Argh, Kim Jaejoong, KAU TERLAMBAT!
Kucoba bersabar dan mencari tempat duduk. Menunggu malaikat bodoh itu. Sekarang sudah jam setengah satu siang. Ia belum datang. Dan aku sudah lapar! Grrr… lihat saja nanti, begitu ia datang aku akan memakannya! Grawr!

Tiba-tiba sebuah sepeda motor memasuki halaman kampus dan berhenti di depanku. Lho, kenapa malah Changmin yang kesini? Tapi yang mengendarainya siapa? Motor Changmin, tapi yang membawanya sama sekali tidak kukenal. Jaket dan helmnya membuatnya terasa asing.
Perlahan laki-laki itu membuka helmnya. Joongie??!

“Aerin-ah!”

Sesaat aku sempat terbuai akan kekerenannya saat membuka helm. Ya ampun, kalau Tuhan memang membuat manusia berdasarkan rupa-Nya, pasti Tuhan setampan ini!
Ehem. Aku kan sedang marah padanya. Ia terlambat satu setengah jam!
“Kau terlambat,” sahutku ketus.

“Tidak, aku tidak terlambat. KAU-lah yang terlambat. Aku sudah datang dari jam sebelas tadi, menunggumu sampai kelaparan. Jadi aku pergi sebentar untuk makan siang.”

Oops. Ternyata ia tidak terlambat. Tapi… “Kau makan siang duluan? Aku juga lapar! Huh!”

“Kau belum makan? Ya sudah, ayo kita pergi makan. Aku temani.”

“Kau ini… aku tidak mau makan sambil diperhatikan orang!”

“Hei, kenapa malah kau yang marah? Harusnya aku yang marah, tau? Cepatlah naik kalau kau mau makan. Atau kau mau mati kelaparan disini?”

“Oke…oke…” Mau tidak mau aku harus menyerah. Perut laparku sudah tidak bisa kompromi. “Ngomong-ngomong, kenapa motor Changmin ada padamu?”

“Kupinjam. Biar kita bisa lebih leluasa kemana-mana. Apa kau takut naik motor?” ucapnya sambil menyalakan mesin.

“Anio… tentu saja aku berani. Pabo!” jawabku sambil memukul pundaknya pelan. “Tapi bukannya motor Changmin ini rusak?”

“Tenang saja, sudah diperbaiki. Sekarang pegangan kalau kau tidak mau terjatuh.”

“Whoaaaa!” teriakku sambil refleks memeluk pinggangnya. Dasar usil, langsung ngebut sebelum aku siap. Malaikat bodoh!

Kami ke restoran cepat saji. Tentu saja karena aku sudah sangat lapar. Aku memesan burger porsi besar, kentang goreng super large dan cola large size.

“Kau mau pesan apa?” tanyaku pada Joongie.

“Orange jus medium. Kau pesan orange jus saja daripada cola. Orange jus lebih sehat lho.”

“Ya ya ya… aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Aku sudah sangat lapar,” Kualihkan pandangan pada pelayan yang sedang menanti pesananku. “Burger special extra large satu, kentang goreng super large, orange jus large satu dan orange jus medium satu.”

“Akhirnya kau pesan orange jus juga.” ujar Joongie sambil tersenyum.

“Kubilang aku tidak ingin berdebat—“

“Totalnya 7500 won.”

“Biar aku yang bayar. Kau sudah menyediakan transportasi, bukan?” tolakku saat Joongie merogoh dompetnya.

“Kau ini—“

Ia terdiam. Setelah kubayar makanan kami, Joongie membawakan nampannya menuju meja di dekat jendela dengan kursi sofa favoritku.
Ia menaruh makanan dan menungguku duduk. “Geser,” sahutnya menyuruhku bergeser ke arah jendela. Aku enggan tapi terpaksa bergerak juga setelah ia memaksa duduk pada sofa yang sama denganku. Huh. Maunya apa sih?

“Bukannya kau tidak suka diperhatikan orang saat sedang makan? Dengan begini, aku tidak akan memperhatikanmu dan kau tidak akan merasa terganggu.”

“Terserah kau,” jawabku dengan nada datar sedikit ketus. Namun di dalam hati, diam-diam aku mengagumi perhatiannya.

Kuhabiskan burgerku dengan cepat lalu berkata, “Pindahlah duduk kesana. Kita makan kentang sama-sama.” Joongie menurut dan ia pun pindah duduk ke hadapanku.

Joongie menyeruput orange jusnya sambil sesekali mengambil kentang goreng, tetap dalam diam. Apa ia sebal dengan sikapku?

“Jadi?” Aku mencoba memulai pembicaraan.

“Apa?”

“Apa rencana kita hari ini?”

“Kau mau kemana?”

“Terserah padamu. Kau yang bawa motornya. Lagipula… maaf aku terlambat. Semalaman aku tidak bisa tidur.”

“Tidak bisa tidur karena memikirkanku?”

“Enak saja! Mana mungkin aku memikirkanmu? Tidak ada untungnya, tau?”

