Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Thursday, February 5, 2009

[2nd Project - Special Part] Close To You - Where Is the Happiness ?

Aku menarik tangan gadis yang sangat kucintai selama ini ke lantai lima, agar kami bisa lebih leluasa berbicara.

”Duduklah, Youn~ah.”

”Yun Ho-sshi...maafkan aku tiba-tiba datang seperti ini,” ia berkata sambil menatapku. ”Aku ingin membicarakan tentang hubungan kita.”

Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah ia akan kembali padaku? Akankah ia tidak menghindariku lagi? Akankah kami dapat kembali bersama seperti dulu? Akankah...

”Yun Ho-sshi... Aku tahu kalau kita dulu pernah menjalin hubungan, tapi perasaanku kini telah berubah terhadapmu.”

Apa? Bagaimana perasaan itu dapat berubah? Perasaan yang telah berakar dalam di dalam hatiku..., perasaan yang telah menyatukan kami..., perasaan yang sangat melimpah ruah sampai-sampai aku tidak mampu lagi membendungnya..., perasaan cinta ini...

”Aku telah mencintai pria lain.” ia berkata dengan nada turun, seakan-akan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Gerak-geriknya terlihat gelisah saat mengucapkannya, seakan-akan ia berbicara pada bom waktu yang setiap saat siap meledak, menghancurkan segala sesuatu.

Aku terdiam beberapa saat. Kedua mata kami bertemu, aku menatapnya lekat-lekat hanya untuk memastikan kejujuran di dalam kata-katanya. Namun batinku tidak sanggup menahan amarah ini. Aku tidak sanggup melihat mata itu... mata yang memancarkan kejujuran dan rasa cinta yang mendalam, yang dapat kupastikan bukan ditujukan padaku.

”Siapa pria itu?” suara pun keluar dari mulutku. Aku berusaha tetap tenang, mencoba menunjukkan bahwa perasaanku telah pudar terhadapnya. Namun, semua itu sia-sia. Suaraku yang cukup bergetar, meskipun sangat tidak kentara, telah menggambarkan perasaanku yang sebenarnya.

”Aku bertemu dengannya setahun yang lalu ketika aku sedang bersantai di cafe langgananku,” Youn Ha berhenti sebentar. ”Kau ingat hadiah yang pernah kuberikan pada Jaejoong-sshi? Itu adalah titipan adik pria itu.”

”Lalu kau menyukainya begitu saja? Bagus. Jadi kau telah melupakan aku, melupakan saat ketika kita masih bersama.” tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari mulutku dengan nada berat, cukup untuk membuatnya sadar bahwa aku sangat kecewa padanya.

”Tapi..., Kita sudah berpisah sejak lama. Aku kesepian, Yun~ah,” Ia berhenti sebentar, ekspresinya menunjukkan penyesalan, seakan-akan ucapannya tadi dapat menarik pemicu bom waktu di hadapannya ini. ” Dan kekosongan yang telah kau buat di hatiku selama bertahun-tahun telah terisi oleh kebaikan pria itu,” lanjutnya lagi, dengan nada ragu-ragu. Matanya terlihat memerah, kepalanya menunduk. Aku sangat ingin menyentuh wajahnya, mengusap air matanya, seperti yang biasa kulakukan untuk menghiburnya... Tidak. Tangan ini tidak berhak melakukan itu. Empunyalah yang telah membuat situasi menjadi seperti ini.

”Aku akui, selama setengah tahun ini perasaaanku sempat goyah dengan kehadiranmu..., pertemuan kita setiap hari..., namun aku baru saja menyadari kalau ternyata perasaanku terhadapmu saat ini hanya sebatas rasa sayang antar teman, bukan sebagai pacar, seperti dulu.”

”Baik. TERSERAH kau saja!” Akhirnya aku mengatakan kata-kata jahat itu. Sungguh, aku tidak ingin membentaknya. Namun emosiku tidak dapat terbendung lagi.

Setelah mendengar kata-kata itu, ia pun beranjak keluar, berlari meninggalkan aku, meninggalkan seorang pria bodoh yang baru saja kehilangan cintanya hanya karena ia tidak mampu mengontrol perasaannya sendiri.

Aku pun turun, kembali ke lobby untuk menghampiri teman-temanku yang sedari tadi telah menungguku. Aku berjalan dalam diam, berusaha keras berpikir jernih, berusaha keras melupakan pembicaraan yang telah mengacaukan pikiranku, semata-mata untuk menunjukkan profesionalitas yang harus kumiliki sebagai seorang leader Dong Bang Shin Ki.


***


“... jadi setelah ini, kita kembali ke apartemen untuk bersiap-siap menghadiri pesta nanti malam. Benar kan, Yunnie? Ya! Yunnie, kau dengar aku?”

Teriakan Jaejoong menyadarkan aku. Menarik pikiranku yang hampir tenggelam di dalam dunia Youn Ha kembali ke dunia nyata. “Ah, apa?”

“Yunnie, apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sakit?” ucap Jaejoong sambil meraba keningku. Nada bicaranya terdengar khawatir, namun di wajahnya terlihat senyum nakal, jelas-jelas ia sedang menggodaku.

”Tidak... Aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”

”Memikirkan apa? Sedang memikirkan aku ya~?”

”Pabo!” Aku menjitak kepala Jaejoong pelan. ”Masih banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada memikirkan kau!” Aku berpura-pura marah.

”Yunnie...ternyata kau memang memikirkan aku...” sahut Joongie dengan tampang aegyo.

”Hyung... jadi bagaimana rencananya?” pertanyaan itu menghentikan permainan-saling-menggoda antara aku dan Jaejoong.

”Ehm..., setelah sesi pemotretan ini usai, kita akan kembali ke apartemen untuk bersiap-siap menghadiri pesta nanti malam. Benar kan, Yunnie?” Jaeoong mengulang kembali perkataannya.

”Pesta? Pesta apa?”

”Pesta ulang tahunmu! Masa kau lupa dengan ulang tahun sendiri?”

”Ah, iya..., ulang tahunku...bagaimana aku bisa lupa? Malam ini pesta ulang tahunku, bukan?” Sebenarnya, aku benar-benar lupa. Kejadian di kantor tadi telah membuat pikiranku kacau, sampai-sampai aku tidak ingat dengan ulang tahunku sendiri.

”Mana Junsu dan Chunnie, Minnie? Rencana ini juga harus diberitahukan pada mereka berdua.”

“Mereka…” Changmin melihat ke sekeliling. “Ah, itu dia!”

Jaejoong dan Changmin pun menghampiri Junsu dan Yoochun, meninggalkan aku. Bagus, aku memang membutuhkan lebih banyak waktu untuk berpikir.


***


“Chingudeul, ayo kita berangkat! Kita tidak boleh terlambat kan… Nanti makanannya keburu habis…”

“Aaah, Junsu..Junsu. Apa di pikiranmu itu hanya ada makanan saja?”

”Jangan begitu, Yoochun-hyung. Aku juga mau makanannya. Hmm...pasti ada banyak sekali makanan di sana.”

”Oke, ayo kita berangkat! Yunnie, kau belum siap ya? Ayo cepat sedikit... dongsaeng kita sudah tidak sabar.” Jaejoong berteriak memanggilku dari luar kamar.

”Ah, kalian pergi duluan saja! Aku belum selesai bersiap-siap. Nanti aku menyusul.” balasku dari dalam kamar. Aku pura-pura belum siap, padahal kenyataannya aku sudah siap dengan tuksedo putihku dan rambut yang sudah tertata rapi.

”Oh.. baiklah. Jangan sampai terlambat, Yunnie! Kau kan bintang utama pesta ini!”

”Arassho...” jawabku dari dalam kamar.

”Yosh, ayo kita berangkat!” terdengar suara teriakan ceria Jaejoong, lalu pintu apartemen pun tertutup. Tinggallah aku sendirian, termenung di dalam kamar. Entah mengapa, aku tidak berselera untuk menghadiri pesta, sekalipun pesta itu adalah pesta ulang tahunku.

Setelah sekitar sepuluh menit termenung di kamar, aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Aku menuruni apartemen menuju area parkir dan menaiki Audi hitamku. Aku pun menyetir keluar area apartemen tanpa arah tujuan. Aku hanya mengikuti jalan, dibimbing oleh insting semata. Tahu-tahu instingku sudah membawaku ke sebuah restoran di pinggir kota Seoul. Restoran itu terlihat sepi. Di dalamnya hanya ada 2 orang pengunjung, seorang ahjumma dan seorang ahjussi yang keduanya duduk di bagian bar. Menyadari perutku yang lapar, aku memutuskan untuk turun. Aku pun melepas luaran tuksedoku, mengambil beannie dan kacamata berbingkai tebal dari laci dashboard, lalu melangkah keluar dari mobil.

Restoran itu memang terlihat kecil dari luar, namun ternyata di dalamnya cukup hangat dan terasa lapang. Ada empat meja empat orang yang diletakkan berjejer di tengah-tengah ruangan dan empat meja dua orang yang diletakkan di pinggir-pinggir jendela, serta sekitar lima kursi –dua di antaranya ditempati oleh dua orang pengunjung-yang diletakkan di bagian bar. Aku memilih meja dua orang di sudut ruangan itu, lalu duduk kursi yang menghadap ke arah ruangan. Di sebelah kiriku, jendelanya menampakkan pemandangan sebuah kolam kecil. Kolam itu berbentuk oval dengan panjang kira-kira satu setengah meter dan lebar kira-kira satu meter. Di salah satu ujungnya terdapat batu-batuan yang mengalirkan air, membuat air kolam yang memantulkan cahaya bulan terlihat berderak-derak indah. Di dalam kolam terdalam dua ekor ikan koi dengan sisik berwarna-warni, membuat air kolam berderak lembut seiring dengan gerakan ikan itu. Aku tersenyum saat melihatnya. Pikiranku terasa kembali jernih, sejernih cahaya yang dipantulkan air kolam itu.

”Permisi..., Anda mau pesan apa?” suara gadis itu mengagetkanku. Aku membetulkan letak kacamataku, berusaha agar tidak dikenali –dua orang pengunjung lainnya jelas-jelas tidak mengenaliku-.

”Ehm..., aku pesan 1 capuccino dan seporsi sandwich.” jawabku dengan suara berat –berusaha menyamarkan suara juga- sambil melihat-lihat daftar makanan di kertas menu yang disodorkan gadis itu, tanpa melihat wajahnya.

”1 capuccino, 1 sandwich,” ulang gadis itu, memastikan pesanan. ”Ada yang lain?”

”Tidak, itu saja.” sahutku, lagi-lagi dengan suara berat.

”Baiklah. Pesanan Anda akan segera datang.” gadis itu terlihat tersenyum manis saat aku melihatnya lewat sudut mataku. Kira-kira ia sebaya denganku. Rambutnya yang lurus panjang diikat longgar di tengkuknya, dibiarkan menjuntai dan bergoyang saat ia berjalan. Poninya yang tidak terlalu pendek seringkali menghalangi pandangannya sehingga ia sering merapikan poninya ke belakang telinga. Wajahnya cukup cantik, senyumannya juga sangat manis. Aku terkesiap. Pikiranku yang sudah jernih kembali diusik setelah aku melihat gadis pelayan itu. Aku kembali teringat pada Youn Ha...

”Pesanan Anda datang!!” suara ceria itu menyadarkan lamunanku.

”Ah, iya. Terima kasih.” jawabku sambil mengambil cangkir capuccino hangat lalu meneguknya.

”Hei, sepertinya wajahmu cukup familiar...” gadis itu menatap lekat wajahku sementara aku mengalihkan pandangan. ”Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

”Mungkin kau salah orang. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya.” sahutku kikuk sambil meraih sepotong sandwich lalu mengigitnya.

”Mungkin.” Ia manggut-manggut, terlihat berpikir. ”Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu kesini? Sepertinya kau orang kota...aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini.” Ia menarik kursi di hadapanku, lalu duduk.

”Ehm..iya..” aku menjawab ragu-ragu.

”Apa kau punya masalah?” nadanya terdengar menyelidik. Matanya terlihat ingin tahu.

”Err... begitulah.” jawabku sekenanya.

“Ooh.. Hei, kita belum berkenalan! Namaku Shin Dae, Cho Shin Dae. Siapa namamu?”

“Namaku…Yun Jil. Jung Yun Jil.” Aku menyamarkan namaku.

“Yun Jil… Nama yang unik. Senang bertemu denganmu, Yun Jil!” ia menyodorkan tangan kanannya padaku.

”Ya...senang bertemu denganmu.” jawabku ragu-ragu, membalas dengan berjabat tangan dengannya.

”Yun~ah... bolehkah aku memanggilmu begitu? Appaku pemilik restoran ini, meskipun pengunjungnya sedikit, tapi appa sangat senang mengurusnya. Eomma sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, jadi tinggal aku berdua dengan appa. Aku sangat senang membantu appa menjadi pelayan disini. Kau tahu? Memperhatikan pengunjung yang berbeda-beda itu sangat asyik.”

Yun~ah... Aku merindukan panggilan itu. Ya Tuhan, kenapa aku belum bisa melupakannya? Aku menepuk-nepuk kepalaku sendiri.

”Hei...apa kau mendengarkan aku?”

”Ah, iya. Lanjutkan. Ceritamu sangat menarik.” Aku pura-pura tertarik. Pikiranku kembali melayang entah kemana namun aku masih mendengarkan ceritanya tentang teman-temannya, tentang pengunjung-pengunjung restoran, dan lainnya. Lama-kelamaan, ceritanya menjadi benar-benar menarik bagiku. Canda tawanya mengembalikan pikiranku ke asalnya. Aku pun merasa akrab dengannya. Setelah ia puas bercerita, ia terdiam, mengambil segelas air putih dari bar lalu kembali duduk menatapku seperti menanti sesuatu.

”Apakah kau ingin menceritakan sesuatu? Terkadang, masalah akan menjadi lebih ringan setelah kau menceritakannya pada orang lain.”

”Baiklah. Aku ingin menceritakan sesuatu.” Shin Dae memajukan posisinya, terlihat antusias. ”Ada seorang pria. Ia berpacaran dengan seorang gadis. Ia sangat mencintai gadis itu. Namun demi mengejar mimpinya, ia harus meninggalkan gadis itu tiba-tiba tanpa perpisahan. Bertahun-tahun setelahnya, ketika ia sudah menjadi artis, ia kembali mencari tahu keberadaan pacarnya itu. Ia masih mencintai gadis itu. Lalu ia kembali menghubungi gadis itu, berusaha agar hubungan mereka kembali seperti dulu. Tapi, akhirnya gadis itu mendatanginya, memutuskan hubungan mereka karena ia telah mencintai pria lain. Sang pria tidak pandai mengungkapkan perasaannya sehingga gadis itu semakin terluka, lalu mereka benar-benar berpisah. Namun sang pria tidak dapat dengan mudah melupakan gadis itu, sampai sekarang.”

”Oo...” respon Shin Dae.

”Apa kau mengerti dengan ceritaku?” aku bertanya dengan ragu-ragu.

”Ya, aku mengerti. Jadi pria itu masih tidak bisa melupakan sang gadis?”

”Begitulah..”

”Pabo! Bodoh! Buat apa memikirkan gadis yang telah mencampakkannya? Pria itu kan artis, ia pasti dapat dengan mudah mencari gadis lain.”

Aku terdiam, memikirkan ucapannya. Ya, aku memang bodoh. Buat apa aku terus memikirkan Youn Ha yang sudah bahagia bersama dengan pria lain? Aku harus mencari gadis lain dan melupakannya... Hei, apakah gadis ini orangnya? Ia cukup menarik...

”Jadi, seharusnya pria itu juga mencari kebahagiaannya sendiri!” ujar Shin Dae, mengakhiri opininya.

”Dan kebahagiaan itu... ada di depan matanya.” aku bergumam tanpa sadar.

”Apa katamu? Aku tidak dengar...”

”Jam berapa sekarang?” aku meraih ponselku di kantong celanaku. Ternyata sudah jam setengah sembilan dan ada puluhan missed call dari Jaejoong, Yoochun, Junsu dan Changmin! Aku sudah terlambat setengah jam dari pesta ulang tahunku sendiri. ”Ya ampun... sudah jam segini? Shin Dae, aku pergi dulu ya!” Aku mengambil dompetku, mengeluarkan selembar uang lalu meninggalkannya di meja. Lalu aku berlari keluar, menuju mobilku.

”Hei! Kenapa kau terburu-buru?” teriak Shin Dae sambil berlari menyusulku.

“Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan! Oh ya…” aku mengambil kertas dan pena dari laci dashboard, lalu menuliskan nama dan nomor ponselku disana. “Ini untukmu! Teleponlah kalau sempat!” Aku menekan pedal gas mobil, melambaikan tangan ke luar jendela lalu segera kembali ke Seoul, ke lokasi pesta ulang tahunku.

“Sampai bertemu lagi!” Shin Dae melambaikan tangannya ke arah mobilku yang melaju kencang meninggalkannya. Ia melihat kertas yang kuberikan padanya. “Ini… Apa? Ia Jung Yun Ho? Pabo kau, Shin Dae! Masa tidak mengenali artis terkenal seperti dia!” Shin Dae menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Ah, kalau tidak salah… ia berulang tahun tanggal 6 Februari…Hari ini!” ia mengambil ponselnya, mengetik pesan, lalu mengirimkannya ke nomor di kertas itu.


***


Aku pun sampai di tempat pesta. Disana, keempat teman-temanku sudah menunggu.

“Yunnie, kau kemana saja? Ayo cepat! Para tamu sudah tidak sabar menunggumu!”

“Ayo cepat, hyung!”

Aku ditarik ke tempat pesta sembari sibuk mengenakan kembali tuksedoku dan merapikan rambutku. Lalu aku merasa ponselku bergetar. Ada SMS dari nomor tidak dikenal, isinya:

“Jung Yun Ho? Omo~ apa kau benar-benar Jung Yun Ho dari Dong Bang Shin Ki? Maaf kalau aku tadi berlaku tidak sopan padamu. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Mmm, semoga kita bisa berteman! Ngomong-ngomong, bukankah hari ini hari ulang tahunmu? Kalau begitu, Saengil Chukae! Have a nice birthday!
NB: Apakah cerita pria dan gadis tadi itu ada hubungannya denganmu? Jawab aku!
Dari: Cho Shin Dae”

Aku mengetik “Akan aku jelaskan padamu secepatnya, arasseo? Sampai ketemu^^” lalu mengirimkannya pada Shin Dae. Senyuman tertoreh di wajahku saat membayangkan ekspresi Shin Dae saat membaca balasanku. Aku memasukkan kembali ponselku ke tempatnya, melihat semua tamu bersorak riuh saat aku masuk ruangan pesta. Kebahagiaanku memang sudah di depan mata…


-Fin- (Again XD)

No comments:

Post a Comment