Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Wednesday, February 18, 2009

[Special 4 Changmin's Bday] Baby Min's crying...

“Cut! Oke, Changmin-sshi, kau boleh pulang sekarang.” Sutradara menghentikan syuting malam ini.

“Kamsahamnida…” sahutku sambil menundukkan kepala ke semua staff.

Akhirnya aku bisa pulang. Uh, capek sekali badanku. Kenapa hanya aku sendirian yang diberi jadwal syuting iklan sampai tengah malam begini? Sementara hyung-hyungku bisa pulang lebih awal? Huff~ Setelah selesai membereskan barang-barangku dan berpamitan dengan semua orang, aku bergegas menuju tempat parkir, menghampiri sepeda motor kesayanganku, lalu memakai helm dan pulang ke apartemen.

Sesampainya di apartemen, aku membuka pintunya perlahan. Keadaan di dalam gelap dan terlihat sepi. Sepertinya hyung-hyungku sudah tidur. Namun saat aku berjalan perlahan menuju kamarku, tiba-tiba terdengar suara...

”Saengil chukahamnida... saengil chukahamnida... saranghaneun Changminnie... Saengil chukahamnida...” Suara merdu Jae-hyung menyanyikan lagu itu dengan acapella, diiringi suara Junsu-hyung, Yoochun-hyung, dan Yunho-hyung sambil membawa sebuah kue kecil berbentuk wajahku, lilin-lilin kecil bertaburan di atasnya, dengan nyala api yang menyinari ruangan itu remang-remang.

Aku hanya tersenyum melihat mereka, lalu meniup lilin kue itu. Lampu ruangan pun dinyalakan. Tapi, wajah hyung-hyungku malah terlihat cemberut.

”Ahh... lagi-lagi kita gagal.” Junsu-hyung menggerutu sambil duduk di sofa.

”Minnie tidak seru ah.” lanjut Yoochun-hyung.

Jae-hyung menaruh kue itu di atas meja lalu pergi ke dapur, Yunho-hyung mengikutinya.

”Eeeh? Kenapa hyung begini?” tanyaku bingung. Junsu-hyung dan Yoochun-hyung tidak menjawab. Junsu-hyung malah menyalakan televisi.

“Minnie…minnie…” desah Jae-hyung yang sudah kembali dari dapur. Ia membawa beberapa piring, garpu dan pisau. Aku hanya menatap mereka heran.

“Lagi-lagi kami gagal membuatmu terharu.” sahut Yunho-hyung yang bergabung bersama kami sambil membawa beberapa gelas.

“Bisakah kau menitikkan air mata melihat kejutan yang sudah kami siapkan dengan susah payah?” Yoochun hyung memarahiku.

“Eh? Aku…”

“Kau ini memang…hhh…” Junsu-hyung mendesah sambil menoleh padaku singkat.

“Minnie, harusnya sesekali kau menunjukkan rasa terharumu pada kami. Sejak kita bersama-sama, kau tidak pernah sekalipun menunjukkan rasa terharumu pada kami.” Sekarang Jae-hyung ikut memarahiku.

“Aku…”

“Sudahlah! Kejutan ini sia-sia!” teriak Yoochun-hyung sambil masuk ke kamarnya. Junsu-hyung mengikutinya sambil menatap marah padaku.

“Hyung…”

“Sudahlah. Aku juga sudah capek. Aku mau tidur saja.” Jae-hyung juga masuk ke kamarnya setelah menaruh bawaannya di atas meja.

“Joongie…” Yunho-hyung menyusulnya.

“Apa salahku? Hhh… kenapa sikap kalian begini? Aku… ah, sudahlah. Kalau kalian memang maunya begini, terserah!” aku memaki sambil memperhatikan kue kecil di atas meja. Ah, sepertinya kue ini enak. Lagian, perutku lapar sekali. Jadi aku memakan kue itu sampai habis, lalu membereskan ruang tamu. Rasa kantukku sudah hilang karena pertengkaran tadi. Jadi aku beranjak menuju ruang kerja dimana segala peralatan audio dan notebook-ku berada. Kunyalakan notebook-ku dan mulai surfing internet. Dalam sekejap, inbox emailku dipenuhi oleh berbagai ucapan selamat dari teman-temanku. Aku membalas semuanya satu per-satu sampai mataku terasa berat dan akhirnya aku tertidur di kursi besar yang empuk itu.


***


“Hoahm…” Aku menguap sambil merenggangkan badanku yang terasa sedikit pegal karena posisi tidurku tadi.

“Jae-hyung, apa sarapan sudah siap?” tanyaku sambil berjalan menuju meja makan. Aku duduk disana dengan mata setengah tidur. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Aneh. Aku membuka mataku, yang kulihat meja makan kosong tanpa ada makanan sedikit pun.

“Hyung…” panggilku ke arah dapur. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Aku berdiri, mencari hyung-hyungku. Sekarang sudah jam 8, jadi seharusnya mereka sudah bangun. Apalagi Yunho-hyung yang selalu bangun pagi. Tapi aku tidak menemukan seorang pun. Apartemen itu kosong. Aku pun mengambil ponselku untuk menghubungi mereka. namun yang kulihat adalah sms dari nomor Jae-hyung.

Untuk: Changminnie
Pesan: Minnie, sekarang kami berada di Busan. Mianhe, tadi kami meninggalkanmu. Kami semua bangun terlambat dan jadwal pesawat sudah mepet. Manajer-hyung bilang, kau libur saja hari ini. Pemotretan bagianmu bisa menyusul besok. Nikmati hari liburmu, minnie! \^o^/
Dari: Jaejoong

Kutepuk jidatku sendiri. Aduh, aku benar-benar lupa kalau pagi ini ada pemotretan di Busan. Tapi, aku libur hari ini? Ah.. enaknya. Akhirnya aku mendapat libur juga! Tapi, Jae-hyung tidak membuatkan sarapan untukku. Aku pun ke dapur, mencari makanan di kulkas. Tapi… KULKASNYA KOSONG! Hiks. Aku lapar sekali… Aku melihat ponselku lagi dengan lemas. Masih ada satu pesan lagi dari Jae-hyung.

Untuk: Changminnie
Pesan: Mianhe sekali lagi. Aku tidak sempat membuatkan makanan untukmu. Kau cari makanan di luar saja ya Wink
Dari: Jaejoong

Badanku tambah lemas. Dapat libur sih enak, tapi tanpa makanan begini… Aish, malangnya nasibku…T____T Untuk mengganjal perutku yang lapar, aku memesan delivery jjajangmyeon dari toko langganan kami. Setelah puas menyantap jajangmyeon porsi large, aku menonton televisi. Satu jam… dua jam berlalu. Argh! Aku bosan! Mungkin sebaiknya aku pergi keluar saja, jalan-jalan ke suatu tempat. Hmm… aku pergi kesana saja ya, kebetulan ada barang yang ingin kucari.


***


“Ambil saja kembaliannya.” Kataku dengan suara yang dibuat-buat sambil menyerahkan uang pada supir taksi. Disinilah aku sekarang, di depan toko buku terbesar dan terlengkap di Seoul –begitu yang kudengar dari iklannya di televisi. Dengan langkah cepat aku masuk ke toko buku itu, sambil menjaga agar kacamataku tidak lepas dari tempatnya dan merapikan topiku. Aku terpaksa berpenampilan seperti ini agar jati diriku tidak diketahui. Alasan ini jugalah yang membuatku tidak bisa mengendarain sepeda motor kesayanganku yang sudah dikenali banyak orang sebagai sepeda motor Shim Changmin.

Seperti yang dikatakan di iklan, toko buku ini sangat besar. Puluhan rak buku berjejer rapi di dalamnya. Gedungnya hanya terdiri dari satu lantai, namun dengan luas ruangan seperti ini, pasti sudah cukup menampung buku-buku dengan berbagai judul. Sekarang baru jam sebelas, toko buku ini baru saja buka. Jadi aku tidak perlu khawatir akan keramaian.

Aku memperhatikan kertas bertuliskan jenis buku yang tertempel di pinggir rak buku sampai akhirnya menemukan rak dengan label “pengetahuan umum”. Kutelusuri deretan buku di rak itu sampai aku menemukan apa yang kucari. Ah, akhirnya kutemukan juga buku “1001 Keajaiban Dunia” yang sudah lama kucari.

Aku sedang berjalan menuju kasir saat aku melihat seorang anak laki-laki yang tindak tanduknya sangat mencurigakan. Aku memperhatikannya dari jauh. Anak itu menoleh ke kanan dan kiri, sungguh mencurigakan. Diam-diam ia mengambil sebuah buku berukuran sedang lalu menyelipkannya ke dalam kausnya. Ia berjalan santai melewatiku yang bersembunyi di balik rak. Kutarik bajunya dengan cepat saat melihat penjaga toko datang menghampiri anak itu, sepertinya ia menyadari perbuatan anak itu.

“Hei! Apa yang kau lakukan, ajjusshi?!” teriak anak itu sambil menggeliat agar cengkraman tanganku di kausnya terlepas. Buku yang ia sembunyikan di dalam kausnya terjatuh.

Tangan anak itu menggapai buku yang terjatuh. “Maaf, ada apa ini?” suara penjaga toko menghentikan usahanya. Penjaga toko itu mengambil buku tersebut. “Hei nak, apa kau mau…”

“Ah, maaf pak. Anak ini…” Aku bingung mau menjawab apa. “Anakku.” Hah? Jawaban apa ini? Tanpa kusadari aku menjawab seperti ini…

“Lalu? Buku ini?” penjaga toko itu menanyaiku seakan-akan menginterogasiku.

“Aku…”

“Ah, maaf sekali lagi. Maklum, anak kecil memang nakal. Saya yang akan membayar buku itu.” Aku memotong kata-kata si anak kecil.

“Baiklah. Maaf bila saya tidak sopan kepada Anda.”

“Tidak apa-apa. Sekarang aku akan membayarnya.” Aku mengambil buku itu dari tangan si penjaga toko, lalu berjalan ke kasir sambil menyeret anak kecil itu.


“Ini bukumu.” kataku sambil menyerahkan salah satu buku ke anak itu. Ia mengambilnya, lalu berlari menjauhiku.

“Hei!” Aku berteriak memanggilnya, lalu berusaha mengejarnya, namun dengan cepat ia menghilang di balik tikungan.

Akhirnya aku tidak jadi mengejar. Teriakanku tadi cukup mengundang perhatian orang. Aku tidak mau sampai dikenali, jadi aku segera menyingkir dari daerah itu.

Sekarang baru jam dua belas, jadi aku tidak mau pulang sekarang. Perutku sudah terasa lapar. Di sepanjang jalan yang kulalui, aku melihat restoran-restoran dengan cermat, memilih restoran yang sepi untuk kudatangi. Namun usahaku sia-sia. Pada jam makan seperti saat ini, tentu saja seluruh restoran penuh dengan pengunjung

Dengan perutku yang sudah berteriak-teriak dengan nada tinggi seperti suaraku saat bernyanyi, akhirnya kaki ini membawaku ke sebuah taman yang cukup sepi. Ada penjual hotdog disana, jadi aku membeli satu. Aku berjalan ke salah satu bangku taman saat aku melihat sesosok anak kecil yang familiar sedang duduk di bawah pohon. Aku pun mendekatinya.

“Hei!” panggilku.

Anak itu terlihat terkejut dan menoleh ke arahku. Ia sedang membaca buku yang tadi kubelikan untuknya.

“Mau apa kau ajjusshi?” tanyanya ketus sambil melanjutkan membaca.

Hhh… masa aku yang masih muda begini dipanggil ajjusshi? Argh! Sudahlah, seorang Shim Changmin harus bersikap baik pada anak kecil!

“Hei, siapa namamu?” Aku mencoba bertanya baik-baik.

“Bukan urusanmu!” Lagi-lagi ia menjawabku dengan ketus sambil memutar posisi duduknya menjauhi tatapanku.

Aku mencoba sabar terhadapnya. Baru kali ini aku bertemu dengan anak kecil kurang ajar seperti dia.

“Apa kau lapar? Mau hotdog?” tanyaku sambil mendekatkan hotdog yang baru saja kubeli –tentu saja belum kumakan- padanya.

Ia terlihat cuek, namun aku bisa melihatnya mencuri lihat hotdog di tanganku yang masih sedikit berasap ini.

“Tidak mau? Ya sudah…” sahutku sambil mendekatkan hotdog itu ke mulutku untuk menggigitnya. Tapi sebelum aku sempat menggigitnya, tangan anak kecil itu menghentikanku lalu mengambil hotdog itu dari tanganku. Aku memberikannya, lalu memperhatikannya memakan hotdog itu dengan lahap. Tapi, kusadari perutku kembali berbunyi. “Tunggu sebentar, aku mau beli hotdog lagi. Aku juga lapar.”

Aku dan anak kecil itu makan hotdog bersama-sama sambil duduk di bawah pohon, di atas rumput tipis yang tumbuh disana. Setelah kami menghabiskannya, anak itu menatapku dengan tatapan aneh, sepertinya ia ingin berkata sesuatu tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Siapa namamu?” aku mengulangi pertanyaanku, berharap memperoleh jawaban yang lebih manusiawi.

“Min Jung Hyuk” sahutnya cepat. “Ajjusshi, gomawo.” Ia kembali membaca bukunya setelah mengucapkan itu padaku.

“Aish, jangan memanggilku ajjusshi. Umurku baru 21 tahun. Eh, bukan. 22 tahun hari ini. Berapa umurmu?”

“Dua belas.” jawabnya singkat.

“Dua belas? Hei, baru umur segitu kau sudah berani mencuri? Dimana orangtuamu? Apa mereka tidak mengajarimu tata karma hingga kau seperti ini?”

“Di neraka, seharusnya. Aku tinggal dengan adik perempuanku.” jawabnya tanpa melihat ke arahku.

Aku tertegun. Anak sekecil ini sudah yatim piatu?

“Aku mau pulang,” sahutnya sambil berdiri. “Yeonnie pasti sudah menungguku.”

“Eh?”

“Ajjusshi, bisakah kau memberi aku satu hotdog lagi? Yeonnie pasti lapar…”

“Baiklah.” Aku pun membelikan satu hotdog lagi untuknya.

“Gomawo.” Ia berjalan pergi.

“Jung Hyuk, bisakah aku ikut ke rumahmu?” pintaku padanya. Ia tidak menjawab, tapi membiarkan aku mengikutinya.

Langkahnya berhenti di depan sebuah… “Ini rumahku.” sahutnya sambil masuk ke dalam. Rumah? Tempelan kayu-kayu lapuk yang terlihat sangat tidak rapi ini ia sebut rumah? Aku mengikutinya masuk ke dalam. ‘Rumah’ ini berukuran sangat sempit, hanya satu kali dua meter. Langit-langitnya begitu rendah hingga aku harus menunduk saat berada masuk ke dalam. Di dalamnya hanya ada selembar selimut tipis dan seorang anak perempuan.

“Annyeong haseyo.” sapa anak perempuan itu dengan suara imutnya. Yah, paling tidak adiknya lebih sopan daripada kakaknya.

“Yeonnie, makanlah ini,” kata Jung Hyuk sambil memberikan hotdog pada adiknya. “Ini adikku, Min Cha Yeon.”

“Annyeong haseyo, Cha Yeon.” jawabku sambil memperhatikan Cha Yeon melahap hotdog yang kubelikan. Ia terlihat sangat lapar.

“Yeonnie, coba lihat apa yang kubawa untukmu!” sahut Jung Hyuk sambil menunjukkan buku yang kubelikan. “Saengil chukae, Yeonnie…”

Aku tertegun menyaksikan sikap Jung Hyuk pada adiknya. Rupanya ia nekad mengutil buku untuk diberikan pada adiknya.

“Cha Yeon ulang tahun hari ini? Wah, chukae kalau begitu.” ucapku pada Cha Yeon.

“Appa dan umma membuang kami ke jalanan tiga tahun lalu,” Jung Hyuk memulai ceritanya. “Sejak saat itu, kami berusaha keras untuk tetap hidup.”

Aku kembali tertegun, menatap kedua mata Jung Hyuk yang memancarkan api kebencian serta semangat hidup. Aku tidak menyangka masih ada anak-anak yang dibuang dan hidup terlantar seperti ini, di Seoul. SEOUL. Kukira semua orang disini hidup dengan baik, sebaik kemajuan pembangunan ibukota Korea Selatan ini.

“Hei, ajjusshi! Kenapa kau bengong?” suara Jung Hyuk memecahkan lamunanku. “Duduklah. Ehm, sebaiknya kau melepas topimu itu.”

Aku melepas topiku tanpa sadar, mematuhinya.

“Changmin-oppa…” Cha Yeon memanggilku.

“Ya?” jawabku dengan bodoh, tanpa menyadari kalau…

“Ajjusshi adalah Changmin??” pertanyaan Jung Hyuk menyadarkanku.

Apa? Identitasku sudah ketahuan? Aku kembali mengenakan topiku dengan kikuk. “Ah, tidak. Aku memang mirip dengan artis itu. Siapa? Changmin Dong Bang Shin Ki?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Sudahlah, ajjusshi. Yeonnie tidak mungkin salah mengenali orang. Otaknya sangat encer,” sahut Jung Hyuk sinis padaku. “Tenang saja, aku tidak tertarik dengan artis seperti kau.”

“Err… y-ya, aku memang Changmin. Tapi kalian janji tidak akan memberitahu siapapun kalau aku ada disini?”

“Ye…” jawab Cha Yeon yang sudah selesai menyantap hotdognya.

“Mau apa kau keluar sendirian? Bukankah seorang artis itu sangat sibuk?” Lagi-lagi Jung Hyuk bertanya padaku dengan nada sinis.

“Ehm… itu bukan urusanmu,” balasku padanya. “Cha Yeon, apa kau bisa membaca?” Aku mengalihkan pertanyaanku pada Cha Yeon.

“Tentu saja belum, ajjusshi idiot. Yeonnie baru berumur enam tahun,” Malah Jung Hyuk yang menjawab pertanyaanku. “Aku yang akan mengajarinya membaca melalui buku ini.”

Aku terdiam melihat Jung Hyuk memulai pelajaran membacanya. Seperti yang ia katakan, Cha Yeon memang pandai. Malahan terkadang Cha Yeon membaca huruf hangul dengan benar selagi Jung Hyuk salah membacanya.

“Apa kalian tidak merindukan orangtua kalian?”

Jung Hyuk menatap sinis padaku. Raut wajahnya seketika berubah. “Tidak.”

“Kenapa? Bukankah lebih enak bila bersama orangtua?”

“Tidak. Mereka itu iblis.” Nada bicaranya semakin tajam saat mengucapkan kata-kata itu.

“Tapi…” Tiba-tiba sekelebat ide terleintas di benakku. “Tunggu sebentar, aku ingin menelepon seseorang.”

“Lakukan saja apa yang kau mau.”


***


Matahari sudah berada di ufuk barat, langit di sekitarnya merona merah tanda sebentar lagi matahari akan terbenam. Taksiku berhenti di depan sebuah gereja kecil dengan halaman yang cukup luas, beberapa orang anak terlihat bermain di halaman itu. Setelah meminta supir taksi untuk menunggu sebentar, aku turun lalu menunggu Jung Hyuk dan Cha Yeon juga turun.

“Changmin-sshi… kami sudah menunggu kedatangan Anda.” Seorang perempuan paruh baya dengan lipatan kain membungkus rambutnya datang menghampiriku di gerbang. Di belakangnya, beberapa anak mengikuti dengan malu-malu.

“Annyeong haseyo, suster Lee,” sapaku padanya. “Annyeong haseyo, anak-anak!” sapaku lebih keras pada anak-anak yang bersembunyi di belakang suster Lee.

“Annyeong haseyo!” jawab anak-anak itu bersamaan.

“Apakah dua anak ini yang Anda maksud?” Tanya suster Lee sambil melihat Jung Hyuk yang menggandeng erat tangan Cha Yeon di sampingku.

“Ya, benar. Jung Hyuk, Cha Yeon, kenalkan ini suster Lee, pengurus tempat ini.”

“Annyeong haseyo, Jung Hyuk, Cha Yeon.” sapa suster Lee ramah.

“Annyeong haseyo.” jawab Cha Yeon. Sementara Jung Hyuk tidak menjawab. Ia hanya menunduk, melihat ke arahku.

“Changmin-sshi, masuklah sebentar. Kita bisa makan bersama di dalam. Anda kan sudah lama tidak main kesini.” tanya suster Lee.

“Ah, tidak usah suster. Lain kali saja. Aku harus pulang sekarang. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan,” tolakku halus meskipun air liurku sempat keluar saat membayangkan masakan suster Lee yang sangat enak, seenak masakan Jae-hyung. “Segala sesuatunya telah kujelaskan lewat telepon tadi.”

“Sayang sekali. Tapi Anda memang sibuk, bukan? Ya, saya akan mengingatnya. Kedua anak ini akan aman berada disini.”

“Terima kasih banyak, suster Lee,” ucapku sambil memeluk suster Lee sesaat. “Baiklah, aku pulang dulu. Sampai jumpa, anak-anak!” lanjutku sambil membungkukkan badan. “Jung Hyuk, Cha Yeon, jaga diri kalian. Jung Hyuk, jaga adikmu ya. Jangan nakal dan jangan membantah suster Lee. Oh iya…” Aku teringat pada buku kubeli. “Ini untukmu, Cha Yeon. Semoga kau jadi anak pintar.” Aku memberikan buku “1001 Keajaiban Dunia” yang baru saja kudapatkan pada Cha Yeon, menjadi buku kedua yang dimilikinya setelah buku yang hampir dicuri oleh Jung Hyuk.

“Tidak usah. Satu buku sudah cukup untuk Yeonnie. Bukankah kau susah payah mencari buku ini?” tolak Jung Hyuk.

“Tidak apa-apa. Nanti aku bisa membelinya lagi.”

Aku berjalan perlahan menuju taksi yang sedari tadi menungguku. Setelah masuk ke taksi, aku membuka jendelanya lalu melambaikan tanganku, membalas lambaian tangan anak-anak panti asuhan dan suster Lee yang menggandeng tangan Jung Hyuk dan Cha Yeon.

“Ajjusshi, datang kesini lagi ya!!” teriak Jung Hyuk.

“Jangan panggil aku Ajjushhi!” balasku. Taksi ini sudah melaju meninggalkan panti asuhan yang pernah kukunjungi bersama hyung-hyungku dua tahun lalu.

“Apa Anda Shim Changmin?” pertanyaan itu menyadarkan lamunanku di perjalanan pulang.

“Ya?” jawabku dengan bodoh.

“Benarkah? Shim Changmin Dong Bang Shin Ki?” supir taksi itu memperhatikanku melalui cermin di depannya.

“Ah, bukan. Aku bukan Changmin.” jawabku kikuk sambil menurunkan topiku sampai menutupi sebagian wajahku. Hal ini terjadi lagi. Bodohnya aku.


***


“Hyung…” Aku baru saja sampai di apartemen. Ternyata apartemen itu masih sepi. Sepertinya hyung-hyungku belum pulang. Ah, seharusnya mereka memang tidak pulang hari ini. Aku duduk di atas sofa empuk di ruang tengah, melamun sendirian.

Aku merasa kesepian. Sama seperti Jung Hyuk dan Cha Yeon yang dibuang orangtuanya. Kesepian, tanpa seseorang pun yang bisa diajak bicara. Tapi, sekarang Jung Hyuk dan Cha Yeon sudah tidak kesepian lagi. Mereka sudah menemukan keluarga baru di panti asuhan.

Perlahan-lahan wajahku memanas dan air mataku mulai menetes. Kedua anak itu… anak sekecil mereka telah ditelantarkan selama tiga tahun sebelum aku bertemu dengan mereka. Tapi mereka tidak sedih. Jung Hyuk…dengan umurnya yang masih kecil, semangat hidupnya sangat besar. Tapi aku? Memang selama ini aku berpisah dari orang tuaku, lebih tepatnya jarang menemui mereka karena jadwalku yang padat. Tapi aku selalu ditemani hyung-hyungku. Bersama mereka sangat menyenangkan, meskipun aku sering dijahili sebagai magnae di grup ini. Dengan segala kehidupan yang kujalani, aku tidak pernah menunjukkan rasa terima kasihku pada mereka yang sudah menemaniku selama ini. Sungguh, aku menyesal akan tindakanku semalam. Seharusnya aku menunjukkan sesuatu yang lebih, yang akan memuaskan mereka. Sesuatu yang lebih berarti daripada sebuah senyuman. Sesuatu itu…

“Ah… capek sekali.” suara itu menyadarkanku. Suara Yoochun-hyung.

“Jae-hyung, cepatlah masak makanan. Aku sudah lapar…” Kali ini suara Junsu-hyung.

Aku menoleh ke arah pintu masuk. “Hyung…” Aku berdiri secepat mungkin, lalu merangkul Yoochun-hyung dan Junsu-hyung bergantian. Kulanjutkan merangkul Yunho-hyung dan Jae-hyung yang baru saja masuk pinti apartemen.

“Stop! Jangan peluk aku juga. Bantu aku membawa belanjaan ini.” tolak Jae-hyung saat aku akan merangkulnya. “Hei, Changminnie, kau menangis?”

Aku berhenti lalu mengusap mataku.

“Mwo? Minnie menangis?” Kepala Junsu-hyung muncul dari belakangku diikuti Yoochun-hyung dan Yunho-hyung, lalu mereka memperhatikan wajahku dengan seksama. Mereka tertawa. “Kenapa kau menangis, minnie?” tanya Jae-hyung.

Aku menyeruak dari kepungan keempat hyungku, melarikan diri dari tatapan mereka lalu duduk di sofa sambil menekuk kaki. Kenapa mereka menertawakanku sih? Jahat…

“Minnie, ada apa dengan kau? Apa kau memikirkan pertengkaran semalam? Mianhe, itu salah kami yang terlalu berharap padamu.” suara Yunho-hyung terdengar dari sebelahku. Ia juga duduk di sebelahku.

“Yunnie, bantu aku…” panggil Jae-hyung dari arah dapur.

“Ye…” jawab Yunho-hyung lalu ia pergi menyusul Jae-hyung di dapur.

“Minnie!” suara keras Junsu-hyung terdengar dari belakang, sepertinya ia ingin mengejutkanku.

“Junsu-yah, jangan goda Minnie lagi.” Halau Yoochun-hyung sambil duduk di sebelahku dan menyalakan televisi.

“Oke…” jawab Junsu-hyung. Lalu ia duduk di sofa, di sebelahku. Mereka berdua asyik menonton televisi tanpa bertanya apapun padaku.

“Gomawo hyung…”

“Ue kyang-kyang! Eh, apa kata-katamu barusan, Minnie?”

“Gomawo hyung!!!” kali ini suaraku lebih keras.

Junsu-hyung menatapku melongo, begitu pula dengan Yoochun-hyung.

“Saengil chukahamnida... saengil chukahamnida... saranghaneun Changminnie... Saengil chukahamnida...” Lagi-lagi terdengar suara merdu Jae-hyung dari arah belakang. Yunho-hyung, Junsu-hyung dan Yoochun-hyung ikut bernyanyi mengiringinya. Nyanyian yang sama seperti malam sebelumnya.

Aku menatap mereka. Wajah-wajah jahil yang biasa mereka tunjukkan setiap kali menggodaku berubah menjadi wajah yang penuh kasih sayang. Aku menutup mulutku, tidak mampu lagi menahan air mataku. Aku menangis terisak sambil menatap kue yang dibawa Jae-hyung. Kue berukuran besar yang berhiaskan wajahku dan bertuliskan “Max TVXQ!”

“Minnie, jangan menangis dulu. Tiup dulu lilinnya.” sahut Yunho-hyung.

“Eh, lilinnya hanya dua puluh! Kurang 2 hyung…” celetuk Junsu-hyung.

“Ah, sudahlah. Tadi lilinnya hanya ada dua bungkus, pas dua puluh buah.” ucap Jae-hyung sedikit tidak sabaran. Sepertinya tangannya sudah kebas memegang kue sebesar itu.

Aku mencoba mengendalikan diriku, lalu meniup lilinnya. Jae-hyung segera menaruh kue itu di atas meja. Yunho-hyung rupanya sudah menyiapkan pisau untuk memotong kue.

“Mianhe, kue tadi malam sepertinya terlalu kecil untukmu. Makan saja kue ini semuanya seperti biasa…” ucapan Jae-hyung terhenti saat aku membagi kue bulat itu menjadi lima bagian. Aku ke dapur, mengambil lima buah piring dan garpu. Kutaruh masing-masing bagian ke dalam piring yang berbeda, lalu kubagikan pada hyung-hyungku. Mereka terlihat heran akan sikapku ini.

“Biasanya potongan pertama kue ulang tahun akan diberikan pada orang yang paling disayangi, tapi saat ini aku tidak bisa memilih salah satu dari kalian karena aku menyayangi kalian semua.” sahutku santai sambil mencicipi kue itu.

“Changmin…ternyata kau sangat...” Junsu-hyung berkata sambil menatapku penuh makna. “…mudah dikerjai!” lanjutnya sambil mengoleskan krim kue di pipiku.

“Hyung…!” Aku berteriak marah padanya. Tapi Yoochun-hyung malah mengoleskan krim kue dari arah belakangku. Begitu pula dengan Jae-hyung dan Yunho-hyung. Akhirnya kami berlima berlarian di apartemen, saling membalas mengoleskan krim kue.

Kami berbaring lemas di lantai, kelelahan akan permainan ini. Aku berhasil menyerang Junsu-hyung dan Yunho-hyung, namun tidak berhasil mengenai dua lainnya karena mereka menyerangku bersamaan.

“Jae-hyung… masak dong. Aku sudah lapar…” sahutku di tengah-tengah nafasku yang memburu.

“Ye… tapi kalian harus mandi dulu, arasseo?” perintah Jae-hyung yang dijawab dengan “Ye…” oleh yang lainnya.

Junsu-hyung yang menjadi korbanku yang paling parah mandi duluan. Yoochun-hyung bangun dan mengambil minuman, sementara Yunho-hyung membantu Jae-hyung di dapur. Aku masih berbaring terlentang di lantai, tersenyum bahagia.

Menjadi anggota Dong Bang Shin Ki adalah kebahagiaan terbesar di dalam hidupku dan tidak akan pernah kusesali selamanya…

“Hyung!!!” aku kembali berteriak kesal saat Yoochun-hyung kembali mengoleskan krim kue di wajahku. Sepertinya permainan ini tidak akan ada habis-habisnya. Huff~


Fin

Thursday, February 5, 2009

[2nd Project - Special Part] Close To You - Where Is the Happiness ?

Aku menarik tangan gadis yang sangat kucintai selama ini ke lantai lima, agar kami bisa lebih leluasa berbicara.

”Duduklah, Youn~ah.”

”Yun Ho-sshi...maafkan aku tiba-tiba datang seperti ini,” ia berkata sambil menatapku. ”Aku ingin membicarakan tentang hubungan kita.”

Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah ia akan kembali padaku? Akankah ia tidak menghindariku lagi? Akankah kami dapat kembali bersama seperti dulu? Akankah...

”Yun Ho-sshi... Aku tahu kalau kita dulu pernah menjalin hubungan, tapi perasaanku kini telah berubah terhadapmu.”

Apa? Bagaimana perasaan itu dapat berubah? Perasaan yang telah berakar dalam di dalam hatiku..., perasaan yang telah menyatukan kami..., perasaan yang sangat melimpah ruah sampai-sampai aku tidak mampu lagi membendungnya..., perasaan cinta ini...

”Aku telah mencintai pria lain.” ia berkata dengan nada turun, seakan-akan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Gerak-geriknya terlihat gelisah saat mengucapkannya, seakan-akan ia berbicara pada bom waktu yang setiap saat siap meledak, menghancurkan segala sesuatu.

Aku terdiam beberapa saat. Kedua mata kami bertemu, aku menatapnya lekat-lekat hanya untuk memastikan kejujuran di dalam kata-katanya. Namun batinku tidak sanggup menahan amarah ini. Aku tidak sanggup melihat mata itu... mata yang memancarkan kejujuran dan rasa cinta yang mendalam, yang dapat kupastikan bukan ditujukan padaku.

”Siapa pria itu?” suara pun keluar dari mulutku. Aku berusaha tetap tenang, mencoba menunjukkan bahwa perasaanku telah pudar terhadapnya. Namun, semua itu sia-sia. Suaraku yang cukup bergetar, meskipun sangat tidak kentara, telah menggambarkan perasaanku yang sebenarnya.

”Aku bertemu dengannya setahun yang lalu ketika aku sedang bersantai di cafe langgananku,” Youn Ha berhenti sebentar. ”Kau ingat hadiah yang pernah kuberikan pada Jaejoong-sshi? Itu adalah titipan adik pria itu.”

”Lalu kau menyukainya begitu saja? Bagus. Jadi kau telah melupakan aku, melupakan saat ketika kita masih bersama.” tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari mulutku dengan nada berat, cukup untuk membuatnya sadar bahwa aku sangat kecewa padanya.

”Tapi..., Kita sudah berpisah sejak lama. Aku kesepian, Yun~ah,” Ia berhenti sebentar, ekspresinya menunjukkan penyesalan, seakan-akan ucapannya tadi dapat menarik pemicu bom waktu di hadapannya ini. ” Dan kekosongan yang telah kau buat di hatiku selama bertahun-tahun telah terisi oleh kebaikan pria itu,” lanjutnya lagi, dengan nada ragu-ragu. Matanya terlihat memerah, kepalanya menunduk. Aku sangat ingin menyentuh wajahnya, mengusap air matanya, seperti yang biasa kulakukan untuk menghiburnya... Tidak. Tangan ini tidak berhak melakukan itu. Empunyalah yang telah membuat situasi menjadi seperti ini.

”Aku akui, selama setengah tahun ini perasaaanku sempat goyah dengan kehadiranmu..., pertemuan kita setiap hari..., namun aku baru saja menyadari kalau ternyata perasaanku terhadapmu saat ini hanya sebatas rasa sayang antar teman, bukan sebagai pacar, seperti dulu.”

”Baik. TERSERAH kau saja!” Akhirnya aku mengatakan kata-kata jahat itu. Sungguh, aku tidak ingin membentaknya. Namun emosiku tidak dapat terbendung lagi.

Setelah mendengar kata-kata itu, ia pun beranjak keluar, berlari meninggalkan aku, meninggalkan seorang pria bodoh yang baru saja kehilangan cintanya hanya karena ia tidak mampu mengontrol perasaannya sendiri.

Aku pun turun, kembali ke lobby untuk menghampiri teman-temanku yang sedari tadi telah menungguku. Aku berjalan dalam diam, berusaha keras berpikir jernih, berusaha keras melupakan pembicaraan yang telah mengacaukan pikiranku, semata-mata untuk menunjukkan profesionalitas yang harus kumiliki sebagai seorang leader Dong Bang Shin Ki.


***


“... jadi setelah ini, kita kembali ke apartemen untuk bersiap-siap menghadiri pesta nanti malam. Benar kan, Yunnie? Ya! Yunnie, kau dengar aku?”

Teriakan Jaejoong menyadarkan aku. Menarik pikiranku yang hampir tenggelam di dalam dunia Youn Ha kembali ke dunia nyata. “Ah, apa?”

“Yunnie, apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sakit?” ucap Jaejoong sambil meraba keningku. Nada bicaranya terdengar khawatir, namun di wajahnya terlihat senyum nakal, jelas-jelas ia sedang menggodaku.

”Tidak... Aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”

”Memikirkan apa? Sedang memikirkan aku ya~?”

”Pabo!” Aku menjitak kepala Jaejoong pelan. ”Masih banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada memikirkan kau!” Aku berpura-pura marah.

”Yunnie...ternyata kau memang memikirkan aku...” sahut Joongie dengan tampang aegyo.

”Hyung... jadi bagaimana rencananya?” pertanyaan itu menghentikan permainan-saling-menggoda antara aku dan Jaejoong.

”Ehm..., setelah sesi pemotretan ini usai, kita akan kembali ke apartemen untuk bersiap-siap menghadiri pesta nanti malam. Benar kan, Yunnie?” Jaeoong mengulang kembali perkataannya.

”Pesta? Pesta apa?”

”Pesta ulang tahunmu! Masa kau lupa dengan ulang tahun sendiri?”

”Ah, iya..., ulang tahunku...bagaimana aku bisa lupa? Malam ini pesta ulang tahunku, bukan?” Sebenarnya, aku benar-benar lupa. Kejadian di kantor tadi telah membuat pikiranku kacau, sampai-sampai aku tidak ingat dengan ulang tahunku sendiri.

”Mana Junsu dan Chunnie, Minnie? Rencana ini juga harus diberitahukan pada mereka berdua.”

“Mereka…” Changmin melihat ke sekeliling. “Ah, itu dia!”

Jaejoong dan Changmin pun menghampiri Junsu dan Yoochun, meninggalkan aku. Bagus, aku memang membutuhkan lebih banyak waktu untuk berpikir.


***


“Chingudeul, ayo kita berangkat! Kita tidak boleh terlambat kan… Nanti makanannya keburu habis…”

“Aaah, Junsu..Junsu. Apa di pikiranmu itu hanya ada makanan saja?”

”Jangan begitu, Yoochun-hyung. Aku juga mau makanannya. Hmm...pasti ada banyak sekali makanan di sana.”

”Oke, ayo kita berangkat! Yunnie, kau belum siap ya? Ayo cepat sedikit... dongsaeng kita sudah tidak sabar.” Jaejoong berteriak memanggilku dari luar kamar.

”Ah, kalian pergi duluan saja! Aku belum selesai bersiap-siap. Nanti aku menyusul.” balasku dari dalam kamar. Aku pura-pura belum siap, padahal kenyataannya aku sudah siap dengan tuksedo putihku dan rambut yang sudah tertata rapi.

”Oh.. baiklah. Jangan sampai terlambat, Yunnie! Kau kan bintang utama pesta ini!”

”Arassho...” jawabku dari dalam kamar.

”Yosh, ayo kita berangkat!” terdengar suara teriakan ceria Jaejoong, lalu pintu apartemen pun tertutup. Tinggallah aku sendirian, termenung di dalam kamar. Entah mengapa, aku tidak berselera untuk menghadiri pesta, sekalipun pesta itu adalah pesta ulang tahunku.

Setelah sekitar sepuluh menit termenung di kamar, aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Aku menuruni apartemen menuju area parkir dan menaiki Audi hitamku. Aku pun menyetir keluar area apartemen tanpa arah tujuan. Aku hanya mengikuti jalan, dibimbing oleh insting semata. Tahu-tahu instingku sudah membawaku ke sebuah restoran di pinggir kota Seoul. Restoran itu terlihat sepi. Di dalamnya hanya ada 2 orang pengunjung, seorang ahjumma dan seorang ahjussi yang keduanya duduk di bagian bar. Menyadari perutku yang lapar, aku memutuskan untuk turun. Aku pun melepas luaran tuksedoku, mengambil beannie dan kacamata berbingkai tebal dari laci dashboard, lalu melangkah keluar dari mobil.

Restoran itu memang terlihat kecil dari luar, namun ternyata di dalamnya cukup hangat dan terasa lapang. Ada empat meja empat orang yang diletakkan berjejer di tengah-tengah ruangan dan empat meja dua orang yang diletakkan di pinggir-pinggir jendela, serta sekitar lima kursi –dua di antaranya ditempati oleh dua orang pengunjung-yang diletakkan di bagian bar. Aku memilih meja dua orang di sudut ruangan itu, lalu duduk kursi yang menghadap ke arah ruangan. Di sebelah kiriku, jendelanya menampakkan pemandangan sebuah kolam kecil. Kolam itu berbentuk oval dengan panjang kira-kira satu setengah meter dan lebar kira-kira satu meter. Di salah satu ujungnya terdapat batu-batuan yang mengalirkan air, membuat air kolam yang memantulkan cahaya bulan terlihat berderak-derak indah. Di dalam kolam terdalam dua ekor ikan koi dengan sisik berwarna-warni, membuat air kolam berderak lembut seiring dengan gerakan ikan itu. Aku tersenyum saat melihatnya. Pikiranku terasa kembali jernih, sejernih cahaya yang dipantulkan air kolam itu.

”Permisi..., Anda mau pesan apa?” suara gadis itu mengagetkanku. Aku membetulkan letak kacamataku, berusaha agar tidak dikenali –dua orang pengunjung lainnya jelas-jelas tidak mengenaliku-.

”Ehm..., aku pesan 1 capuccino dan seporsi sandwich.” jawabku dengan suara berat –berusaha menyamarkan suara juga- sambil melihat-lihat daftar makanan di kertas menu yang disodorkan gadis itu, tanpa melihat wajahnya.

”1 capuccino, 1 sandwich,” ulang gadis itu, memastikan pesanan. ”Ada yang lain?”

”Tidak, itu saja.” sahutku, lagi-lagi dengan suara berat.

”Baiklah. Pesanan Anda akan segera datang.” gadis itu terlihat tersenyum manis saat aku melihatnya lewat sudut mataku. Kira-kira ia sebaya denganku. Rambutnya yang lurus panjang diikat longgar di tengkuknya, dibiarkan menjuntai dan bergoyang saat ia berjalan. Poninya yang tidak terlalu pendek seringkali menghalangi pandangannya sehingga ia sering merapikan poninya ke belakang telinga. Wajahnya cukup cantik, senyumannya juga sangat manis. Aku terkesiap. Pikiranku yang sudah jernih kembali diusik setelah aku melihat gadis pelayan itu. Aku kembali teringat pada Youn Ha...

”Pesanan Anda datang!!” suara ceria itu menyadarkan lamunanku.

”Ah, iya. Terima kasih.” jawabku sambil mengambil cangkir capuccino hangat lalu meneguknya.

”Hei, sepertinya wajahmu cukup familiar...” gadis itu menatap lekat wajahku sementara aku mengalihkan pandangan. ”Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

”Mungkin kau salah orang. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya.” sahutku kikuk sambil meraih sepotong sandwich lalu mengigitnya.

”Mungkin.” Ia manggut-manggut, terlihat berpikir. ”Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu kesini? Sepertinya kau orang kota...aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini.” Ia menarik kursi di hadapanku, lalu duduk.

”Ehm..iya..” aku menjawab ragu-ragu.

”Apa kau punya masalah?” nadanya terdengar menyelidik. Matanya terlihat ingin tahu.

”Err... begitulah.” jawabku sekenanya.

“Ooh.. Hei, kita belum berkenalan! Namaku Shin Dae, Cho Shin Dae. Siapa namamu?”

“Namaku…Yun Jil. Jung Yun Jil.” Aku menyamarkan namaku.

“Yun Jil… Nama yang unik. Senang bertemu denganmu, Yun Jil!” ia menyodorkan tangan kanannya padaku.

”Ya...senang bertemu denganmu.” jawabku ragu-ragu, membalas dengan berjabat tangan dengannya.

”Yun~ah... bolehkah aku memanggilmu begitu? Appaku pemilik restoran ini, meskipun pengunjungnya sedikit, tapi appa sangat senang mengurusnya. Eomma sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, jadi tinggal aku berdua dengan appa. Aku sangat senang membantu appa menjadi pelayan disini. Kau tahu? Memperhatikan pengunjung yang berbeda-beda itu sangat asyik.”

Yun~ah... Aku merindukan panggilan itu. Ya Tuhan, kenapa aku belum bisa melupakannya? Aku menepuk-nepuk kepalaku sendiri.

”Hei...apa kau mendengarkan aku?”

”Ah, iya. Lanjutkan. Ceritamu sangat menarik.” Aku pura-pura tertarik. Pikiranku kembali melayang entah kemana namun aku masih mendengarkan ceritanya tentang teman-temannya, tentang pengunjung-pengunjung restoran, dan lainnya. Lama-kelamaan, ceritanya menjadi benar-benar menarik bagiku. Canda tawanya mengembalikan pikiranku ke asalnya. Aku pun merasa akrab dengannya. Setelah ia puas bercerita, ia terdiam, mengambil segelas air putih dari bar lalu kembali duduk menatapku seperti menanti sesuatu.

”Apakah kau ingin menceritakan sesuatu? Terkadang, masalah akan menjadi lebih ringan setelah kau menceritakannya pada orang lain.”

”Baiklah. Aku ingin menceritakan sesuatu.” Shin Dae memajukan posisinya, terlihat antusias. ”Ada seorang pria. Ia berpacaran dengan seorang gadis. Ia sangat mencintai gadis itu. Namun demi mengejar mimpinya, ia harus meninggalkan gadis itu tiba-tiba tanpa perpisahan. Bertahun-tahun setelahnya, ketika ia sudah menjadi artis, ia kembali mencari tahu keberadaan pacarnya itu. Ia masih mencintai gadis itu. Lalu ia kembali menghubungi gadis itu, berusaha agar hubungan mereka kembali seperti dulu. Tapi, akhirnya gadis itu mendatanginya, memutuskan hubungan mereka karena ia telah mencintai pria lain. Sang pria tidak pandai mengungkapkan perasaannya sehingga gadis itu semakin terluka, lalu mereka benar-benar berpisah. Namun sang pria tidak dapat dengan mudah melupakan gadis itu, sampai sekarang.”

”Oo...” respon Shin Dae.

”Apa kau mengerti dengan ceritaku?” aku bertanya dengan ragu-ragu.

”Ya, aku mengerti. Jadi pria itu masih tidak bisa melupakan sang gadis?”

”Begitulah..”

”Pabo! Bodoh! Buat apa memikirkan gadis yang telah mencampakkannya? Pria itu kan artis, ia pasti dapat dengan mudah mencari gadis lain.”

Aku terdiam, memikirkan ucapannya. Ya, aku memang bodoh. Buat apa aku terus memikirkan Youn Ha yang sudah bahagia bersama dengan pria lain? Aku harus mencari gadis lain dan melupakannya... Hei, apakah gadis ini orangnya? Ia cukup menarik...

”Jadi, seharusnya pria itu juga mencari kebahagiaannya sendiri!” ujar Shin Dae, mengakhiri opininya.

”Dan kebahagiaan itu... ada di depan matanya.” aku bergumam tanpa sadar.

”Apa katamu? Aku tidak dengar...”

”Jam berapa sekarang?” aku meraih ponselku di kantong celanaku. Ternyata sudah jam setengah sembilan dan ada puluhan missed call dari Jaejoong, Yoochun, Junsu dan Changmin! Aku sudah terlambat setengah jam dari pesta ulang tahunku sendiri. ”Ya ampun... sudah jam segini? Shin Dae, aku pergi dulu ya!” Aku mengambil dompetku, mengeluarkan selembar uang lalu meninggalkannya di meja. Lalu aku berlari keluar, menuju mobilku.

”Hei! Kenapa kau terburu-buru?” teriak Shin Dae sambil berlari menyusulku.

“Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan! Oh ya…” aku mengambil kertas dan pena dari laci dashboard, lalu menuliskan nama dan nomor ponselku disana. “Ini untukmu! Teleponlah kalau sempat!” Aku menekan pedal gas mobil, melambaikan tangan ke luar jendela lalu segera kembali ke Seoul, ke lokasi pesta ulang tahunku.

“Sampai bertemu lagi!” Shin Dae melambaikan tangannya ke arah mobilku yang melaju kencang meninggalkannya. Ia melihat kertas yang kuberikan padanya. “Ini… Apa? Ia Jung Yun Ho? Pabo kau, Shin Dae! Masa tidak mengenali artis terkenal seperti dia!” Shin Dae menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Ah, kalau tidak salah… ia berulang tahun tanggal 6 Februari…Hari ini!” ia mengambil ponselnya, mengetik pesan, lalu mengirimkannya ke nomor di kertas itu.


***


Aku pun sampai di tempat pesta. Disana, keempat teman-temanku sudah menunggu.

“Yunnie, kau kemana saja? Ayo cepat! Para tamu sudah tidak sabar menunggumu!”

“Ayo cepat, hyung!”

Aku ditarik ke tempat pesta sembari sibuk mengenakan kembali tuksedoku dan merapikan rambutku. Lalu aku merasa ponselku bergetar. Ada SMS dari nomor tidak dikenal, isinya:

“Jung Yun Ho? Omo~ apa kau benar-benar Jung Yun Ho dari Dong Bang Shin Ki? Maaf kalau aku tadi berlaku tidak sopan padamu. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Mmm, semoga kita bisa berteman! Ngomong-ngomong, bukankah hari ini hari ulang tahunmu? Kalau begitu, Saengil Chukae! Have a nice birthday!
NB: Apakah cerita pria dan gadis tadi itu ada hubungannya denganmu? Jawab aku!
Dari: Cho Shin Dae”

Aku mengetik “Akan aku jelaskan padamu secepatnya, arasseo? Sampai ketemu^^” lalu mengirimkannya pada Shin Dae. Senyuman tertoreh di wajahku saat membayangkan ekspresi Shin Dae saat membaca balasanku. Aku memasukkan kembali ponselku ke tempatnya, melihat semua tamu bersorak riuh saat aku masuk ruangan pesta. Kebahagiaanku memang sudah di depan mata…


-Fin- (Again XD)