Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Monday, July 13, 2009

[Fiction] Broken Mind

Seorang perempuan muda tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Kedua matanya memancarkan rasa sakit akibat kanker yang menggerogotinya, ia tahan dengan sekuat tenaga, menatap kedua mata lain yang terlihat merah dan mulai berair namun berusaha tetap tegar. Laki-laki itu seakan ingin menukar posisinya dengan perempuan yang dicintainya itu. Perempuan itu sendiri tersenyum dan perlahan menutup kedua matanya. Masker oksigen, selang infus, pendeteksi detak jantung, ruang ICU yang mengharuskan pengunjungnya memakai pakaian khusus serta seluruh isinya sama sekali tidak berguna. Tak dapat menangkap jiwa gadis itu yang perlahan meninggalkan raganya…

Aku iri.

Terdengar suara kunci pintu. Ahjushi sudah pulang. Segera kumatikan TV, mengembalikan kursi meja makan ke posisinya semula dan berjalan ke arah kamar tanpa menghiraukan pandangan Ahjushi yang selalu menggangguku.


***


“Argh, perutku sakit!!” Seorang wanita hamil tiba-tiba mengerang sambil memegangi perutnya.
“Chagiya, kau akan melahirkan? TAKSI!!” Pria itu langsung menyetop taksi dan membantu istrinya masuk.
Taksi itu langsung menuju rumah sakit terdekat. Begitu sampai, si pria langsung keluar dari taksi dan menghambur masuk ke dalam rumah sakit. Memanggil perawat untuk menolong istrinya. Perawat yang melihatnya langsung bersigap mengambil dipan dorong untuk membawa istri pria itu masuk ke rumah sakit.
Ia duduk di kursi, menundukkan kepalanya sambil mengerang pelan. Sesaat kemudian ia berdiri. Berjalan hilir mudik sambil terus mengecek lampu merah yang menyala di atas pintu ruang operasi. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu dan memberi berita baik padanya. Ia begitu tidak sabar menunggu akhir momen ini.
Pintu yang ia nanti akhirnya terbuka. Namun lampu merah itu tak kunjung berubah warna. Ia tercekat. Seorang perawat yang masih memakai pakaian khusus operasi keluar dari pintu itu. Sama sekali bukan ini yang diharapkannya.
Istrinya mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan donor darah secepatnya. Pria itu langsung mengangguk mantap ketika si perawat menanyakan donor yang sesuai untuk istrinya.
Selesai mendonorkan darah, pria itu kembali menunggu di depan ruang operasi. Sudah 8 jam berlalu. Lampu itu masih tidak berubah.
Ia menunduk, kembali mengenang masa lalu. Saat ia dan istrinya diam-diam pacaran ketika SMA. Lalu semua masa indah itu berubah sekejap ketika istrinya hamil. Orang tua mereka berdua tidak merestui sehingga mereka terpaksa hidup sendiri, membangun rumah tangga berdua. Sungguh masa yang sulit namun mereka selalu menanggapinya dengan senyum kebahagiaan.
Tiba-tiba lampu merah itu berubah menjadi hijau. Pintu didorong kencang dan seorang dokter keluar..

Aku iri.

Aish, bersambung pada saat yang tidak tepat! Episode selanjutnya belum selesai ku-download pula. Kulihat download-anku yang masih perlu 1 jam lagi sampai selesai. Terpaksa aku berhenti menonton sebentar dan memulai chatting dengan temanku.


***


Malam ini tenggorokanku terasa tidak enak. Terasa sedikit sakit saat menelan. Yah, paling-paling hanya sakit tenggorokan biasa. Kalau besok mulai mengganggu, baru aku minum obat.

Keesokan harinya, aku benar-benar merasa tidak enak badan ketika sedang kuliah. Ruangannya ber-AC. Entah karena efek AC atau apa, aku merasa badanku sedikit panas. Instingku mulai bekerja. Kurasa aku harus cepat pulang dan minum obat. Tapi dosen malah mau memberi kuis hari ini, tepat sebelum jam pulang. Terpaksa aku tetap di kelas. Untung saja mahasiswa yang sudah selesai mengerjakan soal boleh pulang duluan, jadi aku yang untungnya bisa cepat selesai pun keluar kelas mendahului yang lain. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan.

