Welcome Message & Rules

Aloha~
Annyeong haseyo!
Hajimemashite!

Kenalin, gw Raisa, biasa dipanggil haru/rei (di internet), atau mungkin lo mengenal gw sbg yuya shiina.

Disini, gw akan meng-share fanfiction yang sudah gw buat selama ini.

Tapi, gw punya rules yang harus dipatuhi oleh semua pengunjung.
1. setelah membaca, HARUS memberi comment. Comments mean spirit and support to author!
2. fanfiction disini boleh di-share ke tempat lain, namun jangan lupa mencantumkan Credit @ storiesoffantasy.blogspot.com dan nama Author yakni Raisa / Haru / Rei / Saharu Rei (pilih salah satu)
3. happy reading! ;)



Saturday, July 11, 2009

[Oneshot] He's My Death God!

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!”

Dengan mata yang masih terpejam, tanganku bergerak-gerak menggapai jam weker yang seharusnya ada di sebelah tempat tidurku. Namun bukannya mematikannya, tanganku malah membuatnya jatuh ke lantai. Aisssssh! Terpaksa aku bangun untuk mengambil jam weker itu dan mematikannya. Lalu kembali kurebahkan badanku dan menatap langit-langit kamar. Bagai pemutar rol film, aku kembali teringat pada hari itu…

”Yak, Yoonmi-ah, berapa nomor ujianmu?”

“1324. Kau?”

“3287. Siap?”

“Ya. Kau ke kanan, aku ke kiri.”

“Sip.”

Aku dan Yoonmi serempak berpisah. Aku ke papan pengumuman di sebelah kanan sedangkan Yoonmi ke papan pengumuman di sebelah kiri. Hari ini pengumuman ujian masuk Universitas Seoul, universitas paling bergengsi se-Korea Selatan. Kalau bisa masuk, ahh bagaikan mimpi!

“Akh, permisi…permisi…” Aku sedang mencoba menerobos kerumunan orang yang sama-sama ingin melihat pengumuman. “1324… 1324…” Mata dan jariku bergerak seiringan menyisir daftar nama dan nomor ujian yang tertera pada kertas-kertas yang ditempelkan. Aih, pabo! Nomor ujian yang ada disini semuanya berawalan 3! Kalau begitu, aku cari nomorku saja. “3287…3287…” ADA! Aku harus segera keluar dari kerumunan ini dan mencari Yoonmi! Namun ketika kubalikkan badan untuk keluar, orang-orang di depanku malah mendesakku sampai aku hampir terjepit. Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau hidupku berakhir seperti ini! Kan sangat tidak lucu kalau Appa dan Eomma alih-alih mendapat berita bagus ini, malah ditelepon polisi kalau anak perempuan semata wayang mereka tewas tejepit di antara orang-orang dan papan pengumuman? Mungkin bukannya sedih, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Sekarang aku bahkan tidak sempat bergidik saat memikirkan kemungkinan konyol itu. Kupejamkan mataku dan berusaha melawan dorongan dari orang-orang menyeramkan ini. Ukh, bernapaslah, Aerin! Bahkan udara pun sampai tidak punya cukup tempat untuk sampai ke tenggorokanku. Oh Tuhan, apakah aku harus mati konyol seperti ini?

Eh. Tiba-tiba aku bisa bernapas dengan lega. Dorongan-dorongan itu pun tidak lagi terasa menyakitkan. Apa aku sudah mati? Kubuka mataku perlahan, mencoba memastikan dunia luar. Apa rohku sudah dicabut malaikat kematian?

Salah. Semua salah. Di hadapanku sekarang tidak ada malaikat kematian. Eh, bisa disebut malaikat juga sih. Malaikat surga tepatnya. Dadanya yang bidang memberi cukup ruang bagiku untuk bernapas. Ketika kutatap wajahnya, kulitnya yang putih mulus terlihat begitu… bersinar. Kacamata kotak yang dikenakannya seakan-akan ingin menyembunyikan mata indah itu dari penglihatan orang. Belum lagi rambutnya. Hitam, cukup stylish, begitu cocok dengan bentuk kepalanya. Wajahnya maksudku. Oh, kalau malaikat kematian itu setampan dia, aku rela mati lebih cepat! Cabut saja nyawaku, wahai malaikat!

“HEI!”

Eh?

“Apa kau mau mati disini?”

Eeeeh? Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teriakannya. Oh, apakah suara malaikat kematian itu terdengar begitu merdu seperti ini?

“Cepat keluar kalau tidak mau mati terjepit. Aku sudah capek menahan orang-orang ini!”

Akh. Duniaku yang tadinya hanya ada aku dan malaikatku mulai terisi oleh suara-suara berisik dan sosok orang-orang yang saling mendorong. Ternyata aku masih hidup—sayang sekali, padahal kukira nyawaku sudah dicabut oleh malaikat ini—dan alasanku tetap hidup adalah pria ini. Rupanya sedari tadi ia menahan dorongan orang-orang yang menjepitku.

“CEPAT!”

“Ah, iya-iya…” balasku pada akhirnya. Lalu kami bergerak bersama-sama sampai kami keluar dari kerumunan itu. “Goma—“ Eh? Pria itu sudah tidak ada lagi. Rupanya ia kembali menyelami kerumunan orang itu. Apa ia juga ingin melihat hasil ujian masuk? Apa ia diterima? Apa ia—“

“Aerin-ah!!! Aku diterima!! Bagaimana denganmu?”

Pandanganku beralih dari kerumunan yang hampir menjepitku tadi ke wajah Yoonmi yang berbinar-binar menatapku. “Ah, iya-iya.. Aku juga diterima.”

“Bagus! Kita sama-sama diterima!!” teriak Yoonmi sembari memelukku.

“Iya, bagus…” balasku tanpa bersemangat. Mataku kembali memperhatikan kerumunan di belakang Yoonmi.

“YA, Aerin-ah! Apa kau tidak senang? Ada apa denganmu? Apa kau sakit? Aigo… apa yang harus kukatakan pada Ahjushi dan Ahjuma kalau kau sampai sakit?”

“Yoonmi-ah, tenanglah. Tentu saja aku senang! Kita diterima!!” balasku mencoba menenangkan Yoonmi. Ia paling takut diomeli Appa dan Eomma yang overprotektif padaku. Meski sebenarnya Appa dan Eomma sudah sangat mengenal Yoonmi karena kami sudah satu sekolah sejak SD, tapi Yoonmi masih saja segan pada mereka.

Pandangan mataku kembali ke arah papan pengumuman. Pria itu sudah keluar. Ekspresinya terlihat datar. Apa ia tidak diterima? Mengapa malaikat setampan ia tidak diterima? Ah, kurasa aku harus memastikannya. Sekalian mengucapkan terima kasih. Ia kan penyelamat nyawaku…

“Yoonmi-ah, aku mau kesana sebentar.”

Kudatangi pria itu. Sambil berjalan ke arahnya, aku terus memperhatikan ekspresinya. Apa ia benar-benar tidak diterima? Tapi ekspresinya tiba-tiba berubah. Dari ekspresi datar menjadi senyum-senyum sendiri. Lalu ia menggerakkan tangannya dan mulutnya berucap “YES!”. Sungguh pria yang aneh.

“Permisi…” sapaku.

Ekspresinya langsung berubah. “Ya?” sahutnya gelagapan. Lucu sekali.

“Gomawo atas bantuanmu tadi.”

“Y—ya, sama-sama,” sahutnya masih gelagapan.

“Apa kau juga melihat hasil ujian masuk? Diterima tidak?”

“Ya, aku diterima. Kau?”

“Ya, aku juga diterima. Selamat ya.”

“Masuk jurusan apa?”

“Kedokteran. Kau?”

“Siapa namamu?”

Kok dia terus menanyaiku sih? “Park Aerin. Kau?”

Alih-alih menjawab, ia malah terlihat berpikir. “Kita masuk pada angkatan yang sama dan jurusan yang sama. Sebenarnya aku lebih tertarik pada wanita yang lebih tua, tapi kurasa aku ingin coba pacaran pada wanita yang seumuran denganku. Namaku Kim Jaejoong. Apa kau mau menjadi pacarku?”

“. . .” APA??

“APA???” Eh, kok malah Yoonmi yang teriak sih?



Hahaha… Aku jadi tertawa sendiri mengingatnya. SUNGGUH KONYOL! Aku hampir mati terjepit, bertemu dengan malaikat kematian yang lucu, bahkan malaikat itu mengajakku berpacaran. Hahaha…

Tapi itu kenangan 1 tahun yang lalu. Saat itu, meski masih shock tapi aku langsung menerimanya. Tentu saja aku tidak menolak malaikat setampan dia. Sungguh beruntung, bukan? Tapi Yoonmi malah histeris sendiri dan aku harus berjuang keras untuk menenangkannya agar ia tidak memberitahu orangtuaku. Appa dan Eomma tidak boleh tahu. Kalau mereka sampai tahu aku berpacaran begitu masuk kuliah, hmm aku tidak bisa membayangkan apa tindakan mereka. Bisa-bisa Joongie-ku dipanggang hidup-hidup. Oops, ketahuan yah. Aku memanggil malaikatku itu Joongie. Panggilan yang imut, bukan? Tadinya ia sempat protes tapi aku bersikeras tetap memanggilnya seperti itu. Ia kan malaikatku yang lucu. Hehehe…

Oh iya, pada awalnya kami berpacaran karena Joongie ingin mencoba berpacaran pada perempuan yang seumuran dengannya. Awalnya kukira kami tidak akan cocok karena banyak yang bilang kalau pacaran dengan orang yang seumuran akan lebih sering bertengkar. Yah, kami juga sering bertengkar sih. Tapi semua masalah selalu bisa diselesaikan. Sampai akhirnya kami menjalani masa pacaran selama satu tahun… Tunggu dulu. Satu tahun? Ya ampun, hari ini kan hari peringatan satu tahun pacaran kami! Seharusnya kami bertemu di depan kampus jam sebelas siang. OMONA.. sekarang sudah jam setengah dua belas! Pabo! Bagaimana aku bisa lupa dan bangun kesiangan? Padahal semalaman akulah yang berkali-kali mengingatkan Joongie agar ia tdak terlambat. Ya ampun, aku harus cepat!

Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Setelah secepat mungkin memilih pakaian dari lemari dan memakainya, aku segera turun ke lantai satu. Hari ini hari minggu, jadi tentu saja orangtuaku ada di rumah. Appa sedang sibuk di ruang kerjanya sementara Eomma sibuk di dapur mengawasi pembantu memasak.

“Appa, Eomma, aku pergi dulu!!”

“Aerin, kau mau kemana?” tanya Eomma.

“Aku ada janji dengan Yoonmi dan sekarang sudah terlambat! Appa, Eomma, annyeong!” teriakku sambil keluar rumah tanpa menghiraukan suara teriakan Appa. Pasti appa menyuruhku diantar supir. Iih, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku mau naik bus saja.

Sesampainya di depan kampus, aku segera mencari sosok Joongie di antara orang-orang yang datang untuk melihat hasil ujian masuk. Hihihi, jadi teringat lagi pada kejadian itu. Tapi aku tidak juga menemukan Joongie. Argh, Kim Jaejoong, KAU TERLAMBAT!
Kucoba bersabar dan mencari tempat duduk. Menunggu malaikat bodoh itu. Sekarang sudah jam setengah satu siang. Ia belum datang. Dan aku sudah lapar! Grrr… lihat saja nanti, begitu ia datang aku akan memakannya! Grawr!

Tiba-tiba sebuah sepeda motor memasuki halaman kampus dan berhenti di depanku. Lho, kenapa malah Changmin yang kesini? Tapi yang mengendarainya siapa? Motor Changmin, tapi yang membawanya sama sekali tidak kukenal. Jaket dan helmnya membuatnya terasa asing.
Perlahan laki-laki itu membuka helmnya. Joongie??!

“Aerin-ah!”

Sesaat aku sempat terbuai akan kekerenannya saat membuka helm. Ya ampun, kalau Tuhan memang membuat manusia berdasarkan rupa-Nya, pasti Tuhan setampan ini!
Ehem. Aku kan sedang marah padanya. Ia terlambat satu setengah jam!
“Kau terlambat,” sahutku ketus.

“Tidak, aku tidak terlambat. KAU-lah yang terlambat. Aku sudah datang dari jam sebelas tadi, menunggumu sampai kelaparan. Jadi aku pergi sebentar untuk makan siang.”

Oops. Ternyata ia tidak terlambat. Tapi… “Kau makan siang duluan? Aku juga lapar! Huh!”

“Kau belum makan? Ya sudah, ayo kita pergi makan. Aku temani.”

“Kau ini… aku tidak mau makan sambil diperhatikan orang!”

“Hei, kenapa malah kau yang marah? Harusnya aku yang marah, tau? Cepatlah naik kalau kau mau makan. Atau kau mau mati kelaparan disini?”

“Oke…oke…” Mau tidak mau aku harus menyerah. Perut laparku sudah tidak bisa kompromi. “Ngomong-ngomong, kenapa motor Changmin ada padamu?”

“Kupinjam. Biar kita bisa lebih leluasa kemana-mana. Apa kau takut naik motor?” ucapnya sambil menyalakan mesin.

“Anio… tentu saja aku berani. Pabo!” jawabku sambil memukul pundaknya pelan. “Tapi bukannya motor Changmin ini rusak?”

“Tenang saja, sudah diperbaiki. Sekarang pegangan kalau kau tidak mau terjatuh.”

“Whoaaaa!” teriakku sambil refleks memeluk pinggangnya. Dasar usil, langsung ngebut sebelum aku siap. Malaikat bodoh!

Kami ke restoran cepat saji. Tentu saja karena aku sudah sangat lapar. Aku memesan burger porsi besar, kentang goreng super large dan cola large size.

“Kau mau pesan apa?” tanyaku pada Joongie.

“Orange jus medium. Kau pesan orange jus saja daripada cola. Orange jus lebih sehat lho.”

“Ya ya ya… aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Aku sudah sangat lapar,” Kualihkan pandangan pada pelayan yang sedang menanti pesananku. “Burger special extra large satu, kentang goreng super large, orange jus large satu dan orange jus medium satu.”

“Akhirnya kau pesan orange jus juga.” ujar Joongie sambil tersenyum.

“Kubilang aku tidak ingin berdebat—“

“Totalnya 7500 won.”

“Biar aku yang bayar. Kau sudah menyediakan transportasi, bukan?” tolakku saat Joongie merogoh dompetnya.

“Kau ini—“

Ia terdiam. Setelah kubayar makanan kami, Joongie membawakan nampannya menuju meja di dekat jendela dengan kursi sofa favoritku.
Ia menaruh makanan dan menungguku duduk. “Geser,” sahutnya menyuruhku bergeser ke arah jendela. Aku enggan tapi terpaksa bergerak juga setelah ia memaksa duduk pada sofa yang sama denganku. Huh. Maunya apa sih?

“Bukannya kau tidak suka diperhatikan orang saat sedang makan? Dengan begini, aku tidak akan memperhatikanmu dan kau tidak akan merasa terganggu.”

“Terserah kau,” jawabku dengan nada datar sedikit ketus. Namun di dalam hati, diam-diam aku mengagumi perhatiannya.

Kuhabiskan burgerku dengan cepat lalu berkata, “Pindahlah duduk kesana. Kita makan kentang sama-sama.” Joongie menurut dan ia pun pindah duduk ke hadapanku.

Joongie menyeruput orange jusnya sambil sesekali mengambil kentang goreng, tetap dalam diam. Apa ia sebal dengan sikapku?

“Jadi?” Aku mencoba memulai pembicaraan.

“Apa?”

“Apa rencana kita hari ini?”

“Kau mau kemana?”

“Terserah padamu. Kau yang bawa motornya. Lagipula… maaf aku terlambat. Semalaman aku tidak bisa tidur.”

“Tidak bisa tidur karena memikirkanku?”

“Enak saja! Mana mungkin aku memikirkanmu? Tidak ada untungnya, tau?”

“Ayolah, mengaku saja…”

“Kau— Makan saja ini!” omelku sambil mengambil botol saos tomat dan menuangkannya banyak-banyak ke atas kentang goreng.

“Hei! Kau kan tahu aku tidak suka saos tomat!”

Aku menyeruput habis orange jusku lalu berkata, “Sudahlah, aku sudah kenyang. Kau juga kenyang, bukan? Ayo kita pergi!”

“Mau kemana?”

“Kubilang, terserah kau.”

“Oke, tuan putri. Ayo kita pergi.”

Aku duduk di belakangnya dan kembali memeluk pinggangnya erat-erat. Kupejamkan mataku, menikmati desiran angin yang menerpa. Aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Kami jarang berkencan di luar kampus. Ya, karena aku tidak cukup pintar mengarang alasan untuk menutupi kencanku dengan Joongie pada Appa dan Eomma. Selain itu… aku tidak yakin kami bisa terus bersama seperti ini. Bukankah Joongie lebih suka wanita yang lebih tua darinya?

Tiba-tiba laju motor perlahan-lahan melambat sampai akhirnya berhenti. Kubuka mataku. Apa kami sudah sampai?

“Aaaaah, bensinnya habis!” gerutu Joongie.

“Apa?” Kulihat keadaan sekitar. Kami berada di tepi jalan yang sepi. Di salah satu sisi jalan terdapat padang rumput yang luas sementara di sisi lainnya ada laut. Pantai!

“Tadinya aku ingin membawamu ke puncak bukit di sebelah sana. Tapi tahu-tahu bensinnya habis. Mianhe… Aku akan segera minta bantuan—”

“Tidak apa-apa. Aku suka pantai,” ucapku santai sambil berlari ke arah pantai yang begitu indah. “Aaaaah pantai!!!”

“YA! Kau ini seperti tidak pernah ke pantai saja. Malu tahu dilihat orang,” ujar Joongie sambil menyusulku.

“Siapa yang lihat? Cuma kau, kan? Aku memang tidak pernah ke pantai…” sahutku sambil melepas sepatu dan menghampiri ombak yang datang. Tapi…

“Kenapa, Aerin-ah? Kau takut ombak?”

“Aku… tidak bisa berenang,” ucapku pelan sambil kembali ke pasir yang kering dan duduk.

“Ayolah, masa kau hanya duduk saja? Bukankah kau belum pernah ke pantai?” Joongie menarik tanganku.

Aku sedikit enggan, tapi kurasa aku harus mencobanya. Kuikuti kemauan Joongie meski akhirnya aku masih berdiri di tepi pantai, menghindari ombak. Sedangkan Joongie sudah menerjang ombak dan mulai basah kuyup. Untung saja dompet dan HPnya sudah ditaruh bersama tasku di pasir kering. Kalau tidak, pasti HPnya sudah rusak.

“Aerin-ah~” Ia kembali menarikku lebih dekat pada ombak. Pegangan tangannya kuat sekali.

“Joongie, aku tidak ma— Akh!“

Kami jatuh bersama setelah diterjang ombak. Akhirnya pakaianku pun ikut basah.

“Kau tidak apa-apa?” Joongie bertanya khawatir.

“Hahaha, kau bodoh!”

“Aku bodoh? Kalau begitu kau lebih bodoh lagi, mau pacaran denganku.”

“Enak saja!”

“Jadi ombak itu tidak menyeramkan, bukan?”

“Tidak karena ada—“ Byur! Ombak sialan itu datang lagi, menerpa kami berdua sehingga kami berdua benar-benar basah kuyup seluruhnya.

Joongie membantuku berdiri. “Karena ada apa? Kau belum menyelesaikan ucapanmu.”

“Tidak ada apa-apa. Ayo cepat menghindar sebelum ombaknya datang lagi.” Karena ada kau, malaikat bodoh!

Akhirnya kami berdua bermain ombak. Berlari menyongsong ketika ombak akan datang, tapi langsung lari menghindar begitu ombak itu sampai di pantai. Aku tidak takut lagi. Aku yakin aku akan aman berada bersamanya. Ia pasti akan melindungiku, bukan? Ia kan, malaikatku…

Tanpa kami sadari, langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap…

Gelegar!

“AAAAAAAAAAAH!!!” teriakku begitu terdengar suara petir itu. Aku langsung berjongkok dan menutup kedua telingaku.

“Aerin-ah! Kau tidak apa-apa?” Joongie langsung menghampiri dan memelukku.

Gelegar! Suara itu datang lagi, disusul hujan rintik-rintik. Joongie membantuku berdiri, mengambil barang-barang kami dan berjalan menuju pohon terdekat. Pohon itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk melindungi kami dari hujan yang makin lama makin deras.

“Kau takut petir?”

Aku tidak menjawab. Suara petir menyambar yang tak kunjung henti membuatku makin meringkuk dan menutup telinga serta mataku. Joongie mengambil HPnya.
“Changmin-ah, bisakah kau segera kesini? Kami kehabisan bensin dan sekarang hujan deras. Bukan di bukit, tapi di pantai dekat bukit. Bisa? Baiklah. Gomawo.”

“Aku sudah menelepon Changmin. Ia akan datang sebentar lagi. Kau jangan takut, aku ada disini,” ujar Joongie sambil mempererat pelukannya. Pelukan yang membuatku teringat pada tindakannya yang menolongku saat hampir terjepit tahun lalu. Ketika aku begitu terpesona pada dirinya. Tuhan, meski petir tak berhenti sekalipun, aku rela terus seperti ini!

Kami terus diam seperti ini sampai suara petir berhenti. Hanya tersisa hujan yang masih cukup deras. Kedua tangan Joongie memegang wajahku. Aduh, kurasa wajahku sudah merah sekarang…

“Kau tidak apa-apa? Petirnya sudah berhenti. Sekarang sudah aman.”

“Ya, aku tidak apa-apa,” sahutku sedikit kikuk sambil menegakkan badan. “Gomawo Joongie-ah.”

Joongie tidak menjawab, tapi malah menarik pundakku ke dalam dekapannya. “Aku hampir mati ketakutan melihatmu begitu histeris. Mianhe.. kencan hari ini begitu kacau gara-gara aku.”

“Berhentilah menyalahkan dirimu. Aku sangat senang hari ini. Tapi pasti aku terlihat begitu konyol. Takut pada ombak, takut petir.. kurasa malah aku yang merepotkanmu.”

“Baiklah. Tidak ada yang salah. Puas? Sebentar lagi Changmin datang dan kita bisa pulang.”

“Joongie-ah…”

“Apa? Apa kau sakit? Oh iya, pakaianmu basah. Jangan-jangan kau mulai flu?”

“Anio.. bukan itu. Aku hanya ingin bertanya. Bagaimana perasaanmu padaku setahun ini?”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku—“

“Dulu kau bilang kalau kau lebih tertarik pada wanita yang lebih tua. Lalu kau ingin mencoba pacaran dengan perempuan yang seumuran sehingga kau memilihku. Aku ingin menjernihkan masalah. Aku tidak ingin mejadi penghambat kebahagiaanmu. Jadi bila kau tidak suka padaku, kita—“

“Saranghae.”

“Benarkah—“

“Bagaimana dengan kau?”

Aku tidak mampu menjawab. Masa aku harus cerita kalau aku sudah menyukainya pada pandangan pertama? Pasti ia akan tertawa mendengarnya… Ya Tuhan, kenapa ia memejamkan matanya dan mulai mendekat? Apa ia mau menciumku? Tidak tidak tidak! Aku belum siap!

“Hujannya sudah berhenti!” sahutku tiba-tiba sambil melihat ke arah pantai.

Kulirik Joongie sekilas. Ia membuka matanya dan terlihat kesal. Tangannya menyentuh wajahku, mengarahkan pada posisi yang sesuai. Lalu ia kembali memejamkan matanya dan mendekat…

“Pelangi, Joongie! Ah indah sekali…”

“YA! Kau ini mau kucium atau tidak?” kali ini ia langsung menyentuhkan bibirnya dengan sedikit paksaan. Aku tidak mampu menolak lagi dan membalas ciumannya. Apa ini mimpi? Jiwaku seakan-akan terhisap begitu saja dalam ciuman ini. Malaikat kematian, apa kau benar-benar akan mencabut nyawaku?

Setelah selesai, kami saling mengalihkan pandangan dengan kikuk. Sama-sama menatap pelangi tipis yang terbentuk di ujung lautan. Sungguh indah…

“KIM JAEJOONG SARANGHAE!!!” teriakku tiba-tiba ke arah pantai sehingga suaranya bergema.

“PARK AERIN SARANGHAE!!!” balasnya.

“Hei, kau masih harus melewati orangtuaku. Mereka kan belum tahu hubungan kita.”

“Tenang saja, Joongie-mu ini pasti bisa diterima!”

Hahaha… Percaya diri sekali sih? “JOONGIE BODOH!!!”

“Eh apa-apaan kau mengataiku? AERIN JELEK!!!”

“JOONGIE USIL!!!”

“AERIN PENAKUT!!!”

“JOONGIE—“

“Tin tin!” suara klakson itu menghentikan teriakanku.

“Kalian mau terus saling mengejek dan tidak mau pulang?”

Akh, Changmin sudah datang rupanya. Ia datang membawa truk milik ayahnya. Sejak kapan dia disana?

“Changmin-ah, sejak kapan kau datang?”

“Baru saja. Sejak terdengar Joongie bodoh, jelek, usil dan penakut. Hahaha… kalian lucu sekali. Kok saling mengejek sih?”

Aku dan Joongie berpandangan, lalu sama-sama tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa kalian tertawa? Apa aku melewatkan sesuatu?”

“Tidak apa-apa, Changmin. Bagus sekali. Hahaha… Ayo kita segera pulang,” sahut Joongie sambil menepuk pundak Changmin, masih senyum-senyum sendiri.

“Tidakkah kalian ingin menceritakan sesuatu selain hujan dan kehabisan bensin?”

“TIDAK!” jawabku dan Joongie bersamaan.


FIN

No comments:

Post a Comment