“Ayolah, mengaku saja…”

“Kau— Makan saja ini!” omelku sambil mengambil botol saos tomat dan menuangkannya banyak-banyak ke atas kentang goreng.

“Hei! Kau kan tahu aku tidak suka saos tomat!”

Aku menyeruput habis orange jusku lalu berkata, “Sudahlah, aku sudah kenyang. Kau juga kenyang, bukan? Ayo kita pergi!”

“Mau kemana?”

“Kubilang, terserah kau.”

“Oke, tuan putri. Ayo kita pergi.”

Aku duduk di belakangnya dan kembali memeluk pinggangnya erat-erat. Kupejamkan mataku, menikmati desiran angin yang menerpa. Aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Kami jarang berkencan di luar kampus. Ya, karena aku tidak cukup pintar mengarang alasan untuk menutupi kencanku dengan Joongie pada Appa dan Eomma. Selain itu… aku tidak yakin kami bisa terus bersama seperti ini. Bukankah Joongie lebih suka wanita yang lebih tua darinya?

Tiba-tiba laju motor perlahan-lahan melambat sampai akhirnya berhenti. Kubuka mataku. Apa kami sudah sampai?

“Aaaaah, bensinnya habis!” gerutu Joongie.

“Apa?” Kulihat keadaan sekitar. Kami berada di tepi jalan yang sepi. Di salah satu sisi jalan terdapat padang rumput yang luas sementara di sisi lainnya ada laut. Pantai!

“Tadinya aku ingin membawamu ke puncak bukit di sebelah sana. Tapi tahu-tahu bensinnya habis. Mianhe… Aku akan segera minta bantuan—”

“Tidak apa-apa. Aku suka pantai,” ucapku santai sambil berlari ke arah pantai yang begitu indah. “Aaaaah pantai!!!”

“YA! Kau ini seperti tidak pernah ke pantai saja. Malu tahu dilihat orang,” ujar Joongie sambil menyusulku.

“Siapa yang lihat? Cuma kau, kan? Aku memang tidak pernah ke pantai…” sahutku sambil melepas sepatu dan menghampiri ombak yang datang. Tapi…

“Kenapa, Aerin-ah? Kau takut ombak?”

“Aku… tidak bisa berenang,” ucapku pelan sambil kembali ke pasir yang kering dan duduk.

“Ayolah, masa kau hanya duduk saja? Bukankah kau belum pernah ke pantai?” Joongie menarik tanganku.

Aku sedikit enggan, tapi kurasa aku harus mencobanya. Kuikuti kemauan Joongie meski akhirnya aku masih berdiri di tepi pantai, menghindari ombak. Sedangkan Joongie sudah menerjang ombak dan mulai basah kuyup. Untung saja dompet dan HPnya sudah ditaruh bersama tasku di pasir kering. Kalau tidak, pasti HPnya sudah rusak.

“Aerin-ah~” Ia kembali menarikku lebih dekat pada ombak. Pegangan tangannya kuat sekali.

“Joongie, aku tidak ma— Akh!“

Kami jatuh bersama setelah diterjang ombak. Akhirnya pakaianku pun ikut basah.

“Kau tidak apa-apa?” Joongie bertanya khawatir.

“Hahaha, kau bodoh!”

“Aku bodoh? Kalau begitu kau lebih bodoh lagi, mau pacaran denganku.”

“Enak saja!”

“Jadi ombak itu tidak menyeramkan, bukan?”

“Tidak karena ada—“ Byur! Ombak sialan itu datang lagi, menerpa kami berdua sehingga kami berdua benar-benar basah kuyup seluruhnya.

Joongie membantuku berdiri. “Karena ada apa? Kau belum menyelesaikan ucapanmu.”

“Tidak ada apa-apa. Ayo cepat menghindar sebelum ombaknya datang lagi.” Karena ada kau, malaikat bodoh!

Akhirnya kami berdua bermain ombak. Berlari menyongsong ketika ombak akan datang, tapi langsung lari menghindar begitu ombak itu sampai di pantai. Aku tidak takut lagi. Aku yakin aku akan aman berada bersamanya. Ia pasti akan melindungiku, bukan? Ia kan, malaikatku…

Tanpa kami sadari, langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap…

Gelegar!

“AAAAAAAAAAAH!!!” teriakku begitu terdengar suara petir itu. Aku langsung berjongkok dan menutup kedua telingaku.

“Aerin-ah! Kau tidak apa-apa?” Joongie langsung menghampiri dan memelukku.

Gelegar! Suara itu datang lagi, disusul hujan rintik-rintik. Joongie membantuku berdiri, mengambil barang-barang kami dan berjalan menuju pohon terdekat. Pohon itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk melindungi kami dari hujan yang makin lama makin deras.

“Kau takut petir?”

Aku tidak menjawab. Suara petir menyambar yang tak kunjung henti membuatku makin meringkuk dan menutup telinga serta mataku. Joongie mengambil HPnya.
“Changmin-ah, bisakah kau segera kesini? Kami kehabisan bensin dan sekarang hujan deras. Bukan di bukit, tapi di pantai dekat bukit. Bisa? Baiklah. Gomawo.”