Sesampainya di halte bis, ternyata ada keterlambatan kedatangan bis. Kurasa kalau aku menunggu saja sementara sekarang sudah jam makan siang bisa-bisa maagku kambuh. Jadi aku pun pergi makan. Aku masuk ke salah satu rumah makan Chinese di dekat kampus. Kudengar makanannya enak. Namun saat kulihat daftar menu, aku baru sadar kalau menunya untuk makan keluarga. Hanya sedikit makanan untuk perorangan. Karena tenggorokanku masih terasa sakit, aku pun memilih bakmi kuah. Namun ketika pesananku datang, selera makanku lenyap seketika. Terasa mual. Kupaksakan makan sedikit sambil berkali-kali menyeruput teh hangatku untuk meredakan rasa mual ini. Tidak berhasil. Aku hanya bisa makan kurang dari sepertiganya. Akhirnya aku pun berhenti makan. Kubayar dan keluar dari tempat itu, kembali menuju halte bis. Seharusnya bisnya sudah datang.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengirimkan pesan singkat pada Eomma, menanyakan obat apa yang harus kumakan. Eomma sempat mengomeliku, kenapa aku tidak makan obat dari kemarin.
Sudahlah, aku ini sedang sakit, Eomma!

Aku mencoba tidur setelah makan obat. Weks, aku benci obat dan sekarang terpaksa aku memakannya karena aku tidak mau sakit sekarang. Dua hari lagi ada ujian praktek akhir semester dan aku tidak mau sakit saat ujian!
AKU BENCI SAKIT!


***


Sekarang aku tinggal sendirian di rumah. Tadinya keluarga Ahjumma tinggal di rumahku karena rumah mereka sedang direnovasi. Sekarang rumah mereka sudah selesai dan akhirnya kuperoleh kebebasanku kembali. Sudah cukup kekesalan yang kupendam karena merasa tidak cocok dengan mereka.

Aku bosan. Komputerku sedang rusak sehingga tidak bisa dipakai. Acara TV tidak ada yang menarik. Jalan-jalan keluar rumah, tidak ada yang menemani. Menyedihkan.

Akhirnya aku berdiam di dalam kamar. Merebahkan kepalaku di atas bantal dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Terlintas di kepalaku adegan-adegan yang kuinginkan. Yang kurindukan. Yang selalu membuatku iri.

Aku beranjak keluar kamar menuju pintu depan. Kuputar kuncinya hingga terbuka. Agar akan ada orang yang menemukanku, pikirku.
Lalu aku pun naik ke lantai dua dan berhenti di puncak anak tangga. Kubalikkan badan dan menatap tangga-tangga yang menurun curam itu. Kurasa tangga di rumahku tidak cukup lebar untuk kugunakan, tapi kurasa kekurangan itu akan memberi efek yang lebih baik.

Aku berjongkok dan memutar badanku ke arah dinding, merapat mendekatinya. Lalu kurebahkan badanku. Ya, satu gerakan kecil dan rencanaku sempurna.
Kubalikkan badan membelakangi tangga, lalu dengan cepat memutarnya kembali. Yang kuingat selanjutnya adalah rasa ngilu di beberapa bagian tubuhku, diakhiri dengan satu dengungan keras yang memenuhi kepalaku.


***


Kepalaku pusing. Aku tidak bisa merasakan badanku. Sama sekali tidak bisa bergerak. Aku hanya mampu menggerakkan ujung jariku. Apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah mati? Tidak, bukan ini yang kuinginkan. Kucoba membuka mata dengan susah payah. Gelap. Apa sekarang sudah malam? Sudah berapa lama aku seperti ini?

“Aerin? Kau sudah sadar, nak?”

