Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Monday, July 13, 2009

[Fiction] Broken Mind

Seorang perempuan muda tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Kedua matanya memancarkan rasa sakit akibat kanker yang menggerogotinya, ia tahan dengan sekuat tenaga, menatap kedua mata lain yang terlihat merah dan mulai berair namun berusaha tetap tegar. Laki-laki itu seakan ingin menukar posisinya dengan perempuan yang dicintainya itu. Perempuan itu sendiri tersenyum dan perlahan menutup kedua matanya. Masker oksigen, selang infus, pendeteksi detak jantung, ruang ICU yang mengharuskan pengunjungnya memakai pakaian khusus serta seluruh isinya sama sekali tidak berguna. Tak dapat menangkap jiwa gadis itu yang perlahan meninggalkan raganya…

Aku iri.

Terdengar suara kunci pintu. Ahjushi sudah pulang. Segera kumatikan TV, mengembalikan kursi meja makan ke posisinya semula dan berjalan ke arah kamar tanpa menghiraukan pandangan Ahjushi yang selalu menggangguku.


***


“Argh, perutku sakit!!” Seorang wanita hamil tiba-tiba mengerang sambil memegangi perutnya.
“Chagiya, kau akan melahirkan? TAKSI!!” Pria itu langsung menyetop taksi dan membantu istrinya masuk.
Taksi itu langsung menuju rumah sakit terdekat. Begitu sampai, si pria langsung keluar dari taksi dan menghambur masuk ke dalam rumah sakit. Memanggil perawat untuk menolong istrinya. Perawat yang melihatnya langsung bersigap mengambil dipan dorong untuk membawa istri pria itu masuk ke rumah sakit.
Ia duduk di kursi, menundukkan kepalanya sambil mengerang pelan. Sesaat kemudian ia berdiri. Berjalan hilir mudik sambil terus mengecek lampu merah yang menyala di atas pintu ruang operasi. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu dan memberi berita baik padanya. Ia begitu tidak sabar menunggu akhir momen ini.
Pintu yang ia nanti akhirnya terbuka. Namun lampu merah itu tak kunjung berubah warna. Ia tercekat. Seorang perawat yang masih memakai pakaian khusus operasi keluar dari pintu itu. Sama sekali bukan ini yang diharapkannya.
Istrinya mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan donor darah secepatnya. Pria itu langsung mengangguk mantap ketika si perawat menanyakan donor yang sesuai untuk istrinya.
Selesai mendonorkan darah, pria itu kembali menunggu di depan ruang operasi. Sudah 8 jam berlalu. Lampu itu masih tidak berubah.
Ia menunduk, kembali mengenang masa lalu. Saat ia dan istrinya diam-diam pacaran ketika SMA. Lalu semua masa indah itu berubah sekejap ketika istrinya hamil. Orang tua mereka berdua tidak merestui sehingga mereka terpaksa hidup sendiri, membangun rumah tangga berdua. Sungguh masa yang sulit namun mereka selalu menanggapinya dengan senyum kebahagiaan.
Tiba-tiba lampu merah itu berubah menjadi hijau. Pintu didorong kencang dan seorang dokter keluar..

Aku iri.

Aish, bersambung pada saat yang tidak tepat! Episode selanjutnya belum selesai ku-download pula. Kulihat download-anku yang masih perlu 1 jam lagi sampai selesai. Terpaksa aku berhenti menonton sebentar dan memulai chatting dengan temanku.


***


Malam ini tenggorokanku terasa tidak enak. Terasa sedikit sakit saat menelan. Yah, paling-paling hanya sakit tenggorokan biasa. Kalau besok mulai mengganggu, baru aku minum obat.

Keesokan harinya, aku benar-benar merasa tidak enak badan ketika sedang kuliah. Ruangannya ber-AC. Entah karena efek AC atau apa, aku merasa badanku sedikit panas. Instingku mulai bekerja. Kurasa aku harus cepat pulang dan minum obat. Tapi dosen malah mau memberi kuis hari ini, tepat sebelum jam pulang. Terpaksa aku tetap di kelas. Untung saja mahasiswa yang sudah selesai mengerjakan soal boleh pulang duluan, jadi aku yang untungnya bisa cepat selesai pun keluar kelas mendahului yang lain. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan.

Sesampainya di halte bis, ternyata ada keterlambatan kedatangan bis. Kurasa kalau aku menunggu saja sementara sekarang sudah jam makan siang bisa-bisa maagku kambuh. Jadi aku pun pergi makan. Aku masuk ke salah satu rumah makan Chinese di dekat kampus. Kudengar makanannya enak. Namun saat kulihat daftar menu, aku baru sadar kalau menunya untuk makan keluarga. Hanya sedikit makanan untuk perorangan. Karena tenggorokanku masih terasa sakit, aku pun memilih bakmi kuah. Namun ketika pesananku datang, selera makanku lenyap seketika. Terasa mual. Kupaksakan makan sedikit sambil berkali-kali menyeruput teh hangatku untuk meredakan rasa mual ini. Tidak berhasil. Aku hanya bisa makan kurang dari sepertiganya. Akhirnya aku pun berhenti makan. Kubayar dan keluar dari tempat itu, kembali menuju halte bis. Seharusnya bisnya sudah datang.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengirimkan pesan singkat pada Eomma, menanyakan obat apa yang harus kumakan. Eomma sempat mengomeliku, kenapa aku tidak makan obat dari kemarin.
Sudahlah, aku ini sedang sakit, Eomma!

Aku mencoba tidur setelah makan obat. Weks, aku benci obat dan sekarang terpaksa aku memakannya karena aku tidak mau sakit sekarang. Dua hari lagi ada ujian praktek akhir semester dan aku tidak mau sakit saat ujian!
AKU BENCI SAKIT!


***


Sekarang aku tinggal sendirian di rumah. Tadinya keluarga Ahjumma tinggal di rumahku karena rumah mereka sedang direnovasi. Sekarang rumah mereka sudah selesai dan akhirnya kuperoleh kebebasanku kembali. Sudah cukup kekesalan yang kupendam karena merasa tidak cocok dengan mereka.

Aku bosan. Komputerku sedang rusak sehingga tidak bisa dipakai. Acara TV tidak ada yang menarik. Jalan-jalan keluar rumah, tidak ada yang menemani. Menyedihkan.

Akhirnya aku berdiam di dalam kamar. Merebahkan kepalaku di atas bantal dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Terlintas di kepalaku adegan-adegan yang kuinginkan. Yang kurindukan. Yang selalu membuatku iri.

Aku beranjak keluar kamar menuju pintu depan. Kuputar kuncinya hingga terbuka. Agar akan ada orang yang menemukanku, pikirku.
Lalu aku pun naik ke lantai dua dan berhenti di puncak anak tangga. Kubalikkan badan dan menatap tangga-tangga yang menurun curam itu. Kurasa tangga di rumahku tidak cukup lebar untuk kugunakan, tapi kurasa kekurangan itu akan memberi efek yang lebih baik.

Aku berjongkok dan memutar badanku ke arah dinding, merapat mendekatinya. Lalu kurebahkan badanku. Ya, satu gerakan kecil dan rencanaku sempurna.
Kubalikkan badan membelakangi tangga, lalu dengan cepat memutarnya kembali. Yang kuingat selanjutnya adalah rasa ngilu di beberapa bagian tubuhku, diakhiri dengan satu dengungan keras yang memenuhi kepalaku.


***


Kepalaku pusing. Aku tidak bisa merasakan badanku. Sama sekali tidak bisa bergerak. Aku hanya mampu menggerakkan ujung jariku. Apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah mati? Tidak, bukan ini yang kuinginkan. Kucoba membuka mata dengan susah payah. Gelap. Apa sekarang sudah malam? Sudah berapa lama aku seperti ini?

“Aerin? Kau sudah sadar, nak?”

Suara Eomma. Eomma datang? Aduh, sepertinya aku sudah kelewatan. Pasti Eomma sangat cemas. Mianhe Eomma…

“Kau terjatuh dari tangga. Beberapa tulangmu patah tapi pasti akan segera sembuh. Istirahatlah.”

“Eomma… kenapa gelap-gelapan?” Terlalu gelap. Masa rumah sakit tidak punya lampu?

“Gelap? Ini siang hari, terang benderang…” Lalu kudengar suara nafas tercekat dan sedikit getaran pada ranjangku.

“Jangan bercanda, Eomma. Nyalakan lampunya. Ulang tahunku masih lama.” Ucapku tidak percaya. Pasti Eomma bercanda kan?

“…” Tidak ada balasan dari Eomma.

“Eomma? Ayo, nyalakan lampunya…”

“Y—ya, ini sudah Eomma nyalakan,” Gelap. “Masih gelap? Di luar seharusnya terang. Eomma buka tirainya dulu ya,” Tetap gelap. “Oh iya, Eomma ada senter. Apa kau tidak silau?” Sama sekali tidak ada cahaya.

“Tunggu sebentar, nak. Eomma mau panggil dokter.”

Tidak. Bukan ini yang kubayangkan. Semuanya memang sesuai. Aku berada di rumah sakit. Tidak mampu bergerak sama sekali. Lemah dan tidak berdaya. Di tanganku ada selang infus. Tadinya ada masker oksigen meskipun sekarang sudah diganti dengan selang oksigen. Bau obat-obatan yang menyengat. Namun aku tidak mengharapkan rasa sakit ini. Rasa sakit yang selalu menyiksa saat badanku sedikit bergerak. Serta… kegelapan yang menyelimutiku.


***


Eomma dan keluargaku yang lain baru saja keluar. Terdengar suara isakan Eomma sementara suara lain mencoba menghiburnya.
Aku menolak dioperasi. Buat apa membuang-buang uang demi aku yang sengaja menyakiti diriku? Sekalipun dioperasi, kemungkinan sembuh hanya 50%. Tidak menjamin. Biarkan saja aku seperti ini. Anggap saja ini adalah hukuman bagiku yang telah seenaknya mempermainkan nyawaku. Aku ini berdosa, Eomma. Seharusnya aku mati saja daripada hidup seperti ini…

“Kenapa kau tidak mau operasi?”

Suara siapa itu? Aku tidak mendengar suara pintu terbuka. Darimana laki-laki ini datang?

“Maaf, aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Dari tadi aku mendengar percakapan keluargamu. Tidak mungkin sembuh? Alasan yang tidak masuk akal. Bila kau yakin akan sembuh, kau pasti bisa sembuh.”

“Siapa kau?”

“Aku… Hei, jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kau tidak mau sembuh?”

“Kau mengubah pertanyaan. Harusnya kenapa aku tidak mau operasi, bukannya kenapa aku tidak mau sembuh.”

“Sama saja.”

“Beda!”

“Terserah kau. Jawab saja salah satunya.”

“Tidak mau.”

“Ya sudah. Kau sangat tidak asyik. Aku pergi.”

“Hei!”

Tidak ada balasan. Apa laki-laki itu sudah pergi? Berapa umurnya? Suaranya terdengar sedikit berat, jadi mungkin ia seumuran denganku atau lebih tua. Atau lebih muda? Ah, aku tidak tahu. Aku mau tidur saja.


***


“Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?”

“Aaa! Kau mengagetkanku saja.”

“Mengagetkan? Masa?”

“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, atau memberi sinyal suara ketika kau datang?”

“Hmm… tidak mau. Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak!”

“Ya sudah, aku pergi saja…”

“Eee, tunggu dulu!”

“Kenapa? Kau mau jawab pertanyaanku?”

“Tidak, tapi… maukah kau menemaniku? Aku kesepian…”

“Apa kau tidak takut ditemani laki-laki asing sepertiku? Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada temanmu yang datang? Kasihan sekali kau.”

“Kau— Sekarang sedang ujian semester, jadi semua teman-temanku sibuk belajar.”

“Hmm… sepertinya hanya aku satu-satunya orang yang bisa menemanimu. Baiklah, terserah kau mau jawab pertanyaanku atau tidak. Aku akan menemanimu. Jadi, apa yang harus kulakukan agar kau tidak kesepian?”

“Temani aku saat aku—“

“Aerin, kau bicara dengan siapa?”

“Oh, Eomma datang. Dengan temanku. Hei! Aduh, aku belum tahu namanya. Ini Eommaku.”

“Siapa? Tidak ada siapa-siapa disini.”

Hah? Bukannya tadi ia baru saja ada disini saat Eomma datang?

“Eomma mau ke ruang dokter. Tunggu sebentar ya.”

Terdengar suara pintu terbuka. Sepertinya Eomma sudah pergi.

“Hei, kenapa kau sembunyi begitu ada Eomma? Oh iya, ucapanku tadi, maukah kau menemaniku ketika aku sendirian?”

Tidak ada jawaban. Orang yang aneh. Datang dan pergi begitu cepat dan tiba-tiba. Semoga ia datang lagi…

Harapanku terpenuhi. Ia datang lagi keesokan harinya. Ia tidak menjawab langsung permintaanku, tapi kehadirannya setiap kali Eomma sedang pergi dan aku sendirian merupakan jawabannya. Aku banyak bercerita padanya. Kurasa baru sekarang aku menemukan seorang teman untuk berbagi cerita. Kulimpahkan segala yang ada di dalam pikiranku. Semua masalahku. Dan ia selalu diam mendengarkan, hanya sesekali mengeluarkan gumaman sebagai tanda ia masih mendengarkan.

Satu minggu berlalu. Ujian semester yang kulewatkan telah selesai. Teman-temanku mulai datang menjenguk meskipun rumah sakit tempat aku dirawat pasti jauh dari tempat tinggal mereka. Sekarang aku tidak kesepian lagi. Tapi aku kesepian tanpa laki-laki itu. Ia tidak datang lagi…


***


“Lupakan saja pertanyaanku dulu.”

Eh, ia datang! “Kemana saja kau?”

“Seperti janjiku, aku hanya menemanimu saat kau kesepian. Bukankah sekarang kau sudah tidak kesepian lagi?”

“Ya… begitulah. Kenapa sekarang kau datang padahal aku sudah tidak kesepian lagi seperti yang kau katakan?”

“Karena aku tidak bisa datang lagi besok.”

“Besok? Lusa bisa datang kan?”

“Tidak bisa. Hanya hari ini aku bisa datang mengunjungimu.”

“Kenapa? Apa kau akan keluar rumah sakit? Eh, kau ini pasien atau pengunjung biasa, sih? Aku bahkan tidak tahu siapa kau.”

“Tidak usah memikirkannya. Tidak begitu penting. Yang penting adalah, apa kau mau berjanji padaku untuk segera dioperasi?”

“Kenapa aku harus dioperasi?”

“Karena… kalau kau bisa melihat lagi, kau baru bisa melihatku. Apa kau tidak penasaran padaku?”

“Apa maksudmu?”

“Sudahlah, berjanjilah. Waktuku tidak banyak.”

“Waktumu tidak banyak? Kemana kau akan pergi? Apa kita akan bertemu lagi?”

“Berjanjilah.”

“Ya, baiklah. Apa kau juga akan terus memegang janjimu? Untuk tidak membiarkan aku kesepian?”

“…” Tidak ada jawaban.

Apa maksud perkataannya? Kemana ia akan pergi? Bukankah ia berjanji untuk menemaniku saat aku kesepian?

“Aerin, kau kenapa? Ada yang sakit?”

Eomma datang. Aku pun teringat akan janjiku tadi.

“Eomma, aku mau operasi.”

Selanjutnya, yang kudengar hanya desahan lega dari Eomma. Kurasa pasti ia sangat senang. Mianhe, Eomma. Pasti aku sudah membuatmu begitu tertekan..


***


3 bulan kemudian, perban di mataku dibuka. Begitu menyentuh cahaya, mataku terasa sangat silau dan butuh waktu beberapa menit sampai aku bisa melihat dengan jelas. Akhirnya aku bisa melihat lagi. Aku melihat sekeliling, berharap menemukan sosok laki-laki dengan suara yang familiar. Laki-laki yang sudah menemani dan mendukungku selama ini. Namun sama sekali tak kutemukan. Kucari di seluruh rumah sakit, tak juga kutemukan. Kemana dia?

Akhirnya aku pun kembali kuliah. Karena membutuhkan waktu untuk penyembuhan total, aku melewatkan dua bulan perkuliahan dengan izin khusus. Eomma menyarankan aku cuti setahun saja agar lebih banyak istirahat, tapi aku tidak mau kehilangan teman-temanku di kelas. Sekarang aku harus berjuang keras agar bisa mengejar ketertinggalanku mengingat sebentar lagi ujian tengah semester.

Hari kuliah pertamaku dimulai. Ketika aku masuk kelas, teman-temanku langsung menyambut hangat. Mereka tak hentinya menanyakan pertanyaan seperti, “Kau sudah sembuh?” atau, “Kau sudah bisa melihat?”. Pertanyaan yang mengganggu tapi mau tidak mau harus kutanggapi satu persatu sambil berusaha tersenyum ramah.
Setelah kuliah dimulai selama sekitar setengah jam, pintu kelas terbuka dan seorang mahasiswa lain masuk. Ia duduk di kursi yang masih kosong di sebelahku. Aku belum pernah melihatnya. Siapa dia?

“Ssst, siapa laki-laki itu?”

“Ah, dia itu anak angkatan di atas kita tapi terpaksa cuti setahun karena sakit.”

“Ooh..”

Puas dengan jawaban itu, aku tidak lagi membahasnya. Ternyata hanya mahasiswa sakit-sakitan yang cuti setahun rupanya.

Tiba-tiba dosen yang sedang menjelaskan memberikan pertanyaan.
“Siapa yang menemukan teori relativitas? Pertanyaan mudah, siapapun pasti bisa menjawabnya.” Si dosen menyisir mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya sama sekali tidak memperhatikannya. “Kau! Coba jawab!” Ia menunjuk ke… laki-laki di sebelahku.

“Err… ” Ia terdiam, tidak menjawab. Padahal bisa kulihat seluruh kelas dan dosen sedang memperhatikan dia, menunggu jawaban. Ah, ternyata dia bodoh. Masa penemu teori relativitas saja tidak tahu?

“Hei, apa kau tahu jawabannya?”

Eh? Kutolehkan kepaku, menatapnya. Suaranya familiar…

“Tolong, apa kau tahu jawabannya?”

“Y—ya, Albert Einstein.” Jawabku terbata-bata. Suaranya itu…

“Albert Einstein, Songsaenim.” Akhirnya ia menjawab dengan suara cukup keras, mengutip jawaban yang kuberitahukan.

“Bagus. Penemu teori relativitas adalah Albert Einstein. Bahkan anak SD pun pasti tahu.” Lalu dosen itu kembali melanjutkan penjelasannya. Para mahasiswa pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang tertarik dengan kuliah ini.

Aku tertarik. Bukan tertarik pada kuliah yang membosankan ini, tapi pada laki-laki di sebelahku. Aku kembali meliriknya berkali-kali, penasaran. Siapa dia? Kenapa suaranya terdengar begitu familiar?

Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. “Err… apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkin. Kan kita masih satu kampus.”

“Y—ya, mungkin saja…”

“Tapi kurasa kita pernah bertemu belum lama ini. Aneh ya?”

“Aku juga merasa begitu. Anehnya lagi, hanya suaramu yang terdengar familiar.”

“Oh ya?”

“Hmm..”

“Aneh.”

“Ya, sangat aneh.”

Aku mengalihkan pandangan dengan kikuk ketika menyadari kuliah ini sudah selesai. Aku pun membereskan buku dan berdiri menyusul teman-temanku. Kurasa, lain kali aku harus tanya siapa namanya.


FIN

Saturday, July 11, 2009

[Oneshot] He's My Death God!

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!”

Dengan mata yang masih terpejam, tanganku bergerak-gerak menggapai jam weker yang seharusnya ada di sebelah tempat tidurku. Namun bukannya mematikannya, tanganku malah membuatnya jatuh ke lantai. Aisssssh! Terpaksa aku bangun untuk mengambil jam weker itu dan mematikannya. Lalu kembali kurebahkan badanku dan menatap langit-langit kamar. Bagai pemutar rol film, aku kembali teringat pada hari itu…

”Yak, Yoonmi-ah, berapa nomor ujianmu?”