“Aku sudah menelepon Changmin. Ia akan datang sebentar lagi. Kau jangan takut, aku ada disini,” ujar Joongie sambil mempererat pelukannya. Pelukan yang membuatku teringat pada tindakannya yang menolongku saat hampir terjepit tahun lalu. Ketika aku begitu terpesona pada dirinya. Tuhan, meski petir tak berhenti sekalipun, aku rela terus seperti ini!

Kami terus diam seperti ini sampai suara petir berhenti. Hanya tersisa hujan yang masih cukup deras. Kedua tangan Joongie memegang wajahku. Aduh, kurasa wajahku sudah merah sekarang…

“Kau tidak apa-apa? Petirnya sudah berhenti. Sekarang sudah aman.”

“Ya, aku tidak apa-apa,” sahutku sedikit kikuk sambil menegakkan badan. “Gomawo Joongie-ah.”

Joongie tidak menjawab, tapi malah menarik pundakku ke dalam dekapannya. “Aku hampir mati ketakutan melihatmu begitu histeris. Mianhe.. kencan hari ini begitu kacau gara-gara aku.”

“Berhentilah menyalahkan dirimu. Aku sangat senang hari ini. Tapi pasti aku terlihat begitu konyol. Takut pada ombak, takut petir.. kurasa malah aku yang merepotkanmu.”

“Baiklah. Tidak ada yang salah. Puas? Sebentar lagi Changmin datang dan kita bisa pulang.”

“Joongie-ah…”

“Apa? Apa kau sakit? Oh iya, pakaianmu basah. Jangan-jangan kau mulai flu?”

“Anio.. bukan itu. Aku hanya ingin bertanya. Bagaimana perasaanmu padaku setahun ini?”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku—“

“Dulu kau bilang kalau kau lebih tertarik pada wanita yang lebih tua. Lalu kau ingin mencoba pacaran dengan perempuan yang seumuran sehingga kau memilihku. Aku ingin menjernihkan masalah. Aku tidak ingin mejadi penghambat kebahagiaanmu. Jadi bila kau tidak suka padaku, kita—“

“Saranghae.”

“Benarkah—“

“Bagaimana dengan kau?”

Aku tidak mampu menjawab. Masa aku harus cerita kalau aku sudah menyukainya pada pandangan pertama? Pasti ia akan tertawa mendengarnya… Ya Tuhan, kenapa ia memejamkan matanya dan mulai mendekat? Apa ia mau menciumku? Tidak tidak tidak! Aku belum siap!

“Hujannya sudah berhenti!” sahutku tiba-tiba sambil melihat ke arah pantai.

Kulirik Joongie sekilas. Ia membuka matanya dan terlihat kesal. Tangannya menyentuh wajahku, mengarahkan pada posisi yang sesuai. Lalu ia kembali memejamkan matanya dan mendekat…

“Pelangi, Joongie! Ah indah sekali…”

“YA! Kau ini mau kucium atau tidak?” kali ini ia langsung menyentuhkan bibirnya dengan sedikit paksaan. Aku tidak mampu menolak lagi dan membalas ciumannya. Apa ini mimpi? Jiwaku seakan-akan terhisap begitu saja dalam ciuman ini. Malaikat kematian, apa kau benar-benar akan mencabut nyawaku?

Setelah selesai, kami saling mengalihkan pandangan dengan kikuk. Sama-sama menatap pelangi tipis yang terbentuk di ujung lautan. Sungguh indah…

“KIM JAEJOONG SARANGHAE!!!” teriakku tiba-tiba ke arah pantai sehingga suaranya bergema.

“PARK AERIN SARANGHAE!!!” balasnya.

“Hei, kau masih harus melewati orangtuaku. Mereka kan belum tahu hubungan kita.”

“Tenang saja, Joongie-mu ini pasti bisa diterima!”

Hahaha… Percaya diri sekali sih? “JOONGIE BODOH!!!”

“Eh apa-apaan kau mengataiku? AERIN JELEK!!!”

“JOONGIE USIL!!!”

“AERIN PENAKUT!!!”

“JOONGIE—“

“Tin tin!” suara klakson itu menghentikan teriakanku.

“Kalian mau terus saling mengejek dan tidak mau pulang?”

Akh, Changmin sudah datang rupanya. Ia datang membawa truk milik ayahnya. Sejak kapan dia disana?

“Changmin-ah, sejak kapan kau datang?”

“Baru saja. Sejak terdengar Joongie bodoh, jelek, usil dan penakut. Hahaha… kalian lucu sekali. Kok saling mengejek sih?”

Aku dan Joongie berpandangan, lalu sama-sama tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa kalian tertawa? Apa aku melewatkan sesuatu?”

“Tidak apa-apa, Changmin. Bagus sekali. Hahaha… Ayo kita segera pulang,” sahut Joongie sambil menepuk pundak Changmin, masih senyum-senyum sendiri.

“Tidakkah kalian ingin menceritakan sesuatu selain hujan dan kehabisan bensin?”

“TIDAK!” jawabku dan Joongie bersamaan.


FIN