Suara Eomma. Eomma datang? Aduh, sepertinya aku sudah kelewatan. Pasti Eomma sangat cemas. Mianhe Eomma…

“Kau terjatuh dari tangga. Beberapa tulangmu patah tapi pasti akan segera sembuh. Istirahatlah.”

“Eomma… kenapa gelap-gelapan?” Terlalu gelap. Masa rumah sakit tidak punya lampu?

“Gelap? Ini siang hari, terang benderang…” Lalu kudengar suara nafas tercekat dan sedikit getaran pada ranjangku.

“Jangan bercanda, Eomma. Nyalakan lampunya. Ulang tahunku masih lama.” Ucapku tidak percaya. Pasti Eomma bercanda kan?

“…” Tidak ada balasan dari Eomma.

“Eomma? Ayo, nyalakan lampunya…”

“Y—ya, ini sudah Eomma nyalakan,” Gelap. “Masih gelap? Di luar seharusnya terang. Eomma buka tirainya dulu ya,” Tetap gelap. “Oh iya, Eomma ada senter. Apa kau tidak silau?” Sama sekali tidak ada cahaya.

“Tunggu sebentar, nak. Eomma mau panggil dokter.”

Tidak. Bukan ini yang kubayangkan. Semuanya memang sesuai. Aku berada di rumah sakit. Tidak mampu bergerak sama sekali. Lemah dan tidak berdaya. Di tanganku ada selang infus. Tadinya ada masker oksigen meskipun sekarang sudah diganti dengan selang oksigen. Bau obat-obatan yang menyengat. Namun aku tidak mengharapkan rasa sakit ini. Rasa sakit yang selalu menyiksa saat badanku sedikit bergerak. Serta… kegelapan yang menyelimutiku.


***


Eomma dan keluargaku yang lain baru saja keluar. Terdengar suara isakan Eomma sementara suara lain mencoba menghiburnya.
Aku menolak dioperasi. Buat apa membuang-buang uang demi aku yang sengaja menyakiti diriku? Sekalipun dioperasi, kemungkinan sembuh hanya 50%. Tidak menjamin. Biarkan saja aku seperti ini. Anggap saja ini adalah hukuman bagiku yang telah seenaknya mempermainkan nyawaku. Aku ini berdosa, Eomma. Seharusnya aku mati saja daripada hidup seperti ini…

“Kenapa kau tidak mau operasi?”

Suara siapa itu? Aku tidak mendengar suara pintu terbuka. Darimana laki-laki ini datang?

“Maaf, aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Dari tadi aku mendengar percakapan keluargamu. Tidak mungkin sembuh? Alasan yang tidak masuk akal. Bila kau yakin akan sembuh, kau pasti bisa sembuh.”

“Siapa kau?”

“Aku… Hei, jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kau tidak mau sembuh?”

“Kau mengubah pertanyaan. Harusnya kenapa aku tidak mau operasi, bukannya kenapa aku tidak mau sembuh.”

“Sama saja.”

“Beda!”

“Terserah kau. Jawab saja salah satunya.”

“Tidak mau.”

“Ya sudah. Kau sangat tidak asyik. Aku pergi.”

“Hei!”

Tidak ada balasan. Apa laki-laki itu sudah pergi? Berapa umurnya? Suaranya terdengar sedikit berat, jadi mungkin ia seumuran denganku atau lebih tua. Atau lebih muda? Ah, aku tidak tahu. Aku mau tidur saja.


***


“Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?”

“Aaa! Kau mengagetkanku saja.”

“Mengagetkan? Masa?”

“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, atau memberi sinyal suara ketika kau datang?”

“Hmm… tidak mau. Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak!”

“Ya sudah, aku pergi saja…”

“Eee, tunggu dulu!”

“Kenapa? Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak, tapi… maukah kau menemaniku? Aku kesepian…”

“Apa kau tidak takut ditemani laki-laki asing sepertiku? Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada temanmu yang datang? Kasihan sekali kau.”

“Kau— Sekarang sedang ujian semester, jadi semua teman-temanku sibuk belajar.”