“1324. Kau?”

“3287. Siap?”

“Ya. Kau ke kanan, aku ke kiri.”

“Sip.”

Aku dan Yoonmi serempak berpisah. Aku ke papan pengumuman di sebelah kanan sedangkan Yoonmi ke papan pengumuman di sebelah kiri. Hari ini pengumuman ujian masuk Universitas Seoul, universitas paling bergengsi se-Korea Selatan. Kalau bisa masuk, ahh bagaikan mimpi!

“Akh, permisi…permisi…” Aku sedang mencoba menerobos kerumunan orang yang sama-sama ingin melihat pengumuman. “1324… 1324…” Mata dan jariku bergerak seiringan menyisir daftar nama dan nomor ujian yang tertera pada kertas-kertas yang ditempelkan. Aih, pabo! Nomor ujian yang ada disini semuanya berawalan 3! Kalau begitu, aku cari nomorku saja. “3287…3287…” ADA! Aku harus segera keluar dari kerumunan ini dan mencari Yoonmi! Namun ketika kubalikkan badan untuk keluar, orang-orang di depanku malah mendesakku sampai aku hampir terjepit. Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau hidupku berakhir seperti ini! Kan sangat tidak lucu kalau Appa dan Eomma alih-alih mendapat berita bagus ini, malah ditelepon polisi kalau anak perempuan semata wayang mereka tewas tejepit di antara orang-orang dan papan pengumuman? Mungkin bukannya sedih, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Sekarang aku bahkan tidak sempat bergidik saat memikirkan kemungkinan konyol itu. Kupejamkan mataku dan berusaha melawan dorongan dari orang-orang menyeramkan ini. Ukh, bernapaslah, Aerin! Bahkan udara pun sampai tidak punya cukup tempat untuk sampai ke tenggorokanku. Oh Tuhan, apakah aku harus mati konyol seperti ini?

Eh. Tiba-tiba aku bisa bernapas dengan lega. Dorongan-dorongan itu pun tidak lagi terasa menyakitkan. Apa aku sudah mati? Kubuka mataku perlahan, mencoba memastikan dunia luar. Apa rohku sudah dicabut malaikat kematian?

Salah. Semua salah. Di hadapanku sekarang tidak ada malaikat kematian. Eh, bisa disebut malaikat juga sih. Malaikat surga tepatnya. Dadanya yang bidang memberi cukup ruang bagiku untuk bernapas. Ketika kutatap wajahnya, kulitnya yang putih mulus terlihat begitu… bersinar. Kacamata kotak yang dikenakannya seakan-akan ingin menyembunyikan mata indah itu dari penglihatan orang. Belum lagi rambutnya. Hitam, cukup stylish, begitu cocok dengan bentuk kepalanya. Wajahnya maksudku. Oh, kalau malaikat kematian itu setampan dia, aku rela mati lebih cepat! Cabut saja nyawaku, wahai malaikat!

“HEI!”

Eh?

“Apa kau mau mati disini?”

Eeeeh? Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teriakannya. Oh, apakah suara malaikat kematian itu terdengar begitu merdu seperti ini?

“Cepat keluar kalau tidak mau mati terjepit. Aku sudah capek menahan orang-orang ini!”

Akh. Duniaku yang tadinya hanya ada aku dan malaikatku mulai terisi oleh suara-suara berisik dan sosok orang-orang yang saling mendorong. Ternyata aku masih hidup—sayang sekali, padahal kukira nyawaku sudah dicabut oleh malaikat ini—dan alasanku tetap hidup adalah pria ini. Rupanya sedari tadi ia menahan dorongan orang-orang yang menjepitku.

“CEPAT!”

“Ah, iya-iya…” balasku pada akhirnya. Lalu kami bergerak bersama-sama sampai kami keluar dari kerumunan itu. “Goma—“ Eh? Pria itu sudah tidak ada lagi. Rupanya ia kembali menyelami kerumunan orang itu. Apa ia juga ingin melihat hasil ujian masuk? Apa ia diterima? Apa ia—“

“Aerin-ah!!! Aku diterima!! Bagaimana denganmu?”

Pandanganku beralih dari kerumunan yang hampir menjepitku tadi ke wajah Yoonmi yang berbinar-binar menatapku. “Ah, iya-iya.. Aku juga diterima.”

“Bagus! Kita sama-sama diterima!!” teriak Yoonmi sembari memelukku.

“Iya, bagus…” balasku tanpa bersemangat. Mataku kembali memperhatikan kerumunan di belakang Yoonmi.

“YA, Aerin-ah! Apa kau tidak senang? Ada apa denganmu? Apa kau sakit? Aigo… apa yang harus kukatakan pada Ahjushi dan Ahjuma kalau kau sampai sakit?”

“Yoonmi-ah, tenanglah. Tentu saja aku senang! Kita diterima!!” balasku mencoba menenangkan Yoonmi. Ia paling takut diomeli Appa dan Eomma yang overprotektif padaku. Meski sebenarnya Appa dan Eomma sudah sangat mengenal Yoonmi karena kami sudah satu sekolah sejak SD, tapi Yoonmi masih saja segan pada mereka.

Pandangan mataku kembali ke arah papan pengumuman. Pria itu sudah keluar. Ekspresinya terlihat datar. Apa ia tidak diterima? Mengapa malaikat setampan ia tidak diterima? Ah, kurasa aku harus memastikannya. Sekalian mengucapkan terima kasih. Ia kan penyelamat nyawaku…

“Yoonmi-ah, aku mau kesana sebentar.”

Kudatangi pria itu. Sambil berjalan ke arahnya, aku terus memperhatikan ekspresinya. Apa ia benar-benar tidak diterima? Tapi ekspresinya tiba-tiba berubah. Dari ekspresi datar menjadi senyum-senyum sendiri. Lalu ia menggerakkan tangannya dan mulutnya berucap “YES!”. Sungguh pria yang aneh.

“Permisi…” sapaku.

Ekspresinya langsung berubah. “Ya?” sahutnya gelagapan. Lucu sekali.

“Gomawo atas bantuanmu tadi.”

“Y—ya, sama-sama,” sahutnya masih gelagapan.

“Apa kau juga melihat hasil ujian masuk? Diterima tidak?”

“Ya, aku diterima. Kau?”

“Ya, aku juga diterima. Selamat ya.”

“Masuk jurusan apa?”

“Kedokteran. Kau?”

“Siapa namamu?”

Kok dia terus menanyaiku sih? “Park Aerin. Kau?”

Alih-alih menjawab, ia malah terlihat berpikir. “Kita masuk pada angkatan yang sama dan jurusan yang sama. Sebenarnya aku lebih tertarik pada wanita yang lebih tua, tapi kurasa aku ingin coba pacaran pada wanita yang seumuran denganku. Namaku Kim Jaejoong. Apa kau mau menjadi pacarku?”

“. . .” APA??

“APA???” Eh, kok malah Yoonmi yang teriak sih?



Hahaha… Aku jadi tertawa sendiri mengingatnya. SUNGGUH KONYOL! Aku hampir mati terjepit, bertemu dengan malaikat kematian yang lucu, bahkan malaikat itu mengajakku berpacaran. Hahaha…

Tapi itu kenangan 1 tahun yang lalu. Saat itu, meski masih shock tapi aku langsung menerimanya. Tentu saja aku tidak menolak malaikat setampan dia. Sungguh beruntung, bukan? Tapi Yoonmi malah histeris sendiri dan aku harus berjuang keras untuk menenangkannya agar ia tidak memberitahu orangtuaku. Appa dan Eomma tidak boleh tahu. Kalau mereka sampai tahu aku berpacaran begitu masuk kuliah, hmm aku tidak bisa membayangkan apa tindakan mereka. Bisa-bisa Joongie-ku dipanggang hidup-hidup. Oops, ketahuan yah. Aku memanggil malaikatku itu Joongie. Panggilan yang imut, bukan? Tadinya ia sempat protes tapi aku bersikeras tetap memanggilnya seperti itu. Ia kan malaikatku yang lucu. Hehehe…

Oh iya, pada awalnya kami berpacaran karena Joongie ingin mencoba berpacaran pada perempuan yang seumuran dengannya. Awalnya kukira kami tidak akan cocok karena banyak yang bilang kalau pacaran dengan orang yang seumuran akan lebih sering bertengkar. Yah, kami juga sering bertengkar sih. Tapi semua masalah selalu bisa diselesaikan. Sampai akhirnya kami menjalani masa pacaran selama satu tahun… Tunggu dulu. Satu tahun? Ya ampun, hari ini kan hari peringatan satu tahun pacaran kami! Seharusnya kami bertemu di depan kampus jam sebelas siang. OMONA.. sekarang sudah jam setengah dua belas! Pabo! Bagaimana aku bisa lupa dan bangun kesiangan? Padahal semalaman akulah yang berkali-kali mengingatkan Joongie agar ia tdak terlambat. Ya ampun, aku harus cepat!

Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Setelah secepat mungkin memilih pakaian dari lemari dan memakainya, aku segera turun ke lantai satu. Hari ini hari minggu, jadi tentu saja orangtuaku ada di rumah. Appa sedang sibuk di ruang kerjanya sementara Eomma sibuk di dapur mengawasi pembantu memasak.

“Appa, Eomma, aku pergi dulu!!”

“Aerin, kau mau kemana?” tanya Eomma.

“Aku ada janji dengan Yoonmi dan sekarang sudah terlambat! Appa, Eomma, annyeong!” teriakku sambil keluar rumah tanpa menghiraukan suara teriakan Appa. Pasti appa menyuruhku diantar supir. Iih, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku mau naik bus saja.

Sesampainya di depan kampus, aku segera mencari sosok Joongie di antara orang-orang yang datang untuk melihat hasil ujian masuk. Hihihi, jadi teringat lagi pada kejadian itu. Tapi aku tidak juga menemukan Joongie. Argh, Kim Jaejoong, KAU TERLAMBAT!
Kucoba bersabar dan mencari tempat duduk. Menunggu malaikat bodoh itu. Sekarang sudah jam setengah satu siang. Ia belum datang. Dan aku sudah lapar! Grrr… lihat saja nanti, begitu ia datang aku akan memakannya! Grawr!

Tiba-tiba sebuah sepeda motor memasuki halaman kampus dan berhenti di depanku. Lho, kenapa malah Changmin yang kesini? Tapi yang mengendarainya siapa? Motor Changmin, tapi yang membawanya sama sekali tidak kukenal. Jaket dan helmnya membuatnya terasa asing.
Perlahan laki-laki itu membuka helmnya. Joongie??!

“Aerin-ah!”

Sesaat aku sempat terbuai akan kekerenannya saat membuka helm. Ya ampun, kalau Tuhan memang membuat manusia berdasarkan rupa-Nya, pasti Tuhan setampan ini!
Ehem. Aku kan sedang marah padanya. Ia terlambat satu setengah jam!
“Kau terlambat,” sahutku ketus.

“Tidak, aku tidak terlambat. KAU-lah yang terlambat. Aku sudah datang dari jam sebelas tadi, menunggumu sampai kelaparan. Jadi aku pergi sebentar untuk makan siang.”

Oops. Ternyata ia tidak terlambat. Tapi… “Kau makan siang duluan? Aku juga lapar! Huh!”

“Kau belum makan? Ya sudah, ayo kita pergi makan. Aku temani.”

“Kau ini… aku tidak mau makan sambil diperhatikan orang!”

“Hei, kenapa malah kau yang marah? Harusnya aku yang marah, tau? Cepatlah naik kalau kau mau makan. Atau kau mau mati kelaparan disini?”

“Oke…oke…” Mau tidak mau aku harus menyerah. Perut laparku sudah tidak bisa kompromi. “Ngomong-ngomong, kenapa motor Changmin ada padamu?”

“Kupinjam. Biar kita bisa lebih leluasa kemana-mana. Apa kau takut naik motor?” ucapnya sambil menyalakan mesin.

“Anio… tentu saja aku berani. Pabo!” jawabku sambil memukul pundaknya pelan. “Tapi bukannya motor Changmin ini rusak?”

“Tenang saja, sudah diperbaiki. Sekarang pegangan kalau kau tidak mau terjatuh.”

“Whoaaaa!” teriakku sambil refleks memeluk pinggangnya. Dasar usil, langsung ngebut sebelum aku siap. Malaikat bodoh!

Kami ke restoran cepat saji. Tentu saja karena aku sudah sangat lapar. Aku memesan burger porsi besar, kentang goreng super large dan cola large size.

“Kau mau pesan apa?” tanyaku pada Joongie.

“Orange jus medium. Kau pesan orange jus saja daripada cola. Orange jus lebih sehat lho.”

“Ya ya ya… aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Aku sudah sangat lapar,” Kualihkan pandangan pada pelayan yang sedang menanti pesananku. “Burger special extra large satu, kentang goreng super large, orange jus large satu dan orange jus medium satu.”

“Akhirnya kau pesan orange jus juga.” ujar Joongie sambil tersenyum.

“Kubilang aku tidak ingin berdebat—“

“Totalnya 7500 won.”

“Biar aku yang bayar. Kau sudah menyediakan transportasi, bukan?” tolakku saat Joongie merogoh dompetnya.

“Kau ini—“

Ia terdiam. Setelah kubayar makanan kami, Joongie membawakan nampannya menuju meja di dekat jendela dengan kursi sofa favoritku.
Ia menaruh makanan dan menungguku duduk. “Geser,” sahutnya menyuruhku bergeser ke arah jendela. Aku enggan tapi terpaksa bergerak juga setelah ia memaksa duduk pada sofa yang sama denganku. Huh. Maunya apa sih?

“Bukannya kau tidak suka diperhatikan orang saat sedang makan? Dengan begini, aku tidak akan memperhatikanmu dan kau tidak akan merasa terganggu.”

“Terserah kau,” jawabku dengan nada datar sedikit ketus. Namun di dalam hati, diam-diam aku mengagumi perhatiannya.

Kuhabiskan burgerku dengan cepat lalu berkata, “Pindahlah duduk kesana. Kita makan kentang sama-sama.” Joongie menurut dan ia pun pindah duduk ke hadapanku.

Joongie menyeruput orange jusnya sambil sesekali mengambil kentang goreng, tetap dalam diam. Apa ia sebal dengan sikapku?

“Jadi?” Aku mencoba memulai pembicaraan.

“Apa?”

“Apa rencana kita hari ini?”

“Kau mau kemana?”

“Terserah padamu. Kau yang bawa motornya. Lagipula… maaf aku terlambat. Semalaman aku tidak bisa tidur.”

“Tidak bisa tidur karena memikirkanku?”

“Enak saja! Mana mungkin aku memikirkanmu? Tidak ada untungnya, tau?”

“Ayolah, mengaku saja…”

“Kau— Makan saja ini!” omelku sambil mengambil botol saos tomat dan menuangkannya banyak-banyak ke atas kentang goreng.

“Hei! Kau kan tahu aku tidak suka saos tomat!”

Aku menyeruput habis orange jusku lalu berkata, “Sudahlah, aku sudah kenyang. Kau juga kenyang, bukan? Ayo kita pergi!”

“Mau kemana?”

“Kubilang, terserah kau.”

“Oke, tuan putri. Ayo kita pergi.”

Aku duduk di belakangnya dan kembali memeluk pinggangnya erat-erat. Kupejamkan mataku, menikmati desiran angin yang menerpa. Aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Kami jarang berkencan di luar kampus. Ya, karena aku tidak cukup pintar mengarang alasan untuk menutupi kencanku dengan Joongie pada Appa dan Eomma. Selain itu… aku tidak yakin kami bisa terus bersama seperti ini. Bukankah Joongie lebih suka wanita yang lebih tua darinya?

Tiba-tiba laju motor perlahan-lahan melambat sampai akhirnya berhenti. Kubuka mataku. Apa kami sudah sampai?

“Aaaaah, bensinnya habis!” gerutu Joongie.

“Apa?” Kulihat keadaan sekitar. Kami berada di tepi jalan yang sepi. Di salah satu sisi jalan terdapat padang rumput yang luas sementara di sisi lainnya ada laut. Pantai!

“Tadinya aku ingin membawamu ke puncak bukit di sebelah sana. Tapi tahu-tahu bensinnya habis. Mianhe… Aku akan segera minta bantuan—”

“Tidak apa-apa. Aku suka pantai,” ucapku santai sambil berlari ke arah pantai yang begitu indah. “Aaaaah pantai!!!”

“YA! Kau ini seperti tidak pernah ke pantai saja. Malu tahu dilihat orang,” ujar Joongie sambil menyusulku.

“Siapa yang lihat? Cuma kau, kan? Aku memang tidak pernah ke pantai…” sahutku sambil melepas sepatu dan menghampiri ombak yang datang. Tapi…

“Kenapa, Aerin-ah? Kau takut ombak?”

“Aku… tidak bisa berenang,” ucapku pelan sambil kembali ke pasir yang kering dan duduk.

“Ayolah, masa kau hanya duduk saja? Bukankah kau belum pernah ke pantai?” Joongie menarik tanganku.

Aku sedikit enggan, tapi kurasa aku harus mencobanya. Kuikuti kemauan Joongie meski akhirnya aku masih berdiri di tepi pantai, menghindari ombak. Sedangkan Joongie sudah menerjang ombak dan mulai basah kuyup. Untung saja dompet dan HPnya sudah ditaruh bersama tasku di pasir kering. Kalau tidak, pasti HPnya sudah rusak.

“Aerin-ah~” Ia kembali menarikku lebih dekat pada ombak. Pegangan tangannya kuat sekali.

“Joongie, aku tidak ma— Akh!“

Kami jatuh bersama setelah diterjang ombak. Akhirnya pakaianku pun ikut basah.

“Kau tidak apa-apa?” Joongie bertanya khawatir.

“Hahaha, kau bodoh!”

“Aku bodoh? Kalau begitu kau lebih bodoh lagi, mau pacaran denganku.”

“Enak saja!”

“Jadi ombak itu tidak menyeramkan, bukan?”

“Tidak karena ada—“ Byur! Ombak sialan itu datang lagi, menerpa kami berdua sehingga kami berdua benar-benar basah kuyup seluruhnya.

Joongie membantuku berdiri. “Karena ada apa? Kau belum menyelesaikan ucapanmu.”

“Tidak ada apa-apa. Ayo cepat menghindar sebelum ombaknya datang lagi.” Karena ada kau, malaikat bodoh!

Akhirnya kami berdua bermain ombak. Berlari menyongsong ketika ombak akan datang, tapi langsung lari menghindar begitu ombak itu sampai di pantai. Aku tidak takut lagi. Aku yakin aku akan aman berada bersamanya. Ia pasti akan melindungiku, bukan? Ia kan, malaikatku…

Tanpa kami sadari, langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap…

Gelegar!

“AAAAAAAAAAAH!!!” teriakku begitu terdengar suara petir itu. Aku langsung berjongkok dan menutup kedua telingaku.

“Aerin-ah! Kau tidak apa-apa?” Joongie langsung menghampiri dan memelukku.

Gelegar! Suara itu datang lagi, disusul hujan rintik-rintik. Joongie membantuku berdiri, mengambil barang-barang kami dan berjalan menuju pohon terdekat. Pohon itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk melindungi kami dari hujan yang makin lama makin deras.

“Kau takut petir?”

Aku tidak menjawab. Suara petir menyambar yang tak kunjung henti membuatku makin meringkuk dan menutup telinga serta mataku. Joongie mengambil HPnya.
“Changmin-ah, bisakah kau segera kesini? Kami kehabisan bensin dan sekarang hujan deras. Bukan di bukit, tapi di pantai dekat bukit. Bisa? Baiklah. Gomawo.”

“Aku sudah menelepon Changmin. Ia akan datang sebentar lagi. Kau jangan takut, aku ada disini,” ujar Joongie sambil mempererat pelukannya. Pelukan yang membuatku teringat pada tindakannya yang menolongku saat hampir terjepit tahun lalu. Ketika aku begitu terpesona pada dirinya. Tuhan, meski petir tak berhenti sekalipun, aku rela terus seperti ini!

Kami terus diam seperti ini sampai suara petir berhenti. Hanya tersisa hujan yang masih cukup deras. Kedua tangan Joongie memegang wajahku. Aduh, kurasa wajahku sudah merah sekarang…

“Kau tidak apa-apa? Petirnya sudah berhenti. Sekarang sudah aman.”

“Ya, aku tidak apa-apa,” sahutku sedikit kikuk sambil menegakkan badan. “Gomawo Joongie-ah.”

Joongie tidak menjawab, tapi malah menarik pundakku ke dalam dekapannya. “Aku hampir mati ketakutan melihatmu begitu histeris. Mianhe.. kencan hari ini begitu kacau gara-gara aku.”

“Berhentilah menyalahkan dirimu. Aku sangat senang hari ini. Tapi pasti aku terlihat begitu konyol. Takut pada ombak, takut petir.. kurasa malah aku yang merepotkanmu.”

“Baiklah. Tidak ada yang salah. Puas? Sebentar lagi Changmin datang dan kita bisa pulang.”

“Joongie-ah…”

“Apa? Apa kau sakit? Oh iya, pakaianmu basah. Jangan-jangan kau mulai flu?”

“Anio.. bukan itu. Aku hanya ingin bertanya. Bagaimana perasaanmu padaku setahun ini?”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku—“

“Dulu kau bilang kalau kau lebih tertarik pada wanita yang lebih tua. Lalu kau ingin mencoba pacaran dengan perempuan yang seumuran sehingga kau memilihku. Aku ingin menjernihkan masalah. Aku tidak ingin mejadi penghambat kebahagiaanmu. Jadi bila kau tidak suka padaku, kita—“

“Saranghae.”

“Benarkah—“

“Bagaimana dengan kau?”

Aku tidak mampu menjawab. Masa aku harus cerita kalau aku sudah menyukainya pada pandangan pertama? Pasti ia akan tertawa mendengarnya… Ya Tuhan, kenapa ia memejamkan matanya dan mulai mendekat? Apa ia mau menciumku? Tidak tidak tidak! Aku belum siap!

“Hujannya sudah berhenti!” sahutku tiba-tiba sambil melihat ke arah pantai.

Kulirik Joongie sekilas. Ia membuka matanya dan terlihat kesal. Tangannya menyentuh wajahku, mengarahkan pada posisi yang sesuai. Lalu ia kembali memejamkan matanya dan mendekat…

“Pelangi, Joongie! Ah indah sekali…”

“YA! Kau ini mau kucium atau tidak?” kali ini ia langsung menyentuhkan bibirnya dengan sedikit paksaan. Aku tidak mampu menolak lagi dan membalas ciumannya. Apa ini mimpi? Jiwaku seakan-akan terhisap begitu saja dalam ciuman ini. Malaikat kematian, apa kau benar-benar akan mencabut nyawaku?

Setelah selesai, kami saling mengalihkan pandangan dengan kikuk. Sama-sama menatap pelangi tipis yang terbentuk di ujung lautan. Sungguh indah…

“KIM JAEJOONG SARANGHAE!!!” teriakku tiba-tiba ke arah pantai sehingga suaranya bergema.

“PARK AERIN SARANGHAE!!!” balasnya.

“Hei, kau masih harus melewati orangtuaku. Mereka kan belum tahu hubungan kita.”

“Tenang saja, Joongie-mu ini pasti bisa diterima!”

Hahaha… Percaya diri sekali sih? “JOONGIE BODOH!!!”

“Eh apa-apaan kau mengataiku? AERIN JELEK!!!”

“JOONGIE USIL!!!”

“AERIN PENAKUT!!!”

“JOONGIE—“

“Tin tin!” suara klakson itu menghentikan teriakanku.

“Kalian mau terus saling mengejek dan tidak mau pulang?”

Akh, Changmin sudah datang rupanya. Ia datang membawa truk milik ayahnya. Sejak kapan dia disana?

“Changmin-ah, sejak kapan kau datang?”

“Baru saja. Sejak terdengar Joongie bodoh, jelek, usil dan penakut. Hahaha… kalian lucu sekali. Kok saling mengejek sih?”

Aku dan Joongie berpandangan, lalu sama-sama tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa kalian tertawa? Apa aku melewatkan sesuatu?”

“Tidak apa-apa, Changmin. Bagus sekali. Hahaha… Ayo kita segera pulang,” sahut Joongie sambil menepuk pundak Changmin, masih senyum-senyum sendiri.

“Tidakkah kalian ingin menceritakan sesuatu selain hujan dan kehabisan bensin?”

“TIDAK!” jawabku dan Joongie bersamaan.


FIN

Thursday, June 4, 2009

[4th Project] Runaway (On writing, 2nd Chapter)

=======================================================

Chapter 1: Women and Lust


“Drrt…drrt…”

“Uhm…, bunyi apa itu?”

“Sound of your trembling heart, chagiya~”

“Drrt…drrt…”

Ia melepaskan bibirnya dan bergeser ke samping. “Ponselmu, Chunnie-yah.”

Shit! Siapa sih yang berani menggangguku di saat seperti ini?! “Ah, paling hanya orang iseng. Our play has just started~” ucapku dengan nada menggoda, kembali mengecupkan bibirku menjelajahi wajahnya.

“Uhm…”

“Drrt…drrt…”

“Ayolah, angkat dulu biar tidak ada yang mengganggu lagi.” Ia kembali memalingkan wajahnya.

“Oke…oke. Tunggu sebentar. I’ll be back and continue our play.” sahutku malas sambil mengedipkan mata padanya.

“Ne…”

Kuraih ponselku di atas meja di samping tempat tidur. Mwo? Chagiya 2?

“Ada apa, yobo-yah? Ayo diangkat…”

“E-eh, i-iya.” Aku beranjak dari posisi dudukku, berjalan menjauh agar wanita ini tidak dapat mendengar percakapanku.

“Yobboseyo?”

“Chunnie-yah? Kau dimana? Kenapa terlambat?”

Terlambat? Oh. Kutepuk jidatku sendiri. Tanpa suara aku memberi isyarat pada wanita-ku, menunjuk ke arah kamar mandi. Sebaiknya aku ke kamar mandi saja agar lebih leluasa.

Kulanjutkan percakapanku. “Ah, chagiya, mianhe… Tiba-tiba aku ada urusan mendadak, jadi tidak bisa datang…” balasku dengan nada --sangat pura-pura-- menyesal.

“Begitukah? Hmm… kali ini kumaafkan. Tapi, sebagai gantinya, kau harus datang ke apartemenku malam ini.”

“Untuk menemanimu? Tentu saja… chagiya, aku sedang buru-buru. Sampai ketemu nanti malam ya.” Setelah berkata demikian, aku langsung menutup ponselku. Aku tidak mau berlama-lama di telepon sementara meninggalkan wanita-ku di ranjang.

“Siapa yang menelepon?” Ia bertanya saat aku kembali ke sisinya.

“Tidak penting kok… yang terpenting saat ini adalah kau, chagiya~” jawabku sambil mengecup bibirnya.

“Gombal.” sahutnya sambil menggelitik pinggangku.

“Ahaha… cukup, hentikan… Aku tidak tahan dengan kelitikanmu ini…” kutarik tangannya dari pinggangku, menyusunnya melingkari leherku. “Ayo kita lanjutkan… aku sudah tidak sabar lagi…” Lalu kami pun kembali tenggelam dalam permainan kami.


Namaku Park Yoochun. Tampan. Kaya. Tinggi. Postur tubuh proporsional. Menggoda. Pandai dalam hal bercinta. HOT. Itu hanya beberapa dari sekian banyak pujian yang terlontar dari mulut wanita-wanita yang pernah mengenalku. Ada pula yang berpendapat kalau aku ini gombal. Tapi aku tidak seperti itu. Aku hanya memuji wanita-ku dengan jujur. Aku sangat menghargai lawan jenisku. Dan pujian mereka kubalas dengan memuaskan hasrat mereka. Apa itu salah?

Sebagai putra tertua direktur perusahaan terbesar di Korea –bahkan telah diperhitungkan sebagai perusahaan tingkat atas di kawasan Asia, sejak SMA aku sudah mengenal banyak wanita. Aku tidak peduli kalau mereka hanya mengincar hartaku. Setiap wanita yang mendekatiku pasti kuhargai. Dengan cara yang telah kalian tebak tentunya. Aku playboy? Tentu tidak. Mereka yang mendatangiku. Mereka menggodaku dengan segala macam cara. Lalu akhirnya? Tentu saja aku tidak bisa berkata tidak.

Terlalu banyaknya wanita yang mendekatiku membuat otakku yang lemah dalam menghafal ini tidak dapat mengingat mereka satu per satu. Aku hanya cukup memanggil mereka ‘chagiya’, dan mereka sudah merasa puas. Entah sudah berapa ‘chagiya’-ku. Aku tidak menghitungnya –meskipun kuhitung sekalipun, tetap saja akan kulupakan.

Aku tidak bisa berhubungan dengan beberapa wanita dalam sekali waktu. Setelah mereka terpuaskan, aku akan meninggalkan mereka. Itu sudah menjadi ciri khasku –dan tidak ada seorang pun yang memprotesnya. Mereka sudah mengerti resiko dengan mendekatiku. Dan satu hal yang harus kau ingat, aku tidak pernah berbuat kesalahan sekalipun. Maksudku, aku tidak pernah menghamili wanita manapun. Aku sudah mengaturnya sedemikian rupa agar tidak berhubungan intim tanpa pengaman ataupun di saat wanita-ku sedang masa subur.

Tapi, tidak semua wanita-ku berpikiran sama. Memang sebagian besar menerima saat kutinggalkan. Sebagian lainnya cukup merepotkan. Ada yang tidak mau meninggalkanku. Ada yang tidak cepat puas dengan satu kali berhubungan. Ada pula yang pernah kutinggalkan, namun ia kembali mendekatiku lagi.

Aku juga tidak memilih-milih wanita. Aku akan melayani semuanya, dengan syarat mereka sudah cukup umur –dengan kata lain, umur 21 tahun ke atas. Dan tidak semuanya single. Banyak pula wanita yang sudah bersuami tetapi masih mendekatiku. Dan… 1 hal lagi. Aku tidak akan melayani wanita yang lebih tua daripada eommaku –kalau ia masih hidup, telah berumur 45 tahun.

Hari ini, aku akan mengakhiri hubungan dengan salah seorang wanita-ku. Tepat setelah permainan ini selesai. Ia telah memiliki suami, dan suaminya yang bertugas di luar negeri akan pulang malam ini. Lalu malam ini wanita-ku yang lain menginginkanku. Aku melupakan janjiku untuk bertemu dengannya siang ini, jadi aku terpaksa menuruti keinginannya meskipun aku sudah sangat lelah. Dan kuharap hubunganku dengannya juga akan berakhir.

Setiap hari aku mengisi kegiatanku seperti ini. Kurang kerjaan, kau pikir? Kenapa aku tidak membantu bisnis appaku? 2 kata sebagai jawaban: tidak perlu. Kenapa? Karena sejak awal aku memang tidak diharapkan menjadi penerus. Adikku, Yoohwan-lah yang akan menjadi penerus perusahaan. Ia selalu dibangga-banggakan appa. Dalam hal yang berbeda denganku, tentunya. Ia lebih pintar, lebih sopan, lebih berbudi pekerti, lebih… disayang.

Namun aku tidak peduli. Persetan dengan keluarga menyebalkan itu. Mereka semua munafik. Namun paling tidak aku diberi kebebasan untuk menjalani hidupku. Uang, mobil, kekuasaan, semua yang dimiliki keluargaku boleh kugunakan sebebas mungkin. Appa tidak marah. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak mempedulikanku. Atau, alasan yang lebih masuk akal, ia sama sekali tidak mengenalku. Yang kutebak dari sikapnya padaku, ia membebaskan aku menjalani kehidupan agar aku tidak mengganggu keluarga –yang terlihat— bahagia itu. Appa, eomma tiriku, dan Yoohwan. Posisiku di keluarga itu ibarat tanaman di halaman rumah. Dirawat, disiram, diberi pupuk hingga tumbuh subur. Namun bila kehadiranku mengganggu, aku akan dipangkas, bahkan akan dicabut hingga ke akar-akarnya. Terlebih semua itu dilakukan oleh tukang kebun. Bukan oleh keluarga itu. Mereka sama sekali tidak memandangku. Aku tidak terlihat.


=======================================================

Chapter 2: Red Ocean


“Hmm…” Kubuka mataku perlahan. Mataku melirik jam kecil yang terletak di atas meja di sampingku. Jam 7. Lalu kuraih ponselku, melihat catatan yang kusimpan di dalamnya mengenai jadwalku. Jadwal berikutnya jam 11. Masih cukup lama, namun aku ingin ke gym dulu untuk merenggangkan otot-ototku.

Aku bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai bersiap-siap, aku menghampiri wanita-ku yang masih terlelap dan berbisik pelan, “Gomawoyo, chagiya~”. Kutinggalkan pula pesan singkatku di secarik kertas, lalu kuletakkan di atas meja. Aku melangkah keluar apartemen tanpa menyadari ‘mantanku’ mulai meneteskan air matanya dalam diam.


***


“Drrt…drrt…” ponselku bergetar. Kumatikan treadmill yang kupakai, lalu kulihat nama penelepon di layar ponselku. Telepon dari Rick.

“Wat’s up, man?”

“Hey, Mike. Are you free tonight?” Mike –kependekan dari Micky— adalah nama baratku.

“Tonight? Wait for a minute. I’ll check it first,” Lalu kubuka jadwalku di ponsel. “I’m free.”

“Good. Will you come with us? We’ll go to the pub.”

“Okay. When?”

“9 o’clock. Don’t be late, buddy.”

“Of course. See ya.”

“See ya” Setelah mendengar jawaban ini, kututup ponselku. Senyuman mengembang di wajahku. Malam ini aku akan bersenang-senang.


***


Hingar bingar suara musik yang [bigno]akkan telinga memenuhi ruangan pub ini. Aku berjalan menuju bar sambil sesekali membalas lirikan wanita-wanita yang menyadari kedatanganku. Di bar, mereka telah menunggu: Rick –kependekan dari Ricky— dan David. Aku mengenal mereka saat aku berada di Amerika.

“Wat’s up bro?” sapa Rick saat aku datang, lalu mereka bergantian memberi high five padaku.

Aku duduk di kursi kosong di sebelah Rick. “Red Ocean.” sahutku pada bartender. Red Ocean adalah minuman favoritku, campuran red wine, brandy dan tequila.

“As usual.” balasnya.

Aku menghela nafas setelah meneguk minumanku.

“Hard life, isn’t it?” sahut Rick.

“Yeah..”

“You should stop your activity, Mike.” David membuka suaranya. Serempak aku dan Rick menoleh ke arah David.

“Yeah, he’s right.” Rick menyetujuinya, lalu ia berbalik menatapku.

“But, you know… I can’t. They are so precious. I can’t live without them.” Aku kembali menegak minumanku.

“Uhm.., okay. We go here on purpose, don’t we? Let’s have fun. Forget our problems,” Ia memutar kursinya. “It’s time to enjoy the girls.” Sekarang Rick telah pergi bersama seorang wanita menuju dance floor, meninggalkan David dan aku.

“Wanna dance?” ajak David.

Kugelengkan kepalaku pelan. “I prefer to stay here for awhile.”

Dan kini tinggal aku sendirian di bar itu sementara kedua sahabatku bersenang-senang di lantai dansa.
Aku sedang meminta tambahan minuman saat seorang gadis duduk di sebelahku. Wajahnya tampak asing. Aku tidak pernah melihatnya disini. Sepertinya ia baru pertama kali kesini.

Aku sedang menyesap minumanku saat bartender bertanya, “Pesan apa?” pada gadis itu. Tidak ada jawaban. Bartender mengulang pertanyaannya.

“Ngg… jus?” jawab gadis itu terbata-bata.

Aku berusaha keras menahan tawaku. Aneh sekali. Pesan jus di pub?

“Tidak ada jus disini,” ujar bartender dengan sabar. “Mungkin kau mau pesan yang lain? Tequila, wine, brandy, atau bir, misalnya?”

“Kalau minuman itu?” Ia menunjuk minumanku.

“Red Ocean?” Bartender itu kembali bertanya, memastikan.

“Ya. Itu saja.”

Aku menahan senyumku. Apa gadis ini sudah biasa minum alkohol? Ataukah… ia sudah gila?

Setelah pesanannya datang, pelan-pelan gadis itu meminumnya. Jelas-jelas terlihat kalau ia tidak biasa minum. Aku hanya memperhatikannya sesekali dari sudut mataku, khawatir kalau ia sudah mabuk.

Benar saja, setelah ia selesai menghabiskan minumannya, badannya oleng ke arahku dan ia pasti sudah jatuh dari kursinya bila tidak kutahan.

“Sepertinya kau harus mengantarnya pulang.” kata bartender itu.

Sambil menahan badan gadis itu, aku mengambil dompetku dan memberikan kartu kreditku pada bartender. “Aku juga bayar minumannya.”
Setelah kartu kreditku kembali, aku melingkarkan sebelah tangan gadis itu ke leherku dan memapahnya keluar pub, membawanya ke mobilku. Rick dan David hanya tersenyum saat aku melambaikan tanganku pada mereka, memberi isyarat kalau aku pulang duluan.

Setelah mendudukkan gadis itu di kursi penumpang, aku mencoba menyadarkannya. “Hei, dimana rumahmu?” Hanya terdengar ocehan-ocehan yang tidak jelas –sepertinya ia mengigau. Kuputuskan untuk mencari kartu identitasnya dengan merogoh celananya –ia bahkan tidak membawa tas— namun tetap tidak menemukan apapun selain beberapa lembar uang. Tidak ada petunjuk mengenai siapa dirinya dan ia tinggal dimana. Terpaksa harus kubawa ke hotel, menunggu sampai ia sadar baru mengantarnya pulang.

Sesampainya di kamar hotel, kubaringkan ia ke tempat tidur, lalu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat aku keluar dari kamar mandi, ia kembali mengigau. Kali ini igauannya terdengar lebih jelas.

“Kau jahat… jahat…kenapa…aku mencintaimu…” Suaranya makin tidak jelas. Tanpa sebab ia mulai meneteskan air mata. Lalu ia menggeliat, sepertinya merasa tidak nyaman. “Ugh.., panas sekali…” Sedetik kemudian, ia melepas blusnya tanpa ragu dan kembali mengigau.

Aku menelan ludah melihat tubuh yang mulus dan begitu sempurna itu. Entah akibat efek minuman tadi ataukah aku memang sudah gila, beberapa detik berikutnya aku sudah menyambar tubuh mungil itu.


To Be Continued...

Tuesday, May 5, 2009

[3rd Project] Keyword

*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-1st Chapter-


-Musim panas 2006-

“Kriiiiing!!!” suara alarm itu membangunkanku. Aku merenggangkan kedua tanganku, berusaha menghilangkan rasa kantuk sambil sesekali menguap malas. Aku pun beranjak ke kamar mandi yang terletak persis di sebelah kanan kamar tidurku, menyikat gigi dan mengguyur tubuhku dengan air dingin sehingga badanku terasa lebih segar. Lalu aku berjingkat ke kamar tidur, mengambil beberapa pakaian dan mengenakannya. Kukepang rambut panjangku menjadi satu jalinan di belakang, tak lupa menyematkan pita putih di ujungnya. Setelah merasa penampilanku cukup enak dipandang, aku keluar menuju dapur dan mengambil sepotong roti. Kulihat eomma sedang sibuk dengan adonan-adonannya. Tak ingin mengganggu kesibukannya, aku hanya merangkul lehernya sejenak, mengambil bungkusan besar yang telah disiapkannya di tepi dapur lalu bergegas keluar.

“Dae Ahn! Kau melupakan notesmu!” teriakan eomma menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan dan melihat ia menghampiriku dengan tangan kiri mengacungkan sebuah notes sementara tangan kanannya masih memegang centong adonan. Ia menyelipkan notes itu ke saku celanaku.

“Eomma akan menyusul nanti siang. Selamat jalan!” ia melambaikan tangan kirinya –karena tangan kanannya masih memegang centong- ke arahku, dan aku membalas melambaikan tanganku, berbalik lalu berjalan ke sebuah taman di dekat rumah.

Namaku Seo Dae Ahn. Umurku 20 tahun. Delapan tahun yang lalu, aku dan appa mengalami kecelakaan pesawat. Aku berhasil selamat tanpa luka yang berarti, namun sayangnya appaku tidak. Ia meninggal. Sejak saat itu aku tidak hentinya menyalahkan diriku sendiri karena nyawaku bisa selamat karena appa melindungiku. Sepeninggalan appa, keadaan ekonomi keluargaku memburuk. Eomma bekerja keras membiayaiku sampai aku lulus SMA. Setelah lulus SMA, aku enggan melanjutkan ke universitas agar tidak membebaninya. Sekarang, aku dan eomma hidup berdua dengan penghasilan pas-pasan. Eomma bekerja paruh waktu sementara aku membuka sebuah kios es krim kecil di taman.

Sesampainya di taman, aku membuka kunci pintu masuk kios dan meletakkan bungkusanku –ya, isinya pasti kotak-kotak es krim- di dalamnya. Lalu aku membuka penutup depannya –tempat penjualan es krim- dan mulai membersihkan kiosku dari guguran daun kering yang berasal dari pohon besar yang menaunginya.

Kios es krimku berukuran sangat kecil, hanya 1x2 meter. Dinding luarnya berwarna putih sementara dinding bagian dalamnya berwarna pink pudar, warna kesukaanku. Di bagian depan tergantung papan berukuran sedang dengan tulisan “Seo’s Garden Ice Cream” yang menimbulkan bunyi berderak lembut setiap kali angin berhembus. Ada pula kertas menu yang tertempel di dinding bagian luar, menampilkan 4 macam es krim beserta harganya.

Sekarang baru pukul delapan. Beberapa orang terlihat lalu-lalang di taman, sebagian besar anak-anak. Matahari cukup cerah hari ini, dan hal itu berarti es krimku pasti akan habis terjual. Seorang perempuan yang mungkin umurnya tidak jauh beda denganku datang menghampiri kiosku setelah tangannya ditarik oleh seorang anak kecil berumur kira-kira tiga tahun, sepertinya anak itu adalah anaknya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Ia menggendong anak itu agar si anak bisa memilih es krim jenis apa yang ia inginkan. Setelah si anak terlihat yakin dengan pilihannya, perempuan itu melihatku. “Satu es krim stroberi-vanila.” kata perempuan itu. Aku menganggukkan kepala, lalu mengambil cone es krim, membuka kotak es krimku dan menaruh satu scoop es krim ke atas cone-nya. Setelah itu, aku memberikan es krim itu pada si perempuan –yang langsung ia berikan pada si anak- dan menerima selembar uang dari perempuan itu. Aku pun mengambil kembalian dari saku celanaku dan menyerahkannya kepada perempuan itu. Tak lupa aku menyunggingkan senyuman sebagai tanda terima kasih. Begitulah caraku melayani pembeli.

Matahari sudah meninggi. Rupanya sudah jam dua belas siang. Persediaan es krimku sudah hampir habis, sementara eomma belum datang membawakan persediaan es krim baru. Aku duduk di dalam kios -merasa sedikit gerah- melihat beberapa anak laki-laki bermain sepak bola di tanah lapang tak jauh dari kiosku sambil sesekali melayani beberapa pembeli. Tak lama kemudian, seorang pria dengan postur tubuh cukup tinggi, mengenakan jaket kulit coklat dan beanie di kepalanya terlihat bergabung dalam permainan itu. Aku sering melihatnya di taman, bermain sepak bola bersama anak-anak. Ia terlihat sangat menikmati permainan dan sepertinya ia menyukai anak kecil, sama sepertiku.

Setelah kira-kira satu jam, sengatan matahari membuat permainan itu berhenti. Semua pemain berbaring di tanah berumput itu selama beberapa saat sembari pria itu bercanda dengan anak-anak. Lalu anak-anak pun bubar, masing-masing sudah dipanggil orang tuanya. Pria itu pun berdiri, meraih tas ranselnya yang tergeletak begitu saja di tepi lapangan, membukanya, dan terlihat syok saat mengangkat botol minumnya. Sepertinya air minumnya sudah habis. Lalu ia melihat ke sekeliling, matanya seperti sedang mencari sesuatu. Pada akhirnya pandangannya berhenti ke arahku, maksudku ke arah kiosku. Ia pun berjalan ke arah kiosku, sepertinya ia akan membeli es krim. Menyadarinya, aku pun melihat persediaan es krimku. Ternyata masih cukup untuk tiga es krim lagi. Aku menunggu kedatangannya sambil pura-pura mengalihkan pandangan dengan kikuk.

“Onnie, aku mau es krim coklat.” suara itu memecahkan ke-kikuk-anku.

“Aku mau yang vanilla.”

“Stroberi!!”

Ternyata tiga orang anak kecil menghampiri kiosku selagi aku menunggu kedatangan pria itu. Aku tersenyum manis dan mengangguk pada tiga anak itu, lalu menyiapkan es krim sesuai pesanan. Saat aku memberikan es krim yang sudah jadi pada anak-anak, aku melihat pria itu sudah berdiri di belakang anak-anak, menanti giliran.

Setelah anak-anak itu pergi, pria itu pun maju, melihat daftar es krim dengan serius.

“Es krim vanilla-coklat!” ujarnya sembari tersenyum.

Dengan menyesal, aku mengambil notes di saku celanaku yang diselipkan eomma disana lalu menulis “Maaf, es krimnya sudah habis.” lalu menunjukkannya pada pria itu.

Membaca tulisanku, ia langsung terlihat kecewa dan badannya lemas.

“Aish,, kenapa aku sial sekali!” ia mengumpat dengan suara kecil sambil menunduk lemas, lalu melepaskan jaketnya.

Aku menepuk pundaknya sampai ia melihat ke arahku, lalu aku memberi isyarat untuk menunggu sebentar. Aku mengambil sebuah gelas, mengisinya dengan air lalu menyodorkan gelas itu padanya.

“Ini untukku?”

Aku menganggukkan kepalaku.

“Gomawo.” sahutnya cepat sambil meneguk air di dalam gelas itu sampai habis.

Melihat airnya habis, aku kembali menyentuh tangannya dan memberi isyarat apakah ia mau air lagi.

“Ya, kalau kau tidak keberatan…”

Aku meraih gelas di tangannya, mengisinya kembali dengan air, lalu memberikannya kembali pada pria itu. Ia menegak airnya sampai habis, terlihat puas. Aku kembali bertanya apakah ia mau tambah air lagi, namun ia menggelengkan kepalanya.

“Sudah cukup. Rasa hausku sudah hilang. Berkat kau, aku tidak jadi kena dehidrasi.” Aku tertawa mendengarnya, begitu pula dengan dia.

“Hei… apa kau..,, bisu?” pria itu bertanya dengan ragu-ragu.

Aku mengangguk perlahan. Ya, ada satu hal yang belum kusebutkan tadi. Kecelakaan empat tahun lalu tidak hanya merenggut appaku, tetapi juga membuat pita suaraku rusak sehingga aku tidak bisa mengeluarkan suaraku sejak saat itu.

Pria itu terdiam selama beberapa saat, terlihat menyesal dengan pertanyaannya tadi. “Ngomong-ngomong, siapa namamu?” akhirnya ia melanjutkan bertanya padaku. Aku menuliskan sesuatu di notes, lalu menunjukkan padanya.

“Seo Dae Ahn… nama yang bagus. Kau ingin tahu namaku? Namaku..,, err..,, Kim Junsu.” Jawabnya dengan volume suara yang makin mengecil, seperti berbisik. Sepertinya ia tidak ingin orang lain mendengar bagian terakhir dari jawabannya.

Ya Tuhan... ternyata pria itu adalah Kim Junsu, salah seorang personil Dong Bang Shin Ki! Tangan Junsu-oppa menutupi mulutku, seakan-akan mencegahku berteriak seperti yang akan dilakukan oleh fansnya, sambil melihat ke arah kiri dan kanan dengan was-was. Sadar akan tindakannya yang sia-sia –aku kan tidak bisa bersuara-, ia pun menarik kembali tangannya dengan kikuk.

“Ehm..,, sori. Aku..,, aku..,, tolong rahasiakan ya. Aku tidak ingin terjadi keributan disini.”

Aku tersenyum, lalu menulis di notes “tenang saja, suaraku tidak akan terdengar orang lain.”

Ia tertawa, begitu pula denganku. Sekilas ia mengeluarkan tawa khasnya, “ue kyang-kyang”, lalu ia mendekap mulutnya berusaha berhenti tertawa agar orang lain tidak mengenalinya melalui tawa khas-nya, namun akhirnya ia tetap tertawa dengan suara yang kecil.

Setelah itu, eomma datang membawa persediaan es krim. Junsu-oppa membungkuk singkat melihat eomma, lalu kembali tersenyum padaku. Aku menawarinya es krim –yang tidak sempat ia dapatkan-, namun ia menolak. Ia pamit pulang karena ia sudah dicari-cari manajernya. Eomma terlihat bingung melihat Junsu-oppa tertawa bersamaku –sebelumnya aku jarang berteman dengan orang lain-, namun ia tidak bertanya apa-apa melihat senyuman di wajahku. Eomma pasti ikut senang karena aku sudah menemukan seorang teman.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-2nd Chapter-


Keesokan harinya, saat bangun tidur, badanku terasa sangat lemas. Melihat wajahku yang pucat pasi, eomma menyuruhku beristirahat di rumah sehingga kios es krim hanya bisa dibuka setengah hari -dari sekitar jam satu siang sampai jam lima sore- karena eomma bekerja paruh waktu sejak pagi hingga siang.

Aku menunggu sendirian di rumah dengan bosan. Selama beberapa jam aku mencoba tidur, namun cahaya matahari yang masuk lewat jendela –menandakan cuaca hari ini secerah kemarin- membuatku tidak bisa tidur. Pikiranku malah dipenuhi oleh keinginan untuk bertemu dia. Seorang penyanyi terkenal yang menyukai anak-anak dan hobi bermain sepak bola, Kim Junsu. Sekitar jam dua belas, eomma pulang sebentar untuk mengambil kotak es krim dan menyiapkan makanan untukku. Aku sangat ingin keluar rumah, namun lagi-lagi eomma melarangku. Ia selalu khawatir berlebihan setiap kali aku sakit.

Setelah eomma pergi, aku berganti pakaian dan pergi ke taman, tentu saja aku menjauh dari kiosku agar tidak ketahuan eomma. Aku memperhatikan lapangan rumput disana. Akhirnya aku melihatnya. Seperti biasa, ia bermain sepak bola bersama anak-anak dengan akrabnya. Setelah permainan selesai, aku beranjak ingin menyapanya namun langkahku terhenti melihat Junsu-oppa berjalan ke arah kiosku. Ia membeli es krim, lalu mengobrol dengan eomma. Aku melihat mereka dari kejauhan, berharap dapat mendengar pembicaraan mereka, namun hal itu jelas sangat sulit. Sesekali aku hanya bisa mendengar suara tawa Junsu-oppa yang khas, yang setiap kali disadarinya ia akan tiba-tiba berhenti tertawa dan melihat ke sekeliling dengan was-was, seperti yang dilakukannya kemarin.

Aku memperhatikan mereka selama beberapa jam sebelum memutuskan untuk pulang. Eomma tidak boleh tahu kalau aku keluar rumah, jadi sesampainya di rumah aku langsung mengganti pakaianku dengan pakaian yang tadi pagi kugunakan lalu mencoba tidur. Kali ini aku benar-benar bisa tidur karena keinginanku sudah terpenuhi.

Aku terus tertidur lelap hingga terasa sentuhan lembut tangan eomma di keningku. Aku pun terbangun, menarik badanku hingga kini badanku bersandar pada bantal.

“Kau sudah baikan?” suaranya terdengar khawatir. Aku mengangguk mantap. “Kalau begitu, bangunlah. Eomma akan menyiapkan makan malam.” Setelah eomma keluar, aku pun menyusul keluar menuju kamar mandi.


***


“Tadi temanmu itu…, siapa namanya? Kim Junho? Ya, Kim Junho. Ia datang ke kios untuk membeli es krim. Kelihatannya ia pria yang baik. Tadi eomma sempat berbincang-bincang dengannya.” Aku tetap menyantap makan malamku tanpa memberi respon atas perkataan eomma, namun telingaku masih mendengarkan dengan seksama. Rupanya Junsu-oppa menyamarkan namanya.

“Ia menanyakan keberadaanmu dan terlihat khawatir saat eomma mengatakan kalau kau sedang tidak enak badan. Kelihatannya ia ingin tahu lebih banyak tentangmu, jadi eomma tadi bercerita tentang keluarga kita.” Aku menghentikan makanku saat mendengarnya. Bagus, sekarang ia sudah tahu semuanya dan ia akan merasa simpati padaku, seperti yang dilakukan teman-temanku saat mengetahui kondisi keluargaku. Selera makanku hilang. Aku pun berdiri, menyudahi makan malamku, lalu aku berjalan cepat menuju kamarku, masuk lalu menutup pintu, tanpa menghiraukan tatapan bingung eomma saat melihat tingkahku ini.

Aku duduk bersandar di balik pintu, menyesali semuanya. Menyesali pertemuanku dengan Junsu-oppa. Menyesali kondisi badanku pagi tadi. Menyesal, seperti yang selalu kurasakan setiap kali aku merasa menemukan seorang teman.

Setelah kecelakaan delapan tahun silam, sikap teman-teman dan guruku berubah. Mereka selalu menunjukkan sikap simpati padaku, yang selalu mengingatkanku pada kejadian mengerikan itu, dimana pesawat yang kutumpangi tiba-tiba hilang kendali lalu meluncur dengan liar kembali ke landasan. Saat aku sadar, pemandangan yang terlihat hanyalah kepulan asap yang menyesakkan dada dan appaku memelukku seakan-akan melindungiku, dan ia sudah tidak bernyawa… Aku mencoba berteriak, menangis meraung-raung melihat hal itu, namun tenggorokanku terasa sakit dan tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Hanya air mataku yang terus mengalir, namun air mata itu kemudian berhenti mengalir, menyisakan duka dan rasa bersalah yang mendalam di lubuk hatiku.

Luka hati inilah yang membuatku memilih untuk menyendiri, menampik segala simpati yang diberikan semua orang. Setiap kali aku menemukan seorang teman, aku selalu merasa takut untuk menceritakan mengenai keluargaku, takut ia akan bersikap sama seperti teman-temanku yang lain.

Kali ini, hal yang sama kembali terulang. Junsu-oppa yang sudah kuharapkan akan menjadi temanku telah mengetahui semuanya. Ia akan bersikap simpati padaku, mengasihani aku, dan akan over-protektif terhadapku, seperti orang lain. Kini harapanku untuk mendapatkan seorang teman sudah hilang. Mungkin aku tidak akan memiliki teman selamanya. Tidak akan pernah.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-3rd Chapter-


Hari ini aku membuka kiosku dengan malas. Tadinya aku berharap hujan turun hari ini sehingga Junsu-oppa tidak datang, tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Hari ini matahari bersinar cerah, sedikit berawan. Sepertinya akan turun hujan. Namun setelah aku menunggu awan hujan datang sampai jam dua belas siang, awan tidak kunjung datang. Malah sebaliknya, matahari bersinar cerah disertai hembusan angin sepoi-sepoi yang akan mengundang siapapun untuk bermain di taman.

Pengunjung taman memang terlihat lebih banyak dari biasanya. Ternyata situasi ini memberi keuntungan bagiku. Selain es krimku laris manis, Junsu-oppa juga tidak datang. Sepertinya ia tidak akan berani berkeliaran di taman seperti biasa dengan keramaian seperti ini.

Pukul tiga sore, taman sudah terlihat sepi. Eomma bekerja full time hari ini karena ada pekerja lain yang tidak masuk, jadi eomma hanya datang sebentar membawakan stok es krim lalu ia pergi kembali bekerja. Suhu yang meningkat siang tadi memang menguntungkan bagiku. Semua es krimku sudah habis, jadi kuputuskan untuk pulang lebih awal. Namun, ketika sedang sibuk membereskan kotak es krim, aku dikejutkan oleh suara di belakangku.

“Annyeong!”

Aku mengenali suara itu. Suara Junsu-oppa. Aku mengacuhkannya, tetap menyibukkan diri dengan kotak es krimku.

“Annyeong!!” ia menyapa dengan lebih keras sambil membalik pundakku.

Aku mencoba tersenyum, meski sebenarnya aku tidak ingin melihatnya lagi.

“Oh, oke..,, Sepertinya kau sedang sibuk. Ada yang bisa kubantu?”

Kalimat simpati itu terdengar. Lagi. Kalimat yang selalu kudengar dari setiap orang yang telah mengetahui tentang keluargaku. Aku sudah muak mendengarnya. Namun –lagi-lagi- aku berusaha keras untuk tetap tersenyum, lalu menggelengkan kepalaku.

“Baiklah.” Ekspresinya terlihat kecewa, setelah itu ia menghilang dari pandanganku. Aku menghela nafas, lalu kembali menyibukkan diri dengan kiosku.

Akhirnya semuanya beres. Aku sudah melangkah keluar dari kios sambil membawa bungkusan kotak es krim ketika aku melihat ia sedang duduk di bangku taman yang terletak persis di sebelah kiosku. Kedua matanya melihat ke arah lapangan, sepertinya ia tidak menyadari keberadaanku. Aku merasa sedikit bersalah dengan sikap acuhku tadi, jadi aku pun menghampirinya lalu duduk di sebelahnya. Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum, aku membalasnya dengan senyuman yang kupaksakan.

“Hari ini cerah sekali. Cocok untuk bermain sepak bola.” ia mengawali pembicaraan. Aku memandang langit. Matahari sore masih bersinar meskipun sesekali terhalang awan. Kupasang telingaku baik-baik, menanti pembuktian teoriku. Ia pasti akan berlaku sama seperti yang lain.

“Omo… ahjumma menceritakan sesuatu padaku kemarin. Apakah itu... benar?”

Baik. Teoriku benar. Mulai sekarang ia akan terus-menerus mengingatkanku pada kenangan itu. Sebaiknya aku tidak berteman dengan siapapun. Tidak dengannya, tidak dengan siapapun. Aku tidak merespon pertanyaannya. Kutundukkan kepalaku, membiarkan rambutku yang tidak kuikat hari itu berjatuhan dan menutupi wajahku, tidak ingin memperlihatkan ekspresiku saat ini. Kurasakan wajahku memanas, penglihatanku mulai kabur tertutupi oleh air mata yang tertahan di pelupuk mata.

“Yah… Terkadang hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita.” ia melanjutkan tanpa melihat ke arahku. “Yang lalu biarkanlah berlalu. Kita harus tetap melanjutkan hidup.”

Aku berdiri, berjalan pergi tanpa membawa bungkusanku. Kuusap wajahku, menghapus air mata yang sudah menetes. Tiba-tiba kurasakan tanganku ditarik dari belakang, menghentikan langkahku.

“Kau kenapa?”

Aku membalikkan badanku sepenuhnya, menatap kedua matanya dengan penuh kebencian, lalu kuputar lenganku sampai genggaman tangannya terlepas. Aku segera berlari meninggalkannya sendirian. Samar-samar aku mendengarnya memanggil namaku, namun kakiku terus berlari tanpa mengacuhkannya. Aku muak dengan semua ini.


***


Hari semakin gelap. Kakiku membawaku tanpa arah. Aku terus berlari, berlari dan berlari. Hujan rintik-rintik tiba-tiba turun, lama-lama semakin deras. Aku menyadarinya dan segera berlari mencari tempat berlindung. Lalu kakiku tersandung pembatas jalan. Aku terjatuh. Kurasakan nyeri di lututku, terlihat darah keluar dari luka lecet itu. Aku berjalan tertatih-tatih menuju emperan toko terdekat. Disana aku melipat kakiku, mendekapnya sambil terus-menerus menangis.

Sebuah SM7 berhenti di hadapanku, mengeluarkan bunyi berdecit.. Kudengar suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang. Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, seakan-akan pemiliknya berjalan ke arahku. Selang beberapa detik kemudian kurasakan sebuah jaket kulit diletakkan di pundakku. Aku mengangkat kepala dan terlihat wajah seseorang yang tidak ingin kutemui, Junsu-oppa.

“Dae Ahn! Ada apa dengan lututmu?” aku tidak menjawabnya sementara ia mengeluarkan sapu tangannya untuk membersihkan luka lecetku. “Ayo, kuantar kau pulang.” ujarnya singkat sambil mengangkat kedua bahuku, lalu menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Aku menurut, berjalan sambil menahan rasa pedih di lututku. Tenagaku sudah tidak tersisa lagi untuk melakukan perlawanan terhadapnya.

Di dalam mobil, kami tidak berbicara satu sama lain. Ia mengemudi dengan gelisah sambil sesekali melihatku dengan khawatir –kupastikan ia hanya menghawatirkan luka di kakiku- sementara aku menatap ke luar, tidak menangis lagi. Mataku sudah kehilangan daya untuk mengeluarkan air mata.

Setelah beberapa menit penuh keheningan, aku tersadarkan oleh sentuhan lembut tangannya di pundakku. Ternyata kami sudah sampai di depan rumahku. Sepertinya ia tahu alamatku dari eomma. Aku melepas jaketnya lalu beranjak keluar dari mobil. Sesaat aku melihat ekspresinya yang sedikit terkejut sambil memperhatikan rumahku yang pasti jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rumahnya. Aku tidak peduli lagi. Aku segera melangkah menuju pintu rumahku dengan sedikit terpincang. Ia menghampiriku, ingin membantuku berjalan namun kutepis tangannya dan tetap melanjutkan langkahku..

“Dae Ahn..” suara itu menghentikanku. Aku memilih mendengarkan tanpa melihatnya lagi.

“Cheongmal mianhe.” sahutnya singkat. Aku terpaku selama beberapa detik, lalu kuteruskan langkahku, masuk ke rumah dan membanting pintu.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-4th Chapter-


“Dae Ahn, apa yang terjadi padamu? Ayo, keluarlah. Tidak biasanya kau begini. Ayo ceritakan pada eomma. Apa kau sakit?” kata eomma sambil mengetuk pintu kamarku yang terkunci. Sejak semalam, aku mengurung diriku di dalam kamar. Pikiranku lagi-lagi dipenuhi oleh mimpi buruk. Mimpi yang tidak pernah kuinginkan. Selama aku tidur, berulang kali aku terbangun sambil menangis, hingga akhirnya mataku tetap terjaga, takut menghadapi kenangan pahit yang selalu berulang di dalam mimpiku.

Akhirnya aku merobek selembar halaman notesku dan menulis, “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit tidak enak badan.” Lalu menyelipkan kertas itu melalui celah di bawah pintu agar dibaca oleh Eomma.

“Kalau begitu, istirahat saja di rumah. Biar eomma yang menjaga kios.” jawab eomma lembut, lalu suaranya tidak terdengar lagi.

Setelah itu, selama beberapa hari aku tidak keluar rumah selangkah pun. Eomma menggantikanku membuka kios, tetapi hal itu berarti penghasilan kami berkurang karena jam buka kios menjadi lebih singkat. Aku merasa kasihan pada eomma dan sangat ingin kembali membantunya, namun ketika membayangkan bahwa aku akan bertemu dengan Junsu-oppa bila aku kembali ke kios menciutkan keinginanku. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin melupakan dia, dan kuharap dia juga akan melupakan aku. Biarlah hubungan kami kembali seperti semula: dua orang yang asing satu sama lain, seorang penjual es krim dan seorang penyanyi terkenal.

Aku sedang menyiapkan makan malam –eomma bekerja lembur malam ini- ketika kudengar suara ketukan di pintu rumahku. Aku membukanya, dan kulihat pria yang paling tidak ingin kutemui. Kali ini ia hanya menggunakan kacamata untuk menyamarkan penampilannya. Aku mencoba menutup pintu, namun terdengar teriakan kesakitan saat usaha menutup pintuku tidak berhasil. Rupanya Junsu-oppa menyelipkan tangannya di pintu untuk menghalangi tindakanku. Akhirnya aku kembali membuka pintu, menatap marah padanya agar ia pergi. Ia mengibas-ngibaskan tangan kanannya dan meringis kesakitan. Aku sedikit merasa bersalah padanya karena telah menjepit tangannya, tetapi aku tetap tidak ingin melihatnya sehingga kembali menutup pintuku.

“Dae Ahn.. Kumohon, izinkan aku masuk. Sebentar~ saja.” ia memohon padaku dengan nada memelas. Oke, kubukakan pintuku untuknya dan membiarkannya masuk.

Ia melangkah masuk ke rumahku yang kecil ini. Aku berjalan menuju dapur untuk mengambilkan minum untuknya, membiarkan ia melihat isi rumahku. Rumahku memang berukuran kecil, rumah yang mampu disewa oleh penghasilan kecil eomma. Ruang tamu yang berisi satu set sofa lapuk hanya seluas 2,5x3 meter, langsung terhubung dengan ruang makan dengan dua kursi dan meja kecil di antaranya. Di sebelah kiri meja makan, terletak dapur mungil kami. Sedangkan di dinding sebelah kanan dapur terdapat pintu menuju halaman belakang, tempat menjemur pakaian. Di sebelah kanan terdapat lorong menuju dua kamar tidur dan kamar mandi. Ruang gerak yang tidak terlalu besar dan langit-langit rumah yang tidak terlalu tinggi membuat rumahku selalu terasa hangat meskipun sedang musim dingin.

Aku membawa secangkir teh ke ruang tamu lalu meletakkan gelas itu di mejanya. Junsu-oppa melihatku, lalu duduk di sofa. Aku pun duduk di hadapannya, memperhatikannya meneguk tehku. Kuambil notesku dari saku celanaku dan menulis, “Sudah puas melihat rumahku? Sampaikanlah apa yang ingin kau katakan, setelah selesai segeralah pulang.”

“T-tunggu.., kenapa sikapmu berubah seperti ini? Apakah kau masih marah padaku?”

Aku membalas menulis, “Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Pulanglah.” Lalu aku berdiri, membukakan pintu rumahku untuknya.

Junsu-oppa melepaskan pegangan tanganku dari pintu, lalu menutupnya. “Kalau aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu, ceritakanlah. Aku tidak mungkin tahu dengan sendirinya bila kau tidak mengatakan apa pun.”

Aku menghela nafas, menurut saat ia menuntunku kembali duduk. Ia juga kembali duduk, menatapku, menanti reaksiku. Setelah beberapa menit, akhirnya aku memutuskan untuk menceritakannya. Kuambil notesku, lalu kutuliskan semua hal yang memenuhi pikiranku. Aku menceritakan semuanya, dari kejadian delapan tahun lalu, perubahan sikap teman-temanku sampai keinginanku untuk melupakan Junsu-oppa. Semuanya kutulis sesingkat mungkin sementara Junsu-oppa menunggu dengan sabar. Setelah tulisanku selesai, kuberikan notes itu agar ia dapat membacanya.

Ia menurunkan posisi notes -menandakan bahwa ia sudah selesai membaca- lalu mengembalikan notes itu padaku. Ia tidak bereaksi. Pandangannya menerawang seakan-akan sedang berpikir. Keheningan terjadi selama beberapa menit yang panjang.

“Jadi, bagaimana caranya agar aku bisa menjadi temanmu? Perkataanku tempo hari sepertinya telah menyinggung perasaanmu. Sungguh, aku minta maaf.” sahutnya memecah keheningan sambil melepas kacamatanya.

Aku tidak merespon. Aku malah berdiri, berjalan menuju dapur lalu mengambil teko teh, kembali ke ruang tamu, mengisi cangkirnya yang sudah kosong, lalu kutinggalkan teko itu di meja tamu. Aku kembali duduk, memperhatikan wajahnya yang berlekuk sempurna, rambutnya yang tertata rapi khas artis. Sejenak mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandanganku namun masih memperhatikannya dari sudut mataku.

“Apa aku harus membantumu berjualan es krim? Apa aku harus menjadikan diriku sebagai umpan agar semua orang membeli es krimmu?” ia bertanya dengan nada yang cukup meyakinkan. Aku tertawa lalu menulis, “Oppa tidak akan berani.”

“Aku tidak mau terus-menerus menggunakan jaket dan beannie saat bermain sepak bola. Jaket itu membuatku berkeringat lebih banyak. Beannie itu juga membuat rambutku berantakan setiap kali aku melepasnya.” Lagi-lagi ia berbicara dengan nada meyakinkan.

Aku kembali tertawa. Ia juga ikut tertawa, dengan suara tawanya yang khas itu. Lalu ia tiba-tiba terdiam, melihat wajahku lekat-lekat.

“Nah, begitu lebih baik. Aku suka melihatmu tertawa.”

Aku mengulum senyum. Wajahku memanas saat mendengar perkataannya.

“Jadi.., apa aku sudah boleh menjadi temanmu?”

Aku hanya tersenyum, lalu kembali menulis, “Apa kau mau ikut makan malam? Kebetulan aku sedang menyiapkannya saat kau datang.”

Ia membalas dengan anggukan mantap.


***


Aku memperhatikannya makan dengan lahap. Syukurlah, masakanku sepertinya cukup dinikmati olehnya meskipun aku tahu hidangan ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan hidangan mewah yang biasa ia santap setiap hari.

“Masakanmu enak sekali.” ujarnya sambil menikmati makanannya.

Aku tersenyum senang. Lalu aku teringat sesuatu dan kembali menulis, “Apa tanganmu tidak apa-apa? Maafkan aku...”

Ia menghentikan makannya, memeriksa tangannya sendiri. “Tidak apa-apa. Rasa sakitnya sudah hilang. Untung saja tadi kau tidak menjepitnya keras-keras.”

Aku tersenyum malu, merasa bersalah atas sikapku padanya. Aku kembali menulis, “Kau sudah tahu segalanya tentang aku. Sekarang giliranmu, ceritakanlah segala sesuatu tentang dirimu. Aku tidak tahu tentangmu lebih jauh selain bahwa kau adalah anggota Dong Bang Shin Ki.”

“Oke. Kembalilah ke taman besok dan aku akan menemuimu di sana. Nanti aku akan menceritakannya.”

Aku kembali mengangguk, lalu melanjutkan makan malamku. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel dari arah Junsu-oppa.

“Yobboseyo? Ya, tunggu sebentar. Aku akan segera kesana.” Ia menutup ponselnya, lalu melihat ke arahku dengan tatapan menyesal. “Dae Ahn, mianhe. Aku harus pergi sekarang. Manajer sudah mencari-cariku. Uhm.., gomawo atas makanannya. Masakanmu sangat enak!” Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju ke arah pintu. Aku juga mengikutinya dari belakang, mengantar kepergiannya.

“Sampai bertemu besok, chingu!” teriak Junsu-oppa melalui jendela mobilnya sambil melambaikan tangannya. Aku membalas, menunggu hingga ia menghilang dari pandanganku lalu aku masuk kembali ke dalam rumah. Selama sisa hari itu, aku merasa sangat bersemangat, tidak sabar menantikan pertemuanku dengannya besok.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-5th Chapter-


Hari-hari berikutnya, aku kembali menjaga kiosku di taman –sesuai janjiku- dan selalu mendengar cerita Junsu-oppa. Ia sengaja memotong ceritanya menjadi beberapa bagian sehingga membuatku lebih penasaran. Ceritanya tentang orang tuanya, tentang saudara kembarnya Junho –dengan nama inilah Junsu-oppa memperkenalkan diri pada eomma-, masa training 6 tahunnya sebelum debut, tentang Jaejoong-sshi yang menjadi “eomma” Dong Bang Shin Ki, Yunho-sshi sang leader yang terkadang galak namun sangat perhatian, tentang Changmin-sshi yang merupakan saingan ketat Junsu-oppa dalam mendapatkan makanan –aku tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya-, tentang Yoochun-sshi teman terdekat Junsu-oppa yang agak playboy, hingga kesibukan yang harus Junsu-oppa jalani sebagai seorang anggota Dong Bang Shin Ki membuatku semakin mengenal dirinya. Sampai pada suatu hari, ia mengatakan sesuatu padaku.


***


“Dae Ahn, apa yang telah terjadi? Akhir-akhir ini kau menjadi lebih ceria dan bersemangat. Sejak kejadian waktu itu, kau tidak pernah terlihat sangat bahagia seperti yang terjadi sekarang.” eomma bertanya padaku saat kami sedang makan malam. Aku hanya tersenyum penuh rahasia padanya.

“Aah... pasti karena pria itu kan? Kim Junho?” tebak eomma.

Aku meraih notesku, lalu menulis, “Pria itu ingin mengajakku ke taman bermain besok siang.”

“Ke taman bermain? Arasseo. Kau boleh pergi. Tapi jangan pulang terlalu malam. Kim Junho... sepertinya eomma pernah mendengar nama itu. Ia memang pria yang baik.”

Aku tertegun. Sepertinya aku harus mengatakan hal yang sebenarnya pada eomma. Aku mengambil kembali notesku lalu menulis, “Nama pria itu Kim Junsu, bukan Kim Junho. Ia menyamarkan namanya agar tidak dikenali.”

Ekspresi eomma berubah saat membaca tulisanku. “Apa? Kim Junsu? Penyanyi terkenal itu? Tidak, Dae Ahn. Kau jangan berhubungan dengan kaum mereka. Nanti kau bisa terlibat masalah.”

Aku menatap eomma tidak percaya. Aku kembali menulis, “Tidak apa-apa, eomma. Junsu-oppa pasti akan melindungiku.”

Ia melempar kasar notesku ke meja setelah membacanya. “TIDAK BOLEH! Tidakkah kau menyadari status keluarga kita? Kita hanyalah golongan bawah yang berpenghasilan pas-pasan, sementara ia memiliki penghasilan yang berlimpah. Tidak, Dae Ahn. Kaum kita tidak sebanding dengannya!” tiba-tiba eomma memarahiku dengan suara keras.

Aku membalas dengan menulis, “Memangnya kenapa kalau dia orang kaya? Dia temanku, eomma. TEMANKU SATU-SATUNYA!” Setelah memberikan notesku pada eomma, aku berlari ke kamar, mengunci diriku. Air mataku kembali menetes. Aku kecewa dengan reaksi eomma. Eomma yang selama ini selalu baik, perhatian padaku, langsung berubah sikap hanya karena menyangkut perbedaan status? Tidak, bukan seperti itu figur eomma yang kukenal selama ini. Bukan seperti itu...

Terlintas di dalam benakku untuk melarikan diri. Aku tidak tahan dengan perubahan sikap eomma. Bagaimanapun, Junsu-oppa adalah satu-satunya orang yang mengerti diriku saat ini. Teman pertamaku setelah delapan tahun ini. Namun akhirnya aku menyadari, perkataan eomma ada benarnya. Mungkin aku memang tidak pantas berteman dengannya. Aku yang miskin, aku yang bisu, aku yang tidak istimewa, aku yang biasa-biasa saja, aku yang...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-6th Chapter-


Aku menjaga kios tanpa semangat sama sekali. Sepertinya hari ini akan berakhir dengan menyedihkan. Aku lebih berharap Junsu-oppa ada halangan dan dia sendiri yang membatalkan rencana hari ini, bukan aku yang membatalkannya. Aku tidak ingin melihatnya kecewa karena aku tahu ia pasti dengan susah payah menyisihkan waktu untuk pergi denganku di tengah kesibukannya.

Siangnya, eomma datang dan menemaniku menjaga kios. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang pria dengan topi pet dan kacamata hitam berjalan menghampiri kios. Aku tahu ia adalah Junsu-oppa, jadi aku keluar dari kios dan menghampirinya.

“Annyeong! Siap pergi hari ini?” tanyanya ceria sambil melepas kacamatanya. Aku hanya diam menatapnya sebentar, lalu menolehkan kepala untuk melihat reaksi eomma.

“Ada apa? Apakah kau belum siap?” Ia melihatku dengan bingung, lalu mengikuti arah pandanganku. Terlihat eomma berjalan mendekati kami. “Annyeong, ahjumma.” sapa Junsu-oppa sopan.

Eomma melihat wajahku. Dalam hati, aku masih berharap eomma mengizinkanku pergi. Tapi, pasti ia akan melarangku... “Kau boleh pergi, Dae Ahn.” sahut eomma singkat. Aku menatapnya tidak percaya. Eomma mengalihkan pandangannya ke arah Junsu-oppa yang terlihat bingung. “Annyeong, Junsu-sshi. Tolong jaga anakku.” katanya sambil membungkukkan badan.

Junsu-oppa menatapku dengan penuh kebingungan, lalu membalas eomma dengan membungkukkan badannya. “Arraseo. Aku pasti akan menjaganya.” jawab Junsu-oppa sambil menatap eomma, lalu tersenyum padaku.

Aku merasa sangat terkejut bercampur senang. Kupeluk eomma penuh terima kasih, lalu mencium pipinya dengan sayang. Eomma memang sangat baik. Aku menyesali ejekan jahatku pada eomma kemarin.

“Jadi.., siap pergi sekarang?” Junsu-oppa mengulangi pertanyaannya.

Aku melihat kembali pada eomma, kulihat ia mengangguk. Lalu aku menjawab Junsu-oppa dengan mengacungkan jempol kananku sambil tersenyum.


***


Suasana taman bermain tidak terlalu ramai karena langit terlihat agak berawan, sepertinya akan turun hujan. Namun aku tidak menghiraukannya dan bersenang-senang dengan Junsu-oppa menikmati berbagai wahana permainan. Selain mengenakan topi dan kacamata hitam, Junsu-oppa juga mengenakan jaket kulit yang agak lusuh agar tidak terlihat mencolok.

“Dae Ahn, ayo ikut aku!” ajak Junsu-oppa sambil menarik tanganku. Ia menarikku ke... bianglala! Aku menatapnya tidak mengerti. Bianglala kan tidak terlalu asyik. Hanya berputar dan naik hingga ke atas, apa asyiknya? Namun Junsu-oppa hanya tersenyum penuh rahasia ketika menyadari kebingunganku.

Setahuku, bianglala itu akan berputar pelan selama satu kali. Lalu putarannya akan berhenti selama tiga menit setiap salah satu kotak pengangkut pengunjung berada di posisi puncak lingkaran. Ada sekitar dua belas kotak pengangkut, jadi satu kali naik bianglala akan menghabiskan waktu lebih dari setengah jam.

Aku duduk berseberangan dengan Junsu-oppa di dalam kotak pengangkut. Aku memperhatikannya melihat ke arah luar dengan antusias. Di saat seperti ini, Junsu-oppa benar-benar terlihat seperti anak kecil. Dalam beberapa menit, kotak pengangkut yang kami naiki berhenti tepat di puncak bianglala.

“Dae Ahn, inilah yang ingin kutunjukkan padamu.” sahut Junsu-oppa sambil berpindah tempat duduk ke sebelahku. Tangannya menunjuk ke arah luar, lalu aku mengikuti tangannya. Disana, terlihat langit barat yang merona merah karena cahaya matahari yang mulai tenggelam. Indah sekali, benar-benar mengejutkanku. Aku tidak pernah berpikir kalau dari puncak bianglala ini dapat terlihat matahari terbenam. Junsu-oppa tersenyum, terlihat puas saat melihatku terpana.

“Selain itu, di atas sini juga dapat terasa angin yang sangat sejuk!” sahutnya sambil membuka jendela di sebelahnya. “Mwo? Kok tidak terasa angin sama sekali?” Aku tertawa melihat ekspresi bingungnya yang sangat lucu.

“Ah, mungkin angin bertiup dari arah sebaliknya.” Tangan Junsu-oppa terjulur melewati badanku, membuka jendela di sisi tempat dudukku.

“Whooosh!” angin langsung masuk dengan kencang. Aku menikmatinya sambil tertawa senang. Tiba- tiba terdengar suara teriakan Junsu-oppa. “Topiku!” aku berbalik, dan terlihat Junsu-oppa tanpa topinya mengulurkan tangan keluar jendela di sebelahnya seperti sedang menggapai sesuatu, sementara barang yang ia cari berada di luar, melayang-layang bebas di udara...

“Gawat..”


Kotak pengangkut kami sudah berada di bawah dan berhenti, menunggu kami keluar. Junsu-oppa menarikku bersamanya, mendekap badanku sambil menundukkan kepala. Kami berjalan cepat menuju pintu keluar, berharap tidak seorang pun dapat mengenalinya. Kami hanya perlu berjuang sampai keluar dari taman bermain, masuk ke mobil, lalu semua akan aman..

“Hei, bukankah itu Xiah Junsu??” terdengar suara perempuan di belakang kami setelah kami berjalan cepat melewatinya.

“Ya, benar! Rambut itu... tidak salah lagi!” suara yang lain terdengar.

Junsu-oppa mempercepat langkah, setengah berlari. Dengan susah payah aku mengikuti irama langkahnya. Di belakang kami, sayup-sayup terdengar suara yang meneriakkan nama Junsu-oppa, lama-kelamaan makin jelas. Tiba-tiba langkah Junsu-oppa berhenti. Ia berjalan mendahuluiku yang kelelahan, lalu menekuk kakinya membelakangiku.

“Ayo naik! Biar aku menggendongmu! Kita harus segera keluar dari tempat ini!” perintahnya sambil menoleh ke arahku. Mulanya aku enggan, namun akhirnya aku mendekap punggungnya, membiarkan ia memikulku sambil berlari sampai kami tiba di mobil.


***


Kami sudah sampai di rumahku. Hari sudah mulai gelap. Aku turun dari mobil, begitu pula dengan Junsu-oppa (ia tidak memakai SM7-nya, tetapi ia menggunakan mobil yang ia pinjam dari salah seorang staffnya).

“Maaf soal kejadian hari ini.” katanya dengan nada menyesal. “Kau tidak apa-apa kan?” tanyanya khawatir. Aku membalas dengan gelengan kepala. “Baiklah, sampai ketemu besok!” Ia masuk kembali ke mobilnya. Aku menunggu sampai mobilnya hilang dari hadapanku, lalu berjalan memasuki rumah.

Tiba-tiba terdengar telepon berdering. Aku tidak bisa menjawabnya, jadi aku berkeliling rumah mencari eomma. Sekarang sudah jam 7, seharusnya eomma sudah pulang. Namun eomma tidak terlihat di rumah. Dering telepon yang tidak berhenti itu membuat perasaanku sedikit tidak enak, jadi aku mengangkatnya.

“Yobboseyo? Selamat malam. Apakah ini rumah keluarga Seo?”

Aku tidak bisa menjawab apapun, jadi aku mengetuk gagang teleponnya untuk memberi isyarat jawabanku.

“Apa kau Seo Dae Ahn? Ini dari kantor polisi. Saya ingin memberitahukan bahwa telah terjadi kecelakaan...”


Aku berlari secepat mungkin menuju rumah sakit. Sesampainya disana, aku segera menuju resepsionis dan mengeluarkan notesku, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah. aku menulis dengan tergesa-gesa, “Di mana ibuku, Seo Shin Dae berada?”

Perawat itu mengangguk mengerti saat membaca tulisanku. “Mari, saya antar.”

Ia membawaku ke Unit Gawat Darurat. Aku melihat ke semua arah, mencari-cari sosok ibuku di antara dokter yang sedang melakukan tindakan penyelamatan, namun perawat itu berhenti di depan sebuah ranjang yang di atasnya berbaring sosok yang kaku, kain putih menutupi seluruh badannya...

Aku menatap perawat itu tidak percaya, namun ia hanya membungkukkan badan lalu meninggalkan aku di sana. Pelan-pelan aku berjalan mendekati sosok itu. Berharap semua ini hanya mimpi. Kedua tanganku bergerak perlahan menuju kain putih yang menutupinya, lalu menyibak kain itu hingga terlihat wajah orang yang paling kusayangi, kedua matanya terpejam dengan damai...

Dalam sekejap aku merasa dunia sudah runtuh. Aku menangis tersedu-sedu tanpa suara melihat wajah itu. Mencoba membangunkannya, kedua tanganku menyentuh kedua pundaknya dan menggerak-gerakkannya, berharap ia hanya tertidur dan akan terbangun karena usahaku.

“Nona, Anda jangan berbuat seperti ini...” terdengar suara seorang perawat dari belakang, lalu tangannya menarik badanku menjauh dari tempat itu. Merasa usahanya sia-sia, ia memanggil rekannya lalu sekarang terasa empat tangan menarik badanku yang bagaikan terkena magnet tidak mau menjauh dari tempat itu. Aku menangis meraung-raung, mencoba berteriak memanggilnya...

“...ma...eomma...” kata-kata itu keluar dari mulutku. Aku tidak puas. Aku ingin berteriak lebih keras agar eomma benar-benar terbangun. Namun tenggorokanku terasa sangat sakit. Aku terbatuk-batuk keras, menutup mulutku dengan tangan, namun saat kulepas tangan itu, terlihat noda darah di sana.. Setelah itu aku merasa pandanganku kabur, suara-suara perawat yang mencoba menenangkanku sudah tidak terdengar lagi...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-7th Chapter-


“Tadaima..!!” terdengar suara dari arah pintu.

“Okaeri...” jawabku malas sambil menonton televisi.

“Kalian ini.., kok bisa sebegitu cintanya pada Jepang? Seharusnya kita mencintai budaya negara kita sendiri, Korea.” omel eomma dari arah dapur.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar omelan eomma. Aku dan appa memang selalu menggunakan sapaan bahasa Jepang di rumah. Ya, karena aku dan appa sangat menyukai Jepang. Sedangkan eomma? Ia tidak menyukai cara kami dan selalu mengomel tiap kali aku dan appa menggunakan bahasa Jepang.

“Yorobun, coba tebak apa yang kudapat hari ini?” tanya appa penuh rahasia sambil tersenyum lebar di depanku.

“Appa, jangan berdiri disitu! Aku kan sedang menonton televisi.” omelku sambil berusaha mengusir appa dari depan televisi.

“Dae Ahn... kau jahat sekali pada appamu ini...” sahut appa pura-pura sedih.

“Memangnya apa yang kaudapat hari ini?” tanya eomma sambil membawa piring makanan ke meja makan.

“Tebak dulu! Sesuatu yang berhubungan dengan liburan.., sesuatu yang pasti akan sangat menyenangkan...” Lagi-lagi appa berkata dengan nada penuh rahasia.

Aku mencoba mengira-ngira. Yang berhubungan dengan liburan.., yang akan sangat menyenangkan... “Aku tahu! Appa dapat bonus dari kantor jadi kita sekeluarga bisa berlibur ke luar kota?”

“Salah! Lebih dari itu! Eomma, kau tidak mau menebaknya?” Appa menatap penuh harap pada eomma.

“Langsung saja katakan!” omel eomma lagi. Sepertinya ia sudah cukup capek melihat tingkah appa hari ini.

“Jreng...jreng...jreng...” Appa mengeluarkan tiga lembar kertas dari dalam saku kemejanya. “Tiga tiket liburan ke Jepang selama satu minggu!!”

“Haaah?! Ke Jepang?? Akhirnya...akhirnya kita bisa ke Jepang!!” teriakku senang sambil memeluk appa.

“Darimana kau dapatkan itu? Buang-buang uang saja...” terdengar omelan eomma lagi.

“Ini GRATIS! Aku menang undian berhadiah yang diadakan kantor! Akhirnya... Dae Ahn, kita akan...”

“Jalan-jalan ke Shibuya...” lanjutku.

“Pergi ke onsen...” appa mambalas.

“Ke Osaka...” aku menambahkan.

“Ke Hokkaido!” sorak aku dan appa bersamaan. Lalu kami berdua menari berputar-putar sambil bersorak-sorak gembira.

“Ssstt! Jangan berisik! Tidak enak terdengar tetangga, tahu!” lagi-lagi eomma mengomel.

Aku dan appa berhenti menari. “Apa eomma tidak senang?” tanyaku pura-pura kecewa.

“Iya.., kan kita sudah lama tidak liburan bersama-sama...” lanjut appa.

“Eomma tidak ikut.” sahut eomma serius.

“Hah?” aku dan appa benar-benar kecewa.

“Kenapa tidak mau ikut?” tanya appa berusaha membujuk.

“Ayolah eomma...” aku juga ikut membujuk.

“Tidak! Eomma tidak mau naik pesawat. Pesawat itu menyeramkan...Pokoknya eomma tidak akan ikut!” jawab eomma.

“Yaaaaah...” aku dan appa mendesah kecewa bersamaan.

Akhirnya, hanya aku dan appa yang pergi ke Jepang. Eomma hanya mengantar sampai bandara. Di dalam pesawat, jantungku tidak hentinya berdegup kencang, tidak sabar ingin secepatnya sampai di Jepang. Begitu pula dengan appa. Aku dan appa sedang sibuk melihat peta Jepang saat tiba-tiba terasa hentakan keras pada pesawat yang kami tumpangi, lampu darurat berkedap-kedip dan terdengar teriakan pramugari yang berusaha menenangkan penumpang...

~*~*~*~*~

Kubuka mataku dengan nafas terengah-engah. Mimpi itu kembali terulang. Aku masih berusaha mengatur nafasku ketika menyadari dimana aku berada sekarang.

“Nona tidak apa-apa?” suara itu mengejutkanku. Aku melihat ke arah sumber suara. Seorang perempuan berbaju putih menatapku dengan khawatir. Aku melihat ke sekeliling sejenak untuk menyadari bahwa aku berada di rumah sakit. Aku masih ingat ruangan ini. Ruangan yang terakhir kulihat. Dimana eomma terbaring kaku di dalamnya... Badanku tersentak bangun. Aku ingin mencari eomma. Pasti ia sudah bangun sekarang. Pasti ia akan khawatir melihatku berbaring di tempat ini, dengan selang infus menempel di tanganku...

“Nona, tenanglah.” Perempuan yang akhirnya kukenali sebagai perawat itu menenangkanku. Tangannya menahan badanku agar tidak bangkit. Aku terpaksa menurutinya. Badanku terasa sangat lemas.

“Sepertinya Anda harus istirahat lebih lama.” Kata perawat itu sambil mengambil sebuah suntikan, lalu menyuntikkannya di kantong infusku. “Tidurlah. Anda akan merasa lebih baik setelah bangun nanti.”

Aku mencoba melawan, namun rasa kantuk yang berat langsung menghalangiku. Mataku terasa sangat berat dan tidak mampu kuhalangi untuk terpejam. Tidak, aku tidak ingin tidur. Aku ingin menemui eomma...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-8th Chapter-


Kubuka kembali mataku. Badanku sudah terasa segar sekarang. Aku sedang mencoba mengangkat badanku ketika aku melihat seorang pria paruh baya berdiri di ujung ranjangku, sedang berbicara dengan dokter. Lalu ia menyadari aku sudah bangun dan berjalan mendekatiku.

“Annyeong haseyo. Kau sudah bangun? Sudah merasa baikan?” tanya ajjushi itu. Aku menatapnya asing dan bingung.

“Namaku Choi Jun Seuk.” katanya sambil membungkukkan badan. Aku membalas membungkukkan badanku dengan bingung.

Aku melihat notesku di samping bantal, kuambil dan menulis, “Kau siapa? Mana ibuku?”

Ia menatapku dengan sedih setelah membaca tulisanku. “Maafkan aku.., akulah yang membuat ibumu meninggal..”

Emosiku bangkit setelah mendengar kata-katanya. Aku langsung bangun, memukulinya dengan segenap kekuatanku tanpa menghiraukan selang infus yang mengganggu. Ia hanya diam menerima pukulan dariku. Setelah beberapa menit, aku merosot ke lantai, menangis terisak. Ia mencoba membantuku bangkit, namun kutampis tangannya. Jangan ganggu aku. Aku hanya ingin sendiri.. Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang, pandangan mataku kabur dan aku kembali kehilangan kesadaranku.


***


Setelah aku membuka mata, aku merasa pikiranku kosong. Hanya suara itu yang menyadarkan aku. “Dae Ahn, kau tidak apa-apa?” terdengar suara yang kukenal. Aku berusaha fokus pada penglihatanku. Junsu-oppa melihatku dengan khawatir. Aku melihat ke sekeliling dan menyadari aku berada di rumah sakit. Di dekatku hanya ada Junsu-oppa dan seorang ajjushi yang memperhatikanku.

“Setelah mendengar berita itu pagi ini, aku segera ke rumah sakit. Maaf, aku terlambat.” kata Junsu-oppa terlihat menyesal.

Junsu-oppa datang ke rumah sakit setelah mendengar berita ‘itu’? Apa berita yang ia maksud? Aku melihat notesku terjatuh di lantai dan mengulurkan tangan menggapainya, namun Junsu-oppa sudah membantuku meraihnya. Aku pun menulis, “Berita apa?”. Belum sempat kuserahkan notesku pada Junsu-oppa, terdengar suara ribut-ribut di luar.

“Aish, ternyata mereka mengikutiku sampai kesini.” kata Junsu-oppa terlihat kesal, lalu ia membaca tulisanku.

“Berita? Itu..., sebenarnya...” ucap Junsu-oppa terbata-bata. Jelas-jelas ia terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Aku menatapnya, menunggu kelanjutan kata-katanya.

“Kemarin saat di taman hiburan, ternyata ada yang mengambil foto kita. Foto itu dikirim ke media massa, sehingga dengan cepat menyebar gosip tentang kita berdua. Ketika aku sedang mencari kau untuk melindungimu dari para wartawan, aku malah mendengar bahwa kau sedang berada di rumah sakit karena ahjumma..meninggal.” nada terakhir kata-katanya sebenarnya menyatakan pernyataan, namun aku menganggapnya sebagai pertanyaan sehingga aku menulis, ”Eomma meninggal? Jangan sembarangan bicara, oppa. Eomma sedang menungguku di rumah. Kenapa aku berada disini? Aku harus segera pulang. Ia pasti khawatir.”

Selagi Junsu-oppa membaca tulisanku, aku mencoba bangun. Namun ajjushi tadi menahanku. Aku menatapnya bingung. Siapa dia?

“Err.., kau ingin pulang? Tunggulah sebentar. Aku akan meminta Chunnie membawakan pakaian ganti untukmu,” ujar Junsu-oppa saat melihatku ingin bangkit. “Tunggu sebentar, aku menelepon Chunnie dulu di luar.” lanjutnya. Lalu ia berjalan keluar ruangan. Oke, aku akan menunggu. Paling tidak aku harus terlihat cantik saat pulang. Aku tidak ingin membuat eomma khawatir.


***


Aku berhasil masuk ke mobil Junsu-oppa setelah melewati serangan wartawan. Kini aku sudah terlihat rapi berkat pakaian yang diberikan oleh Yoochun-oppa. Aku menyiapkan kata-kata pembelaan yang akan kukatakan pada eomma nanti. Tinggal satu belokan lagi menuju rumah saat Junsu-oppa menghentikan mobilnya. Ia melihat kesal ke arah jalan rumahku. Aku ikut memperhatikan, terlihat beberapa mobil terparkir di sekitar rumah dan jalan itu terlihat ramai. Mungkin tetanggaku sedang mengadakan pesta.

“Dae Ahn, kau tidak bisa pulang ke rumah. Tinggallah sementara denganku.”

Aku mengangguk setuju. Junsu-oppa tidak mungkin memperlihatkan diri di depan keramaian. Aku tidak ingin terjadi keributan di depan rumahku. Tapi eomma bagaimana? Aku pun menulis, “Bagaimana eomma? Ia pasti khawatir kalau aku tidak pulang ke rumah.”

Junsu-oppa tertegun membaca tulisanku. Ia berpikir beberapa saat sampai akhirnya berkata, “Aku akan menyuruh salah seorang staff untuk menjelaskan semuanya pada ahjumma.” Lalu ia memutar mobilnya.


***


Junsu-oppa membawaku ke sebuah apartemen di pusat kota Seoul. Dari luar, aku sudah melihat takjub akan tingginya gedung itu. Ia membawaku ke lantai 5.

“Ini apartemen keluargaku,” kata Junsu-oppa sambil memasukkan kunci pintu. “Setiap ke Seoul, mereka akan menginap di sini. Untuk beberapa minggu, apartemen ini kosong jadi kau bisa tinggal disini untuk sementara. Kau akan aman disini.”

Aku melangkah masuk ke dalam apartemen. Seperti dugaanku, apartemen ini sangat luas, bahkan lebih besar dari rumahku. Ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur berukuran besar, dua kamar tidur dengan toilet di masing-masing kamar. Sangat mirip dengan rumahku delapan tahun lalu. Yang menjadi perbedaan adalah pemandangan jendelanya. Aku menatap keluar jendela. Terlihat gedung-gedung tinggi dan kesibukan kota Seoul yang padat.

Junsu-oppa tersenyum melihatku. Aku menyukai tempat ini. Kuharap eomma bisa tinggal bersamaku disini.

“Kau suka tempat ini? Di kulkas ada bahan makanan. Pakai saja kalau kau mau. Aku ada sedikit urusan. Apa kau tidak apa-apa bila kutinggalkan sendirian?” suaranya terdengar khawatir. Aku mengangguk mantap. “Aku tidak akan lama. Sambil menungguku, kau bisa menonton TV.” Ia mengambil remote dari meja di depan TV, lalu menyalakannya.

“Kemarin sore personil Dong Bang Shin Ki, Xiah Junsu, terlihat berada di taman bermain M sekitar pukul setengah tujuh malam bersama seorang wanita. Hubungan antara keduanya masih merupakan misteri karena pihak SM Entertainment menolak memberikan penjelasan. Xiah Junsu sendiri terakhir muncul di Rumah Sakit S pagi ini. Ia memasuki rumah sakit dengan tergesa-gesa, sepertinya ingin menjenguk salah seorang kerabatnya. Namun saat keluar dari tempat tersebut, ia bersama seorang wanita yang diperkirakan sama dengan wanita yang terlihat bersamanya di taman bermain. Kami mencoba mencari tahu tentang wanita itu dan kami menemukan bahwa wanita itu adalah seorang penjual es krim di taman J. Ia bisu dan tidak punya kerabat karena ayah dan ibunya, keluarga satu-satunya sudah meninggal. Ayahnya meninggal delapan tahun silam dalam sebuah kecelakaan pesawat, sedangkan ibunya baru saja meninggal kemarin malam setelah ia mengalami sebuah kecelakaan...”

Junsu-oppa mematikan TV. Kalimat terakhir yang kudengar terngiang-ngiang di kepalaku. Aku langsung mengambil notesku dan menulis, “Eomma meninggal? itu bohong kan? Oppa bilang eomma baik-baik saja. Aku akan pulang ke rumah!”

Segera setelah Junsu-oppa memegang notesku, aku langsung berlari keluar, memencet tombol lift dengan tidak sabar. Setelah aku sampai di bawah, aku mulai berlari tanpa tahu arah. Aku hanya bisa berharap jalan yang kupilih ini memang menuju ke rumahku. Setelah sekian lama berlari, aku mulai mengenali jalan. Aku berlari semakin kencang sampai akhirnya sampai di depan rumahku. Aku mencoba membuka pintu, namun pintu itu terkunci. Aku mengetuk pintu dengan keras agar eomma mendengarku. Aku mengintip ke dalam melalui jendela, tidak terlihat siapapun di dalam. Pasti eomma sedang tidur. Jadi aku berlari menuju jendela kamar eomma lalu kembali mengetuknya dengan keras agar eomma mendengarnya, tetapi masih tidak ada respon. Lalu aku ingat kalau eomma sering lupa mengunci pintu belakang, jadi aku kembali berlari menuju pintu belakang dan mencoba membukanya. Bingo! Pintu itu memang tidak terkunci. Aku menghambur masuk dan mencari-cari eomma. Di kamar eomma, di kamarku, di kamar mandi, tapi aku tetap tidak menemukannya. Bahkan keadaan rumah masih sama persis seperti terakhir kulihat kemarin pagi. Dimana eomma? Dimana ibuku?

“Dae Ahn!” Aku tersenyum, lalu menoleh ke arah suara, berharap itu eomma. Tapi ternyata itu suara Junsu-oppa. Aku melihat kedatangannya dengan kecewa, lalu aku kembali mencari eomma di tiap sudut rumah.

Tiba-tiba aku merasakan tangan hangat Junsu-oppa mendekapku dari belakang. “Dae Ahn.., maafkan aku telah membohongimu. Ahjumma, ibumu, sudah meninggal. ia tertabrak mobil saat sedang berjalan pulang ke rumah kemarin..”

Tidak! Tidak mungkin! Eomma tidak mungkin meninggal! Junsu-oppa bohong! Aku ingin meneriakkan kata-kata itu, namun tidak mungkin. Aku membalikkan badan, berontak dari dekapan Junsu-oppa sambil memukulinya. Setelah tenagaku habis, Junsu-oppa memelukku. Badanku terasa sangat lemas, kesadaranku kembali hilang...


***


Sentuhan hangat di keningku menarikku dari dunia yang gelap ini. Aku membuka mata, kulihat wajah lelah Junsu-oppa menatapku dengan sangat khawatir.

“Kau sudah bangun?”

Aku tidak menjawab. Pikiranku terasa kosong.

“Apa kau lapar? Aku sudah membuatkan bubur untukmu. Tunggu sebentar.” sahut Junsu-oppa dengan nada menenangkan, lalu ia keluar dari kamar.

Serpihan kenangan mulai mengisi pikiranku. Aku tersentak bangun. Kenapa aku berada disini? Aku harus pergi..., aku harus mencari eomma...

Aku menjejakkan kaki di lantai untuk berdiri, namun tiba-tiba telapak kakiku terasa sakit. Aku kembali duduk di ranjang, menatap ke pecahan kaca di sekitar kakiku. Sepertinya aku sudah membuat sebuah gelas jatuh saat aku bangun tadi.

Sebuah rencana tersusun dengan cepat di otakku. Aku meraih pecahan kaca yang paling besar dan paling tajam, lalu...

“Dae Ahn, suara apa itu? Apa kau...”

... kuiris pergelangan tangan kananku sedalam mungkin yang kubisa. Aku tersenyum senang ketika melihat cairan merah itu mengalir deras dari tanganku. Lalu aku berbaring, menuruti rasa kantuk yang tiba-tiba datang tanpa menghiraukan teriakan panik yang bergema di telingaku. Appa.., eomma.., aku datang.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-9th Chapter-


Duniaku yang semula berwarna putih tanpa ujung perlahan-lahan berubah. Terdengar suara hiruk-pikuk dan suara pengumuman yang khas, terlihat papan-papan yang menunjukkan jam keberangkatan. Rupanya aku berada di bandara.

“Dae Ahn, kenapa kau bengong?” suara yang telah lama tidak kudengar memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara. Di hadapanku, sekitar lima meter jauhnya, appa dan eomma melihatku dengan tidak sabar sambil menjinjing beberapa koper.

“Appa..” Aku terkejut. Mulutku mengeluarkan suaranya lagi! Aku menyentuh tenggorokanku, memastikan tidak ada rasa sakit yang menghambat suaraku.

“Tunggu apalagi? Pesawat sudah hampir berangkat!” Eomma berteriak memanggilku.

Aku segera berlari menghampirinya, namun suara appa menghentikan langkahku. “Kopernya, Dae Ahn! Jangan kau tinggal!” Aku melihat kembali ke tempatku berdiri tadi. Ternyata ada dua buah koper lain disana.

“Ayo cepat, Dae Ahn!” eomma kembali berteriak. Aku kembali mengambil koper yang (sepertinya) kutinggalkan, lalu menghampiri appa dan eomma yang sudah berjalan jauh di depan.

Akhirnya kami sampai di pintu keberangkatan. “Sini kopernya.” kata appa sambil mengambil alih pegangan koper di tanganku. Eomma juga mengambil koper yang lain.

“Sampai jumpa, nak.” sahut appa sambil berjalan mundur menuju pintu keberangkatan.

“Tunggu, aku ikut...” aku ikut melangkah masuk, namun seorang penjaga menahanku.

“Tidak, kau tidak boleh ikut! Tidak untuk saat ini.” kata eomma dengan nada omelan yang kurindukan.

“Tidak!!! Jangan tinggalkan aku!!!” aku berteriak sekeras mungkin saat mereka berdua mulai menghilang di balik pintu.


*~*~*


Aku memandang aneh pada ruangan redup ini. Hanya ada satu lampu kecil yang bersinar dari atas kepalaku. Aku menarik nafas dengan berat, merasa sedikit terganggu dengan sentuhan sesuatu yang menutupi hidung dan mulutku. Kucoba mengeluarkan suara, namun yang terdengar hanyalah desahan semata dan hal ini menjadi bukti bahwa aku kembali ke dunia nyata.

Teringat akan hal terakhir yang kulakukan, aku mencoba menggerakkan tangan yang telah menjadi korban ketidakwarasanku. Tidak berhasil. Bahkan aku tidak dapat merasakan tangan itu. Kuulangi tindakan yang sama pada tanganku yang lain. Bagus, tangan kiriku masih berfungsi meskipun sedikit terasa sakit karena beberapa jarum infus yang menusuknya. Aku mengangkatnya, mencoba meraba tangan kananku. Namun tangan itu malah bersentuhan dengan sesuatu yang terasa seperti... rambut.

“Hmm...” terdengar suara yang kukenal, pemilik rambut itu. Ia mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata yang mengantuk. Ternyata Junsu-oppa tertidur di sampingku.

Aku mendesah, kembali menatap langit-langit ruangan itu.

“Bagaimana perasaanmu?” ia berkata sembari menegakkan badan. “Tidurlah lagi. Kau harus banyak istirahat setelah melewati operasi yang panjang...” suara Junsu-oppa tidak terdengar lagi. Ia kembali tertidur. Aku menatap kosong pada langit-langit, merasa sedikit kesal karena aku tidak mati. Lama-kelamaan mataku terasa berat, membuatku kembali tidur.


***


Suara kicauan burung membangunkanku. Aku membuka mata. Cahaya matahari yang hangat memasuki kamarku melalui celah-celah kisi jendela. Aku melihat ke sisi kananku. Ternyata Junsu-oppa masih tidur. Aku mendengar suara pintu dibuka dan seorang perawat muncul dari balik tirai.

“Selamat pagi! Anda sudah sadar rupanya.” sapa perawat itu sambil memeriksa 2 kantong infus yang digantung di sebuah tiang di sebelah kiriku. Salah satu kantong berisi cairan bening, sedangkan kantong lainnya berisi cairan merah pekat yang kuyakini sebagai darah.

“Selamat pagi.” Suara sapaan perawat sepertinya telah membangunkan Junsu-oppa. Ia balas menyapa sambil merenggangkan kedua tangannya. Wajahnya benar-benar terlihat lelah.

“Baiklah, karena Anda sudah sadar, saya akan memanggil dokter.” Perawat itu pun keluar dari kamar. Samar-samar aku melihat wajahnya merah padam.

Junsu-oppa menatapku dengan khawatir. “Dae Ahn, tolong jangan ulangi perbuatanmu ini. Aku hampir mati terkejut saat melihatmu mengiris tanganmu sendiri. Aku langsung menggendongmu yang sudah tidak sadarkan diri dan membawamu ke rumah sakit. Kau hampir mati kehabisan darah.” Ia menggenggam tanganku yang diperban tebal, ada noda kuning oranye di perban itu. “Aku lebih terkejut saat dokter bilang ada urat saraf di pergelangan tanganmu yang terputus. Jadi kau langsung dibawa ke ruang operasi untuk menyambung saraf tanganmu itu.”

Aku terdiam mendengar ceritanya. Aku sungguh-sungguh menyesalkan kegagalanku. Aku tidak ingin hidup lagi. Appa dan eomma sudah tidak ada. Sekarang aku sebatang kara...

“Jangan pernah merasa sendirian, Dae Ahn. Meskipun kedua orangtuamu sudah meninggal, kau masih punya aku, temanmu...” Ia mengecup tanganku yang tidak bisa kurasakan itu.

Air mataku tidak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala kesedihanku sementara Junsu-oppa terus menghiburku dengan berkata, “Jangan menangis lagi...”


***


“Annyeong, Junsu-sshi.” Suara itu mengejutkan kami. Rupanya dokter sudah datang. Junsu-oppa berdiri, membungkuk singkat padanya lalu ia berdiri menjauh.

“Annyeong, Dae Ahn-sshi.” Sapa dokter itu padaku. Aku mencoba mengangkat badanku untuk membalasnya, namun tangannya menghentikanku. “Ah, tidak usah terlalu sungkan. Anda berbaring saja.” Aku kembali merebahkan badanku, lalu tersenyum singkat padanya.

Ia memperhatikan sebuah papan yang ia bawa, lalu berkata, “Beberapa saraf di pergelangan tangan Anda terputus dan kami sudah berusaha keras menyambungnya. Namun kita tidak bisa terlalu berharap pada hasil yang positif...”

“Maksud dokter? Apakah ia tidak akan bisa menggunakan tangannya lagi?” potong Junsu-oppa.

“Saya tidak bisa memutuskan seperti itu. Setelah lukanya sembuh, ia harus melatih tangannya agar bisa digunakan seperti semula.”

“Jadi masih ada harapan akan kesembuhan total?”

“Ya, hal itu bisa terjadi bila Dae Ahn-sshi juga berusaha melatih tangannya untuk mengembalikan fungsinya.” Ia kembali menatapku. “Sepertinya Anda telah mengalami kejadian yang menyedihkan. Tapi, sayangilah nyawa Anda. Pikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang menyayangi Anda bila Anda meninggal karena bunuh diri.”

Aku menoleh ke arah Junsu-oppa. Ia duduk di sofa di sudut ruangan, kepalanya menunduk. Aku merasa bersalah padanya. Aku sudah terlalu banyak merepotkannya dengan segala masalahku.

“Baiklah. Selamat beristirahat. Saya akan datang siang nanti untuk memantau kondisi Anda.” dokter itu membungkukkan badan singkat, lalu ia pergi keluar.

Aku mencari-cari notesku dan kutemukan tergeletak di meja di samping tempat tidurku. Aku ingin mengambilnya, ingin menuliskan permintaan maafku pada Junsu-oppa yang telah banyak membantuku. Menyadari tangan kananku tidak bisa kugunakan, aku mencoba mengangkat tangan kiriku dengan susah payah. Namun rasa sakit yang terasa setiap aku menggerakkan tangan kiriku menghentikan gerakanku.

“Ada apa? Apa kau ingin kuambilkan sesuatu?”

Aku menatap mata Junsu-oppa sekilas, lalu mengalihkan pandanganku ke arah notesku di atas meja, berharap Junsu-oppa mengerti maksudku.

“Kau ingin menuliskan sesuatu?” Ia mengambil notesku. “Tapi, sepertinya kau tidak bisa menulis.” Meskipun ia berkata seperti itu, ia tetap memberikan notes itu ke dalam genggaman tangan kiriku.

Aku menatap kedua tanganku dengan kesal. Kenapa keduanya tidak bisa kupakai saat ini? Akhirnya aku terpaksa mengembalikan notes itu, lalu menggelengkan kepalaku, memberi isyarat bahwa aku mengurungkan niatku.

Aku melihat sekilas ke arah jendela. Matahari bersinar cerah hari ini, seperti hari-hari dimana aku pertama kali bertemu dengan Junsu-oppa di taman. Aku pun memejamkan mataku, mencoba tidur. Kuharap di dalam mimpiku, aku berdiri di dalam kiosku sambil memandang ke arah lapangan, ke arah Junsu-oppa yang asyik bermain disana, dimana semuanya baik-baik saja.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-10th Chapter-


Dalam beberapa hari, perlahan-lahan kondisiku mulai membaik. Luka di telapak kakiku –karena menginjak pecahan gelas- sudah sembuh, jadi aku sudah diperbolehkan berjalan-jalan sendiri tanpa bantuan kursi roda. Namun aku belum diperbolehkan pulang sebelum luka di tanganku sembuh total. Dokter bilang, bisa terjadi pendarahan sewaktu-waktu bila aku menggerakkannya sembarangan sebelum lukanya menutup sempurna.

Matahari bersinar cerah hari ini meskipun sedikit berawan. Seperti biasa, cuaca seperti ini menggodaku untuk menikmatinya di taman rumah sakit. Hari ini Junsu-oppa ada pekerjaan di Jepang, jadi aku memutuskan pergi ke taman sendirian.

Aku berjalan perlahan sambil menyeret tiang infusku dengan tangan kiri sementara tangan kananku tergantung di dalam balutan kain yang dilingkarkan ke leherku. Tangan kananku lumpuh dari pergelangan tangan sampai ujung jari, jadi sekarang aku harus belajar menulis dengan tangan kiri.

Di taman, aku duduk di sebuah bangku yang berada di tengah. Kuhirup udara segar sedalam mungkin sambil tersenyum senang. Paling tidak, nyawaku yang telah kembali memberiku kesempatan untuk menikmati udara segar seperti ini. Aku memandangi taman itu, menikmati beberapa penghuni rumah sakit yang berada disana didampingi oleh perawat maupun oleh kerabatnya, menganggapnya sama seperti pemandangan yang biasa kulihat di taman es krimku.

Aku mendengar suara percakapan yang makin lama makin jelas di belakangku. Aku menoleh sekilas, rupanya dua orang perawat baru saja duduk di bangku yang berada persis di belakangku namun saling bertolak-belakang. Tanpa sengaja aku mendengar percakapan mereka. Awalnya mereka membahas tentang kesibukan mereka sebagai perawat, namun tiba-tiba mereka berganti topik saat sedang membahas tentang pasien-pasien rumah sakit.

“Apa kau masih ingat gosip tentang Junsu-sshi beberapa waktu lalu?”

“Aaaah.., tentu saja masih ingat. Ia digosipkan sedang pacaran dengan seorang perempuan kan?”

“Ya! Dan perempuan itu hanya seorang penjual es krim! Aish, mereka sungguh tidak cocok.”

“Aku setuju! Seorang personil Dong Bang Shin Ki, grup penyanyi paling terkenal di Korea saat ini, bisa-bisanya bersama dengan perempuan miskin seperti dia!”

“Sayang sekali, sepertinya Junsu-sshi sudah termakan rayuan perempuan itu. Pasti perempuan itu sengaja melebih-lebihkan cerita tentang keluarganya untuk membuat Junsu-sshi terpikat.”

“Oh ya?”

“Pasti! Tapi, yang mau kubahas bukan itu. Seorang temanku yang bertugas di bagian saraf bilang kalau perempuan itu sekarang dirawat disini karena mencoba bunuh diri! Ya ampun..., licik sekali dia. Dengan begini, Junsu-sshi pasti tidak akan berpisah darinya. Buktinya, Junsu-sshi selalu menemaninya di rumah sakit”

“Benarkah? Ck..ck..ck... Menyeramkan sekali perempuan itu. Sampai-sampai mau bunuh diri segala. Kasihan sekali Junsu-sshi. Ia jadi korban perempuan maniak.”

“Benar. Ahh..., seharusnya Junsu-sshi membuka matanya, melihat lebih jelas. Kan masih ada noona disini...”

“Ah kau ini! Maunya... Eh, aku sudah dipanggil atasanku. Aku pergi dulu ya! Mungkin sebaiknya kau tidur, berharap akan memimpikan Junsu-sshi-mu itu!”

“Tunggu aku! Temani aku ke kantin sebentar ya? Aku mau beli kopi.”

“Ayo cepat kalau kau mau kutemani!”

Suara mereka tidak terdengar lagi. Tanpa sadar aku menangis. Apa aku memang tidak cocok dengan Junsu-oppa? Tidak, mereka salah. Aku kan hanya menganggap Junsu-oppa sebagai teman. Tidak lebih. Tidak lebih dari seorang teman... Ya Tuhan, perasaan apa ini?

Tes...tes... rintik-rintik hujan mulai turun, makin lama makin deras. Aku tersadar dari lamunanku dan berdiri. Di sekelilingku, orang-orang mulai berlarian kembali ke rumah sakit. Aku mengikuti mereka sambil menyeret tiang infusku. Namun salah satu rodanya tersangkut di kaki bangku. Aku jatuh terjembab. Aku mengangkat badan, bertumpu pada kedua lututku dan kembali menangis, tanpa menyadari noda merah di perban tangan kananku yang makin lama makin membesar dan tetesan darah bercampur air hujan mengalir dari tangan yang lain ketika jarum infus yang menusuknya malah mengoyak kulitku...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-11th Chapter-


“Siap untuk pulang?” Suara ceria Junsu-oppa terdengar sangat bersemangat. Aku membalas dengan anggukan kecil sambil turun dari tempat tidurku. Junsu-oppa membantuku -meski aku jelas-jelas bisa melakukannya sendiri- dengan mengangkat pinggangku sampai kakiku menjejak di lantai dengan mantap karena ranjang rumah sakit cukup tinggi. Kedua wajah kami bertemu satu sama lain, hanya berjarak sekitar sepuluh senti. Jantungku berdegup kencang. Dada bidangnya terasa hangat dan aman, menggodaku untuk terus didekapnya seperti ini.

Tiba-tiba ponsel Junsu-oppa berbunyi. Ia langsung melepaskan tangannya dari pinggangku dan mengambil ponselnya.

“Yobboseyo? Mwo? Hyung mau ke Seoul? Tidak bisa, hyung. Tempatnya mau kupakai. Nanti saja kutelepon lagi, oke? Annyeong.” Ia menutup ponselnya. Aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat bingung.

“Ah, mianhe. Tadi Junho-hyung yang menelepon. Tidak ada masalah. Ayo, Dae Ahn, kita pulang.” Junsu-oppa tersenyum padaku meskipun terlihat terpaksa.

Ketika kami sudah sampai di lobby rumah sakit, tiba-tiba serombongan orang dengan kelipan lampu blitz mengerumuni kami. Aku langsung menundukkan kepala menghindari kilatan lampu itu. Junsu-oppa melepas jaketnya dan menutupi kepalaku, lalu mendekapku dengan erat menerobos wartawan-wartawan itu.

“Junsu-sshi, apa gadis ini benar-benar pacar Anda?”

“Dae Ahn-sshi, apakah Anda benar-benar menyukai Junsu-sshi?”

“Junsu-sshi, kenapa Anda memilih Dae Ahn-sshi sebagai pacar Anda?”

“Dae Ahn-sshi, apa Anda memperalat Junsu-sshi untuk mencari popularitas?”

Pertanyaan-pertanyaan wartawan yang semakin menyakitkan itu tidak terdengar lagi setelah aku berhasil masuk ke mobil. Setelah pintu mobil ditutup, samar-samar aku dapat mendengar suara teriakan Junsu-oppa yang menyuruh wartawan-wartawan itu berhenti bertanya. Ia pun berjalan memutari mobil, lalu masuk ke kursi pengemudi.

“Wartawan-wartawan brengsek itu memang kelewatan!” Junsu-oppa memaki, terlihat sangat marah. Ia langsung menyalakan mesin dan memacu mobilnya menjauh dari rumah sakit.

“Dae Ahn, kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?” Ia menoleh padaku beberapa kali untuk memastikan keadaanku. Aku hanya mengangguk singkat meskipun mataku sudah mulai berair.


***


Awalnya aku mengira Junsu-oppa akan mengantarku kembali ke rumah, namun perkiraanku salah. Ia membawaku ke apartemen keluarganya. Aku melihatnya dengan bingung. Kenapa aku malah dibawa kesini?

“Dae Ahn, kau tinggal saja disini. Apartemen ini kosong kok.” Sahut Junsu-oppa seakan-akan bisa membaca ekspresiku. Lagi-lagi ponselnya berdering.

“Yobboseyo? Hyung, sudah kubilang aku akan meneleponmu lagi. Apartemennya tidak bisa digunakan!” teriakan Junsu-oppa terdengar jelas olehku. Menyadari aku memperhatikannya, ia berjalan menjauh sambil meneruskan pembicaraannya.

Aku mengerti sekarang. Junho-oppa ingin datang ke Seoul, tapi apartemennya tidak bisa ia pakai. Karena apa? Karena aku akan meninggalinya. Cukup. Aku tidak ingin merepotkan Junsu-oppa lagi. Karena aku, ia sampai bertengkar dengan hyung-nya sendiri.

“Dae Ahn, kau istirahat saja. Aku ada sedikit urusan. Sebentar lagi aku akan kembali, membawakan makanan untukmu.” ujar Junsu-oppa, lalu ia pergi.

Baiklah. Aku harus pergi. Aku tidak boleh ada di kehidupan Junsu-oppa lagi. Aku mengambil notesku untuk merobek kertasnya, tapi dari dalamnya terjatuh sebuah kartu nama.

Flashback

“Dae Ahn-sshi, terimalah ini,” Ajjushi itu menyerahkan sebuah kartu nama padaku. “Tadi aku sempat berbicara pada dokter. Dia bilang pita suaramu mengalami masalah sehingga kau tidak bisa bicara. Maaf bila aku menyinggung perasaanmu, tapi aku mengenal beberapa dokter handal di Inggris yang dapat menyembuhkannya agar kau bisa bicara lagi. Bila kau tertarik, kau bisa menghubungiku. Sekali lagi, aku sungguh minta maaf. Kuharap dengan cara ini aku dapat menebus kesalahanku.”

End of flashback


Aku melihat baik-baik kartu nama itu. tertera nama Choi Jun Seuk, seorang CEO perusahaan asing. Alamatnya tidak jauh dari rumahku. Aku berpikir sejenak, mempertanyakan alasannya menawarkan bantuan padaku. Ah, sudahlah. Mungkin saja dia hanya orang baik yang sering memberi bantuan pada orang sepertiku.

Kurobek kertas notesku dan menulis “Oppa, terima kasih banyak atas bantuanmu selama ini. Oppa memang teman yang terbaik. Tapi, aku tidak mau terus-menerus merepotkan oppa. Tidak usah mencariku. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Dae Ahn.”, lalu aku keluar apartemen dengan membawa notesku dan menggenggam erat kartu nama itu.


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-12th Chapter-


Aku mampir ke rumahku terlebih dahulu untuk mengambil beberapa barang. Semua pakaianku kumasukkan ke dalam tas. Aku masuk ke kamar eomma, melihatnya sambil membayangkan eomma berada di ruangan itu. Hatiku terasa perih. Semua yang terjadi belakangan ini terasa seperti mimpi. Pertemuanku dengan Junsu-oppa..., kepergian eomma... Tidak. Aku tidak boleh terus cengeng seperti ini. Seperti inilah takdir yang harus kuhadapi. Aku harus kuat, harus kutunjukkan bahwa Dae Ahn yang bisu dan yatim piatu ini masih bisa hdup dengan baik.

Setelah memuaskan diriku mengenang rumah yang telah kutempati delapan tahun belakangan, aku pun beranjak keluar. Sebelum keluar, aku mengambil selembar foto dari album keluarga yang tergeletak di meja tamu, foto aku, appa dan eomma, lalu menyelipkannya di lembaran notesku. Selembar foto sudah cukup untuk menggambarkan keluargaku karena aku tidak mungkin membawa album foto besar itu bersamaku.

Alamat di dalam kartu nama itu membawaku ke sebuah rumah bertingkat nan indah dengan pagar yang menjulang. Kutekan bel yang ada di depan gerbang, dan terlihat wajah seorang ajjushi yang berumur sekitar lima puluhan di layar.

“Siapa? Ah, Dae Ahn-sshi rupanya. Silahkan masuk.” Setelah suara itu, gerbang pun terbuka dan aku masuk. Begitu aku melangkahkan kaki ke halaman rumah itu, ajjushi yang kulihat di layar tadi keluar dari dalam rumah.

“Ayo, masuk. Kita bicara di dalam.” sahutnya saat aku akan menulis sesuatu di notesku.

Seperti yang terlihat dari luar, rumah itu sangat besar dan luas. Dinding ruangannya dilapisi wallpaper dan di langit-langitnya tergantung lampu kristal yang sangat indah. Perabotannya bergaya viktoria-modern dan terlihat mahal. Ia menyuruhku duduk di salah satu sofa berwarna pastel empuk berlapis beludru, lalu ia masuk ke bagian dalam rumah, sepertinya ingin mengambilkan minuman, meninggalkan aku yang tidak henti-hentinya menatap kagum sendirian.

Rumah itu terlihat sepi, sepertinya ajjushi itu tinggal sendirian. Aku melihat ke sekeliling. Di dindingnya hanya tergantung beberapa lukisan. Tidak banyak perabotan di ruang tamu itu, hanya ada satu set sofa –yang kududuki- dan beberapa lemari pajang kaca di ujung ruangan. Aku beranjak menuju lemari pajang itu, penasaran akan benda-benda yang diletakkan disana. Ada tiga lemari, dua diantaranya masing-masing diisi oleh barang-barang kristal dan barang-barang keramik, sedangkan lemari lainnya terlihat kosong. Hanya ada dua frame foto yang diletakkan disana. Ada foto seorang pria –sepertinya pria itu ajjushi saat masih muda- yang menggendong seorang anak perempuan berumur kira-kira lima tahun bersama seorang wanita, sepertinya ia adalah istri ajjushi. Foto lainnya menunjukkan seorang perempuan yang lebih muda dariku, berbeda dengan wanita di foto pertama, sepertinya ia adalah anak ajjushi. Wajahnya tersenyum manis meskipun terlihat sedikit pucat.

“Foto ini diambil saat aku, istriku, dan anakku berlibur ke Beijing.” Suara itu mengejutkanku. Ternyata ajjushi itu sudah kembali dan membawa dua gelas minuman. Aku mengikutinya, membantunya meletakkan gelas-gelas itu di atas meja dan kembali duduk. “Itu adalah liburan terakhirku bersama istriku. Lalu foto itu adalah anakku satu-satunya, diambil satu tahun sebelum kematiannya. Kedua anggota keluargaku sudah tiada. Istriku meninggal karena kanker lima belas tahun yang lalu. Dua belas tahun setelahnya, tiga tahun yang lalu, anakku juga meninggal karena penyakit yang sama.” Nadanya terdengar sedih. “Tanpa terasa, sudah dua tahun aku tinggal sendirian.” Ia menghela nafas.

“Oh iya, kenapa kau tiba-tiba datang kesini? Apakah kau mau menerima tawaranku?”

Aku mengambil notes lalu menulis, “Maaf kalau aku datang mendadak. Aku sudah memikirkannya dan aku memutuskan untuk mencobanya. Aku ingin bisa bicara lagi.” Aku menulis seperti itu meskipun hatiku terasa sakit. Hanya dengan cara ini aku bisa melupakan Junsu-oppa.

“Benarkah? Hmm.. apa kau sudah memaafkan aku?”

Aku menulis, “Untuk apa?”

Ia terdiam sebentar, lalu berkata, “Ah, bukan apa-apa. Sebelumnya, apa kau benar-benar yakin untuk melakukannya? Maksudku, apa kau tidak apa-apa meninggalkan pria itu? Xiah Junsu?”

Hatiku kembali terasa sakit ketika mendengar nama itu. Aku tidak ingin meninggalkannya. Karena... Ah, demi kebaikan Junsu-oppa, tidak apa-apa seperti ini. Semoga aku bisa melupakannya. Begitupula dengannya, semoga ia bisa melupakan aku. Aku menulis “Tidak apa-apa. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi disini.”

“Baiklah. Dua minggu lagi kita berangkat ke London. Sebenarnya perusahaanku ada disana. Aku kembali ke Korea untuk berlibur selama satu bulan, sekaligus mengenang almarhum istri dan putriku. Sampai hari keberangkatan, apa kau mau tinggal disini?”

Aku mengangguk. Di dalam pikiranku yang berkecamuk, aku terus meyakinkan diriku bahwa inilah jalan terbaik bagiku dan Junsu-oppa. Ya, inilah yang terbaik...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-13th Chapter-


Selama tinggal di rumah Jun Seuk-sshi, aku memasakkan makanan untuknya sambil sesekali membantu pengurus rumah yang datang dua hari sekali membersihkan rumah yang luas itu. Lama-kelamaan, aku semakin akrab dengan Jun Seuk-sshi. Ia sangat baik dan bijak. Aku sampai menganggapnya seperti appaku sendiri. Aku tidak menonton TV agar tidak mengingatkanku pada Junsu-oppa bila ada berita mengenai dirinya.

Tanpa terasa, dua minggu berlalu dengan cepat. Aku sudah mengepak pakaianku ke dalam tas, tidak lupa memasukkan notesku ke dalam saku. Kami berdua –Jun Seuk-sshi dan aku- diantar sebuah mobil dengan supirnya ke bandara. Sesampainya di bandara, kami menunggu di ruang tunggu kelas bisnis.

Aku duduk di ruangan itu dengan canggung karena aku belum pernah masuk kesini sebelumnya. Aku juga berusaha menenangkan diri, berusaha menghapus kenangan buruk saat aku terakhir kali menginjakkan kaki di bandara ini.

Tiba-tiba terdengar keributan dari arah pintu masuk. Aku menoleh dan melihat Junsu-oppa yang bergumul dengan dua orang satpam bandara, mencoba menerobos masuk. Aku melihat ke arah pintu dengan gelisah. Aku ingin menemui Junsu-oppa, tapi...

“Pergilah. Temui dia. Paling tidak, ucapkan salam perpisahan.” kata Jun Seuk-sshi sambil tersenyum hangat.

Aku pun beranjak menuju pintu masuk dimana Junsu-oppa berada. Saat aku berada dalam jangkauan tangan Junsu-oppa, ia menarik lenganku lalu memelukku.

“Dae Ahn...” Ia melepaskanku dari pelukannya, lalu menatapku lekat-lekat. “Kenapa kau tiba-tiba pergi? Kau tahu aku sangat mencemaskanmu. Aku...” Kalimatnya terputus karena sekarang bibirku sudah melekat di bibirnya. Aku menciumnya sekilas. Tanpa menghiraukan wajah Junsu-oppa terlihat terkejut, aku mengambil sebuah surat yang kuselipkan di notesku. Aku sudah menyiapkannya sebelumnya. Rencananya aku akan mengirimkan surat ini dari London, tapi karena Junsu-oppa sudah ada disini jadi aku menyerahkannya sekarang. Setelah ia menerima suratku, aku kembali memeluknya lalu aku kembali masuk ke ruang tunggu. Jun Seuk-sshi sudah berdiri di dekat pintu keberangkatan, menungguku. Aku berjalan menghampirinya, keluar dari ruangan tanpa menghiraukan suara Junsu-oppa yang berteriak memanggilku. Selamat tinggal, Junsu-oppa...


*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

-14th Chapter-


(Author POV)

Seoul, Januari 2008

Seorang pria sedang membereskan pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper. Tiba-tiba ia melihat sebuah surat yang agak lusuh terjatuh dari dalam lemarinya. Ia meraih surat itu, lalu duduk di tepi ranjang dan membaca tulisan dengan tinta yang sudah agak luntur:

Dear Junsu-oppa,

Oppa, aku minta maaf mengenai kepergianku yang mendadak ini. Aku tidak ingin merepotkan oppa lagi. Oppa sudah mempunyai cukup banyak masalah, jangan sampai aku malah membuatnya lebih banyak. Jangan menghawatirkanku. Aku memutuskan untuk mengobati pita suaraku dengan bantuan dari Jun Seuk-sshi. Kuharap, bila takdir mengizinkan kita bertemu lagi, oppa bisa mendengar suaraku. Tenang saja, meskipun aku sudah bisa bicara, aku tidak akan membocorkan identitas oppa pada orang lain saat oppa sedang menyamar^^.

Terima kasih sudah mau menjadi temanku. Oppa adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Cheongmal saranghae...

Seo Dae Ahn


Ia melipat surat itu, lalu memasukkannya ke dalam kantong kecil di dalam kopernya. Setelah kopernya penuh, ia menggotongnya keluar kamar dan bergabung dengan keempat temannya yang sudah menunggunya di ruang tengah.


------------


London, di waktu yang sama

Seorang perempuan berambut hitam panjang berjalan dengan santai sambil memegang sebuah tas tangan di jalanan yang sepi karena sekarang masih pagi. Langkahnya terhenti di depan etalase toko elektronik karena tertarik pada berita yang ditayangkan di deretan televisi yang dipajang disana.

“Grup penyanyi terkenal, Dong Bang Shin Ki, hari ini pukul 08.00 PM waktu Seoul atau pukul 11.00 AM waktu London akan bertolak dari Bandara Gimpo, Seoul Korea Selatan menuju Bangkok, Thailand menyusul grup penyanyi SM Entertainment lainnya untuk mengikuti konser SM Town yang akan diadakan satu minggu mendatang. Dong Bang Shin Ki, grup penyanyi dari SM Entertainment ini memiliki jadwal yang sangat padat. Selama satu tahun belakangan, mereka mengembangkan karir di negeri sakura, Jepang. Setelah konser SM Town selesai, mereka akan kembali ke Jepang untuk mempersiapkan perilisan album Jepang ketiga mereka.”

“Junsu-oppa...” perempuan itu bergumam. Ia sibuk memperhatikan setiap video yang ditayangkan acara itu, tanpa menyadari kehadiran seorang laki-laki di sebelahnya. Laki-laki itu menyambar tas tangannya.

“Pencuri! Kembalikan tasku! Notesku, foto keluargaku, semuanya ada disana!” teriaknya sambil mempertahankan genggamannya pada tas itu. Laki-laki pencuri itu tetap menarik tas itu, mencoba melepaskan tangan si perempuan. Akhirnya pencuri itu menang. Ia berlari membawa tas hasil curian itu menuju tangga subway. Perempuan itu berusaha mengejar, namun saat ia menuruni tangga ia salah melangkah hingga ia jatuh terguling sampai ujung bawah tangga, kepalanya terbentur siku dinding yang tajam dengan keras.


***


Bangkok, Thailand, SM Town Live Concert.

“Apa kabar semuanya??” suara Yunho berkumandang sampai terdengar jelas di seluruh penjuru tempat yang dipenuhi lautan manusia. Jawaban “Baik...” terdengar samar-samar dari teriakan riuh para penonton.

“Hmm.. seperti yang telah diketahui, kami, Dong Bang Shin Ki akan segera merilis album Jepang ketiga dalam waktu dekat.” jelas Jaejoong, yang langsung disambut teriakan histeris dari penonton.

“Ya. Album ketiga ini berisi cukup banyak lagu baru, salah satunya berjudul ‘Keyword’ yang ditulis sendiri oleh Junsu.” lanjut Yunho sambil menunjuk ke arah Junsu. Junsu tersenyum malu, lalu ia membungkuk singkat.

“Dan sebagai persembahan spesial, Xiah Junsu akan menyanyikan ‘Keyword’ untuk kalian semua!” sahut Yoochun.

Yoochun, Jaejoong, Changmin dan Yunho menepuk bahu Junsu bergantian, lalu berjalan ke balik panggung, meninggalkan Junsu sendirian di atas panggung.


------------


London, Inggris

Seorang pria berumur kira-kira lima puluhan duduk di sebuah kursi di samping ranjang di dalam salah satu kamar rawat London International Hospital. Ia menatap sesosok perempuan yang berbaring di hadapannya dengan sedih. Kepala perempuan itu dibalut perban tebal dan ia belum sadar selama satu minggu karena benturan keras di kepalanya.

Kedua tangan pria itu menggenggam tangan kanan perempuan itu, terlihat bekas sayatan di pergelangan tangan itu. Tiba-tiba jari tangan perempuan itu bergetar, bergerak sedikit. Rupanya ia sudah sadar. Ia membuka matanya perlahan.

“Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?” tanya pria itu dengan khawatir.

“Dimana..ini? Siapa Anda? Siapa... aku?”

Pria itu tertegun. “Tunggu sebentar. Aku akan memanggil dokter.” Ia segera berlari keluar kamar meninggalkan perempuan itu yang sedang melihat situasi di sekitarnya dengan bingung.


------------


Bangkok, Thailand

“Ehm.” Suara Junsu ini langsung disambut oleh teriakan penonton. “Lagu ini kutulis berdasarkan pengalaman pribadiku dan kupersembahkan untuk seseorang. U know who you are...” sahut Junsu malu-malu, lalu ia mulai bernyanyi...

Higashi no sora ni kaze ga fuite yasashii asa wo mitsumeta
In the eastern sky, the wind blows as I gaze at the gently dawning morning

Hikari no nami wa kumo wo oyogi ashita wa kyou ni natteku
Waves of light swim through the clouds, 'tomorrow' will become 'today'

Toki ga nagarete yume ga sugite mo
Even though time passes and dreams fade,
Bokura wa tashika ni onaji kimochi de koko ni ita
I'm sure we'll always be here, with the same feelings in our hearts

Zutto kono mama
Forever like this,
Anata no soba ni iru kara
I'll be by your side
Kitto shinjita omoi wa
Because the feeling that I most believe in
Koko ni aru kara
Is right here, with you

Furimuku kokoro aruku senaka maiochiru kisetsu no iro
I remember... your back as you walk, the colors of the spiraling seasons
Kasaneta inori setsunai uso atsumete koboreta namida
Our shared wishes, the painful lies... all of it spills out in tears

Itsuka bokura ga yakusoku mo naku
Someday, if we happen to meet somewhere
Dokoka de aetara onaji kotoba wo tsutaetai
I want to tell you the same words:

Ai wo arigatou
Thank you for your love
Itsudemo egao ga suki sa
I always love your smile
Wakare ja nai sayonara
This 'goodbye' isn't a farewell
Koko ni iru kara
Because I'll be by your side

Zutto kono mama
Forever like this,
Anata no soba ni iru kara
I'll be by your side
Kitto shinjita omoi wa
Because the feeling that I most believe in
Koko ni aru kara
Is right here, with you

Ai wo arigatou
Thank you for your love
Itsudemo egao ga suki sa
I always love your smile
Wakare ja nai sayonara
This 'goodbye' isn't a farewell
Koko ni iru kara
Because I'll be by your side

Koko ni iru kara...
Because we're here, together...

Tepuk tangan dan sorakan meriah terdengar membahana di ruangan besar itu. Junsu tersenyum, wajahnya bersemu merah. “Aku akan mewujudkan akhir dari lagu ini!” teriaknya bersemangat sambil mengacungkan surat yang dibawanya dari Seoul.



“Yah...Terkadang hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita.”


__FIN__

*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*