Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Thursday, June 4, 2009

[4th Project] Runaway (On writing, 2nd Chapter)

=======================================================

Chapter 1: Women and Lust


“Drrt…drrt…”

“Uhm…, bunyi apa itu?”

“Sound of your trembling heart, chagiya~”

“Drrt…drrt…”

Ia melepaskan bibirnya dan bergeser ke samping. “Ponselmu, Chunnie-yah.”

Shit! Siapa sih yang berani menggangguku di saat seperti ini?! “Ah, paling hanya orang iseng. Our play has just started~” ucapku dengan nada menggoda, kembali mengecupkan bibirku menjelajahi wajahnya.

“Uhm…”

“Drrt…drrt…”

“Ayolah, angkat dulu biar tidak ada yang mengganggu lagi.” Ia kembali memalingkan wajahnya.

“Oke…oke. Tunggu sebentar. I’ll be back and continue our play.” sahutku malas sambil mengedipkan mata padanya.

“Ne…”

Kuraih ponselku di atas meja di samping tempat tidur. Mwo? Chagiya 2?

“Ada apa, yobo-yah? Ayo diangkat…”

“E-eh, i-iya.” Aku beranjak dari posisi dudukku, berjalan menjauh agar wanita ini tidak dapat mendengar percakapanku.

“Yobboseyo?”

“Chunnie-yah? Kau dimana? Kenapa terlambat?”

Terlambat? Oh. Kutepuk jidatku sendiri. Tanpa suara aku memberi isyarat pada wanita-ku, menunjuk ke arah kamar mandi. Sebaiknya aku ke kamar mandi saja agar lebih leluasa.

Kulanjutkan percakapanku. “Ah, chagiya, mianhe… Tiba-tiba aku ada urusan mendadak, jadi tidak bisa datang…” balasku dengan nada --sangat pura-pura-- menyesal.

“Begitukah? Hmm… kali ini kumaafkan. Tapi, sebagai gantinya, kau harus datang ke apartemenku malam ini.”

“Untuk menemanimu? Tentu saja… chagiya, aku sedang buru-buru. Sampai ketemu nanti malam ya.” Setelah berkata demikian, aku langsung menutup ponselku. Aku tidak mau berlama-lama di telepon sementara meninggalkan wanita-ku di ranjang.

“Siapa yang menelepon?” Ia bertanya saat aku kembali ke sisinya.

“Tidak penting kok… yang terpenting saat ini adalah kau, chagiya~” jawabku sambil mengecup bibirnya.

“Gombal.” sahutnya sambil menggelitik pinggangku.

“Ahaha… cukup, hentikan… Aku tidak tahan dengan kelitikanmu ini…” kutarik tangannya dari pinggangku, menyusunnya melingkari leherku. “Ayo kita lanjutkan… aku sudah tidak sabar lagi…” Lalu kami pun kembali tenggelam dalam permainan kami.


Namaku Park Yoochun. Tampan. Kaya. Tinggi. Postur tubuh proporsional. Menggoda. Pandai dalam hal bercinta. HOT. Itu hanya beberapa dari sekian banyak pujian yang terlontar dari mulut wanita-wanita yang pernah mengenalku. Ada pula yang berpendapat kalau aku ini gombal. Tapi aku tidak seperti itu. Aku hanya memuji wanita-ku dengan jujur. Aku sangat menghargai lawan jenisku. Dan pujian mereka kubalas dengan memuaskan hasrat mereka. Apa itu salah?

Sebagai putra tertua direktur perusahaan terbesar di Korea –bahkan telah diperhitungkan sebagai perusahaan tingkat atas di kawasan Asia, sejak SMA aku sudah mengenal banyak wanita. Aku tidak peduli kalau mereka hanya mengincar hartaku. Setiap wanita yang mendekatiku pasti kuhargai. Dengan cara yang telah kalian tebak tentunya. Aku playboy? Tentu tidak. Mereka yang mendatangiku. Mereka menggodaku dengan segala macam cara. Lalu akhirnya? Tentu saja aku tidak bisa berkata tidak.

Terlalu banyaknya wanita yang mendekatiku membuat otakku yang lemah dalam menghafal ini tidak dapat mengingat mereka satu per satu. Aku hanya cukup memanggil mereka ‘chagiya’, dan mereka sudah merasa puas. Entah sudah berapa ‘chagiya’-ku. Aku tidak menghitungnya –meskipun kuhitung sekalipun, tetap saja akan kulupakan.

Aku tidak bisa berhubungan dengan beberapa wanita dalam sekali waktu. Setelah mereka terpuaskan, aku akan meninggalkan mereka. Itu sudah menjadi ciri khasku –dan tidak ada seorang pun yang memprotesnya. Mereka sudah mengerti resiko dengan mendekatiku. Dan satu hal yang harus kau ingat, aku tidak pernah berbuat kesalahan sekalipun. Maksudku, aku tidak pernah menghamili wanita manapun. Aku sudah mengaturnya sedemikian rupa agar tidak berhubungan intim tanpa pengaman ataupun di saat wanita-ku sedang masa subur.