“Hmm… sepertinya hanya aku satu-satunya orang yang bisa menemanimu. Baiklah, terserah kau mau jawab pertanyaanku atau tidak. Aku akan menemanimu. Jadi, apa yang harus kulakukan agar kau tidak kesepian?”

“Temani aku saat aku—“

“Aerin, kau bicara dengan siapa?”

“Oh, Eomma datang. Dengan temanku. Hei! Aduh, aku belum tahu namanya. Ini Eommaku.”

“Siapa? Tidak ada siapa-siapa disini.”

Hah? Bukannya tadi ia baru saja ada disini saat Eomma datang?

“Eomma mau ke ruang dokter. Tunggu sebentar ya.”

Terdengar suara pintu terbuka. Sepertinya Eomma sudah pergi.

“Hei, kenapa kau sembunyi begitu ada Eomma? Oh iya, ucapanku tadi, maukah kau menemaniku ketika aku sendirian?”

Tidak ada jawaban. Orang yang aneh. Datang dan pergi begitu cepat dan tiba-tiba. Semoga ia datang lagi…

Harapanku terpenuhi. Ia datang lagi keesokan harinya. Ia tidak menjawab langsung permintaanku, tapi kehadirannya setiap kali Eomma sedang pergi dan aku sendirian merupakan jawabannya. Aku banyak bercerita padanya. Kurasa baru sekarang aku menemukan seorang teman untuk berbagi cerita. Kulimpahkan segala yang ada di dalam pikiranku. Semua masalahku. Dan ia selalu diam mendengarkan, hanya sesekali mengeluarkan gumaman sebagai tanda ia masih mendengarkan.

Satu minggu berlalu. Ujian semester yang kulewatkan telah selesai. Teman-temanku mulai datang menjenguk meskipun rumah sakit tempat aku dirawat pasti jauh dari tempat tinggal mereka. Sekarang aku tidak kesepian lagi. Tapi aku kesepian tanpa laki-laki itu. Ia tidak datang lagi…


***


“Lupakan saja pertanyaanku dulu.”

Eh, ia datang! “Kemana saja kau?”

“Seperti janjiku, aku hanya menemanimu saat kau kesepian. Bukankah sekarang kau sudah tidak kesepian lagi?”

“Ya… begitulah. Kenapa sekarang kau datang padahal aku sudah tidak kesepian lagi seperti yang kau katakan?”

“Karena aku tidak bisa datang lagi besok.”

“Besok? Lusa bisa datang kan?”

“Tidak bisa. Hanya hari ini aku bisa datang mengunjungimu.”

“Kenapa? Apa kau akan keluar rumah sakit? Eh, kau ini pasien atau pengunjung biasa, sih? Aku bahkan tidak tahu siapa kau.”

“Tidak usah memikirkannya. Tidak begitu penting. Yang penting adalah, apa kau mau berjanji padaku untuk segera dioperasi?”

“Kenapa aku harus dioperasi?”

“Karena… kalau kau bisa melihat lagi, kau baru bisa melihatku. Apa kau tidak penasaran padaku?”

“Apa maksudmu?”

“Sudahlah, berjanjilah. Waktuku tidak banyak.”

“Waktumu tidak banyak? Kemana kau akan pergi? Apa kita akan bertemu lagi?”

“Berjanjilah.”

“Ya, baiklah. Apa kau juga akan terus memegang janjimu? Untuk tidak membiarkan aku kesepian?”

“…” Tidak ada jawaban.

Apa maksud perkataannya? Kemana ia akan pergi? Bukankah ia berjanji untuk menemaniku saat aku kesepian?

“Aerin, kau kenapa? Ada yang sakit?”

Eomma datang. Aku pun teringat akan janjiku tadi.

“Eomma, aku mau operasi.”

Selanjutnya, yang kudengar hanya desahan lega dari Eomma. Kurasa pasti ia sangat senang. Mianhe, Eomma. Pasti aku sudah membuatmu begitu tertekan..