Tapi, tidak semua wanita-ku berpikiran sama. Memang sebagian besar menerima saat kutinggalkan. Sebagian lainnya cukup merepotkan. Ada yang tidak mau meninggalkanku. Ada yang tidak cepat puas dengan satu kali berhubungan. Ada pula yang pernah kutinggalkan, namun ia kembali mendekatiku lagi.

Aku juga tidak memilih-milih wanita. Aku akan melayani semuanya, dengan syarat mereka sudah cukup umur –dengan kata lain, umur 21 tahun ke atas. Dan tidak semuanya single. Banyak pula wanita yang sudah bersuami tetapi masih mendekatiku. Dan… 1 hal lagi. Aku tidak akan melayani wanita yang lebih tua daripada eommaku –kalau ia masih hidup, telah berumur 45 tahun.

Hari ini, aku akan mengakhiri hubungan dengan salah seorang wanita-ku. Tepat setelah permainan ini selesai. Ia telah memiliki suami, dan suaminya yang bertugas di luar negeri akan pulang malam ini. Lalu malam ini wanita-ku yang lain menginginkanku. Aku melupakan janjiku untuk bertemu dengannya siang ini, jadi aku terpaksa menuruti keinginannya meskipun aku sudah sangat lelah. Dan kuharap hubunganku dengannya juga akan berakhir.

Setiap hari aku mengisi kegiatanku seperti ini. Kurang kerjaan, kau pikir? Kenapa aku tidak membantu bisnis appaku? 2 kata sebagai jawaban: tidak perlu. Kenapa? Karena sejak awal aku memang tidak diharapkan menjadi penerus. Adikku, Yoohwan-lah yang akan menjadi penerus perusahaan. Ia selalu dibangga-banggakan appa. Dalam hal yang berbeda denganku, tentunya. Ia lebih pintar, lebih sopan, lebih berbudi pekerti, lebih… disayang.

Namun aku tidak peduli. Persetan dengan keluarga menyebalkan itu. Mereka semua munafik. Namun paling tidak aku diberi kebebasan untuk menjalani hidupku. Uang, mobil, kekuasaan, semua yang dimiliki keluargaku boleh kugunakan sebebas mungkin. Appa tidak marah. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak mempedulikanku. Atau, alasan yang lebih masuk akal, ia sama sekali tidak mengenalku. Yang kutebak dari sikapnya padaku, ia membebaskan aku menjalani kehidupan agar aku tidak mengganggu keluarga –yang terlihat— bahagia itu. Appa, eomma tiriku, dan Yoohwan. Posisiku di keluarga itu ibarat tanaman di halaman rumah. Dirawat, disiram, diberi pupuk hingga tumbuh subur. Namun bila kehadiranku mengganggu, aku akan dipangkas, bahkan akan dicabut hingga ke akar-akarnya. Terlebih semua itu dilakukan oleh tukang kebun. Bukan oleh keluarga itu. Mereka sama sekali tidak memandangku. Aku tidak terlihat.


=======================================================

Chapter 2: Red Ocean


“Hmm…” Kubuka mataku perlahan. Mataku melirik jam kecil yang terletak di atas meja di sampingku. Jam 7. Lalu kuraih ponselku, melihat catatan yang kusimpan di dalamnya mengenai jadwalku. Jadwal berikutnya jam 11. Masih cukup lama, namun aku ingin ke gym dulu untuk merenggangkan otot-ototku.

Aku bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai bersiap-siap, aku menghampiri wanita-ku yang masih terlelap dan berbisik pelan, “Gomawoyo, chagiya~”. Kutinggalkan pula pesan singkatku di secarik kertas, lalu kuletakkan di atas meja. Aku melangkah keluar apartemen tanpa menyadari ‘mantanku’ mulai meneteskan air matanya dalam diam.


***


“Drrt…drrt…” ponselku bergetar. Kumatikan treadmill yang kupakai, lalu kulihat nama penelepon di layar ponselku. Telepon dari Rick.

“Wat’s up, man?”

“Hey, Mike. Are you free tonight?” Mike –kependekan dari Micky— adalah nama baratku.

“Tonight? Wait for a minute. I’ll check it first,” Lalu kubuka jadwalku di ponsel. “I’m free.”

“Good. Will you come with us? We’ll go to the pub.”

“Okay. When?”

“9 o’clock. Don’t be late, buddy.”

“Of course. See ya.”

“See ya” Setelah mendengar jawaban ini, kututup ponselku. Senyuman mengembang di wajahku. Malam ini aku akan bersenang-senang.


***


Hingar bingar suara musik yang [bigno]akkan telinga memenuhi ruangan pub ini. Aku berjalan menuju bar sambil sesekali membalas lirikan wanita-wanita yang menyadari kedatanganku. Di bar, mereka telah menunggu: Rick –kependekan dari Ricky— dan David. Aku mengenal mereka saat aku berada di Amerika.

“Wat’s up bro?” sapa Rick saat aku datang, lalu mereka bergantian memberi high five padaku.

Aku duduk di kursi kosong di sebelah Rick. “Red Ocean.” sahutku pada bartender. Red Ocean adalah minuman favoritku, campuran red wine, brandy dan tequila.

“As usual.” balasnya.

Aku menghela nafas setelah meneguk minumanku.

“Hard life, isn’t it?” sahut Rick.

“Yeah..”

“You should stop your activity, Mike.” David membuka suaranya. Serempak aku dan Rick menoleh ke arah David.

“Yeah, he’s right.” Rick menyetujuinya, lalu ia berbalik menatapku.

“But, you know… I can’t. They are so precious. I can’t live without them.” Aku kembali menegak minumanku.

“Uhm.., okay. We go here on purpose, don’t we? Let’s have fun. Forget our problems,” Ia memutar kursinya. “It’s time to enjoy the girls.” Sekarang Rick telah pergi bersama seorang wanita menuju dance floor, meninggalkan David dan aku.

“Wanna dance?” ajak David.

Kugelengkan kepalaku pelan. “I prefer to stay here for awhile.”

Dan kini tinggal aku sendirian di bar itu sementara kedua sahabatku bersenang-senang di lantai dansa.
Aku sedang meminta tambahan minuman saat seorang gadis duduk di sebelahku. Wajahnya tampak asing. Aku tidak pernah melihatnya disini. Sepertinya ia baru pertama kali kesini.

Aku sedang menyesap minumanku saat bartender bertanya, “Pesan apa?” pada gadis itu. Tidak ada jawaban. Bartender mengulang pertanyaannya.

“Ngg… jus?” jawab gadis itu terbata-bata.

Aku berusaha keras menahan tawaku. Aneh sekali. Pesan jus di pub?

“Tidak ada jus disini,” ujar bartender dengan sabar. “Mungkin kau mau pesan yang lain? Tequila, wine, brandy, atau bir, misalnya?”

“Kalau minuman itu?” Ia menunjuk minumanku.

“Red Ocean?” Bartender itu kembali bertanya, memastikan.

“Ya. Itu saja.”

Aku menahan senyumku. Apa gadis ini sudah biasa minum alkohol? Ataukah… ia sudah gila?

Setelah pesanannya datang, pelan-pelan gadis itu meminumnya. Jelas-jelas terlihat kalau ia tidak biasa minum. Aku hanya memperhatikannya sesekali dari sudut mataku, khawatir kalau ia sudah mabuk.

Benar saja, setelah ia selesai menghabiskan minumannya, badannya oleng ke arahku dan ia pasti sudah jatuh dari kursinya bila tidak kutahan.

“Sepertinya kau harus mengantarnya pulang.” kata bartender itu.

Sambil menahan badan gadis itu, aku mengambil dompetku dan memberikan kartu kreditku pada bartender. “Aku juga bayar minumannya.”
Setelah kartu kreditku kembali, aku melingkarkan sebelah tangan gadis itu ke leherku dan memapahnya keluar pub, membawanya ke mobilku. Rick dan David hanya tersenyum saat aku melambaikan tanganku pada mereka, memberi isyarat kalau aku pulang duluan.

Setelah mendudukkan gadis itu di kursi penumpang, aku mencoba menyadarkannya. “Hei, dimana rumahmu?” Hanya terdengar ocehan-ocehan yang tidak jelas –sepertinya ia mengigau. Kuputuskan untuk mencari kartu identitasnya dengan merogoh celananya –ia bahkan tidak membawa tas— namun tetap tidak menemukan apapun selain beberapa lembar uang. Tidak ada petunjuk mengenai siapa dirinya dan ia tinggal dimana. Terpaksa harus kubawa ke hotel, menunggu sampai ia sadar baru mengantarnya pulang.

Sesampainya di kamar hotel, kubaringkan ia ke tempat tidur, lalu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat aku keluar dari kamar mandi, ia kembali mengigau. Kali ini igauannya terdengar lebih jelas.

“Kau jahat… jahat…kenapa…aku mencintaimu…” Suaranya makin tidak jelas. Tanpa sebab ia mulai meneteskan air mata. Lalu ia menggeliat, sepertinya merasa tidak nyaman. “Ugh.., panas sekali…” Sedetik kemudian, ia melepas blusnya tanpa ragu dan kembali mengigau.

Aku menelan ludah melihat tubuh yang mulus dan begitu sempurna itu. Entah akibat efek minuman tadi ataukah aku memang sudah gila, beberapa detik berikutnya aku sudah menyambar tubuh mungil itu.


To Be Continued...