***


3 bulan kemudian, perban di mataku dibuka. Begitu menyentuh cahaya, mataku terasa sangat silau dan butuh waktu beberapa menit sampai aku bisa melihat dengan jelas. Akhirnya aku bisa melihat lagi. Aku melihat sekeliling, berharap menemukan sosok laki-laki dengan suara yang familiar. Laki-laki yang sudah menemani dan mendukungku selama ini. Namun sama sekali tak kutemukan. Kucari di seluruh rumah sakit, tak juga kutemukan. Kemana dia?

Akhirnya aku pun kembali kuliah. Karena membutuhkan waktu untuk penyembuhan total, aku melewatkan dua bulan perkuliahan dengan izin khusus. Eomma menyarankan aku cuti setahun saja agar lebih banyak istirahat, tapi aku tidak mau kehilangan teman-temanku di kelas. Sekarang aku harus berjuang keras agar bisa mengejar ketertinggalanku mengingat sebentar lagi ujian tengah semester.

Hari kuliah pertamaku dimulai. Ketika aku masuk kelas, teman-temanku langsung menyambut hangat. Mereka tak hentinya menanyakan pertanyaan seperti, “Kau sudah sembuh?” atau, “Kau sudah bisa melihat?”. Pertanyaan yang mengganggu tapi mau tidak mau harus kutanggapi satu persatu sambil berusaha tersenyum ramah.
Setelah kuliah dimulai selama sekitar setengah jam, pintu kelas terbuka dan seorang mahasiswa lain masuk. Ia duduk di kursi yang masih kosong di sebelahku. Aku belum pernah melihatnya. Siapa dia?

“Ssst, siapa laki-laki itu?”

“Ah, dia itu anak angkatan di atas kita tapi terpaksa cuti setahun karena sakit.”

“Ooh..”

Puas dengan jawaban itu, aku tidak lagi membahasnya. Ternyata hanya mahasiswa sakit-sakitan yang cuti setahun rupanya.

Tiba-tiba dosen yang sedang menjelaskan memberikan pertanyaan.
“Siapa yang menemukan teori relativitas? Pertanyaan mudah, siapapun pasti bisa menjawabnya.” Si dosen menyisir mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya sama sekali tidak memperhatikannya. “Kau! Coba jawab!” Ia menunjuk ke… laki-laki di sebelahku.

“Err… ” Ia terdiam, tidak menjawab. Padahal bisa kulihat seluruh kelas dan dosen sedang memperhatikan dia, menunggu jawaban. Ah, ternyata dia bodoh. Masa penemu teori relativitas saja tidak tahu?

“Hei, apa kau tahu jawabannya?”

Eh? Kutolehkan kepaku, menatapnya. Suaranya familiar…

“Tolong, apa kau tahu jawabannya?”

“Y—ya, Albert Einstein.” Jawabku terbata-bata. Suaranya itu…

“Albert Einstein, Songsaenim.” Akhirnya ia menjawab dengan suara cukup keras, mengutip jawaban yang kuberitahukan.

“Bagus. Penemu teori relativitas adalah Albert Einstein. Bahkan anak SD pun pasti tahu.” Lalu dosen itu kembali melanjutkan penjelasannya. Para mahasiswa pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang tertarik dengan kuliah ini.

Aku tertarik. Bukan tertarik pada kuliah yang membosankan ini, tapi pada laki-laki di sebelahku. Aku kembali meliriknya berkali-kali, penasaran. Siapa dia? Kenapa suaranya terdengar begitu familiar?

Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. “Err… apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkin. Kan kita masih satu kampus.”

“Y—ya, mungkin saja…”

“Tapi kurasa kita pernah bertemu belum lama ini. Aneh ya?”

“Aku juga merasa begitu. Anehnya lagi, hanya suaramu yang terdengar familiar.”

“Oh ya?”

“Hmm..”

“Aneh.”

“Ya, sangat aneh.”

Aku mengalihkan pandangan dengan kikuk ketika menyadari kuliah ini sudah selesai. Aku pun membereskan buku dan berdiri menyusul teman-temanku. Kurasa, lain kali aku harus tanya siapa namanya.


FIN

1 comment: